Cerita Sex Hubungan Haram Ustadzah Syifa – Malam sobat Ngocokers. Hari masih pagi. Masih belum banyak murid yang hadir di sekolah. Ustadzah Syifa Safiyah sengaja berangkat lebih pagi untuk mampir ke klinik kesehatan yang ada di sebelah sekolah. Ia ingin memeriksakan diri, sudah hampir 3 hari ini ia merasa nyeri dan sakit di bagian bawah perut. Terutama di dekat kemaluannya, padahal saat itu ia tidak sedang datang bulan. Tidak biasanya ia begini, karena itulah ia jadi takut.
Jangan-jangan ini tanda-tanda kanker rahim, rekan sesama guru pernah mengalaminya. Lebih baik berjaga-jaga daripada terlambat sama sekali. Perlu pembaca Ngocokers ketahui bahwa usia Ustadzah Syifa sendiri masih muda, berkisar 26 tahun. Baru tahun kemarin menikah dan dikaruniai 1 orang anak.
Sekarang bayinya yang baru berusia 2 bulan diasuh oleh ibunya karena tidak mungkin Ustadzah Syifa membawanya ke sekolah. Selain karena sifatnya yang rendah diri dan baik hati, ibu guru yang satu ini juga dikenal karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Mungkin itu turunan dari ibunya yang berdarah Cina.
Setelah melahirkan, pesona dan kharismanya bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Wajahnya jadi tampak dua kali lebih jelita, kulitnya jadi lebih putih, sementara body-nya -jangan ditanya lagi- begitu montok dan mengundang birahi.
Ngocoks Payudaranya jadi semakin besar karena berisi air susu, dulu saja sudah kelihatan membusung, apalagi sekarang. Baju selebar dan selonggar apapun tidak bisa menutupi kemolekannya. Setiap mata lelaki yang memandangnya pasti berdecak kagum, dan ujung-ujungnya timbul keinginan untuk menjamahnya, atau minimal memandanginya sepuas hati.
Karena itulah, sekarang Ustadzah Syifa selalu memakai jilbab lebar kalau ke sekolah. Ia ingin mengalihkan perhatian para lelaki, meski dalam hati tahu kalau itu sia-sia belaka.
Dan tak cuma payudara, pinggul dan paha Ustadzah Syifa juga membengkak makin sempurna. Kalau dulu masih agak kecil dan kerempeng, sekarang sudah membulat begitu indah.
Kalau dia berjalan, goyangan pantatnya sanggup membuat semua mata lelaki berpaling, padahal sehari-hari Ustadzah Syifa senantiasa mengenakan jubah panjang dan stoking kaki. Tak lupa juga sarung tangan dan kain dalaman, namun tetap saja para lelaki memandang lapar kepada dirinya.
Sebagai seorang ustazah yang sehari-hari mengajar pendidikan agama, Ustadzah Syifa bukannya tidak tahu hal itu. Namun segala cara sudah ia lakukan, dan sampai sekarang hasilnya masih minim. Ia masih terlihat seperti ikan asin diantara para kucing, keberadaannya terlalu sukar untuk diabaikan.
Ia pernah mengutarakan hal ini pada sang suami, bukannya jawaban memuaskan yang ia terima, malah kecupan mesra di bibir yang ia dapat. Dan ujung-ujungnya, mereka sama-sama tak tahan dan akhirnya bercinta di ruang tengah, di sebelah bayi mereka yang tidur pulas dalam buaian.
Ibu mertua yang memergoki aksi mereka, pura-pura tidak tahu, dan melanjutkan kegiatannya di dapur. Menghadapi kecantikan dan kemolekan Ustzah Nur, memang selalu membikin suaminya lepas kendali. Dan begitu lepas kendalinya hingga membuat laki-laki itu jadi tidak tahan lama. Pembaca Ngocokers tahu kan artinya? Ya, suaminya selalu keluar duluan sebelum Ustadzah Syifa melenguh puas.
Sebenarnya ini tidak terlalu dirisaukan oleh sang ibu guru muda, karena sebagai istri yang baik, ia harus menurut dan tidak boleh mengecewakan sang suami. Apapun keadaannya harus ia terima, meski itu artinya ia tidak pernah sekalipun mengalami orgasme selama 1 tahun pernikahannya.
Ustadzah Syifa bukannya tidak menginginkannya, kadang ia mengharapkannya juga, bahkan cerita-cerita dari rekan sesama guru yang kehidupan ranjangnya begitu panas dan menggelora, sering membuatnya berpikir; senikmat apakah orgasme itu? Tapi sekali lagi, ia terlalu sungkan untuk mengutarakan pada sang suami.
Didikan agama yang begitu ketat membuatnya memandang tabu pembicaraan seperti itu. Lagian, sebagai seorang istri yang solehah, cukup baginya melihat sang suami melenguh puas, tak peduli dengan dirinya sendiri yang tidak pernah merasa nikmat.
Ya, Ustadzah Syifa berani berkata seperti itu karena memang itu yang ia alami. Sudah ejakulasi dini, barang suaminya juga kecil lagi pendek. Memang terasa saat dimasukkan, tapi masih seperti ada yang kurang.
Benda itu tidak bisa menjangkau seluruh lorong kewanitaannya. Hanya terasa di gerbang depan saja, itupun cuma membentur-bentur ringan, tidak bisa menyesaki seperti cerita Ustazah Rina yang suaminya seorang Perwira Polisi. Bikin Ustadzah Syifa jadi gatal setengah mati.
Dan saat gatalnya perlahan memuncak, sang suami malah sudah KO duluan. Ustadzah Syifa memang tidak pernah protes, ia bisa menerima semua itu dengan ikhlas, namun dalam hati kecilnya tetap terbersit keinginan untuk dipuaskan seperti wanita pada umumnya.
Yang lebih tragis lagi, bahkan untuk menembus keperawanan Ustadzah Syifa saat malam pertama dulu, suaminya tidak menggunakan penisnya. Ia tidak mampu! Laki-laki itu menggunakan dua jari tangannya untuk merobek selaput dara Ustadzah Syifa. Kecewa pastinya, tapi apa mau dikata. Ia sudah memilih laki-laki itu sebagai suaminya, apapun keadaannya harus diterima.
Memang di atas ranjang, suaminya tidak mampu. Tapi sehari-hari, lelaki itu itu adalah sosok yang alim lagi bertanggung jawab. Dan itulah yang dicari oleh Ustadzah Syifa, ia harus bisa menekan hasrat birahinya demi kebahagiaan keluarga. Itu yang lebih penting.
Ustadzah Syifa masuk ke dalam klinik yang sudah menjadi langganannya itu. Setiap kali sakit atau ada keluhan kesehatan, ia selalu pergi kesana karena selain dekat dan murah, juga karena ada beberapa doktor muslimah yang bertugas di sana.
Ustadzah Syifa kurang sreg kalau diperiksa oleh dokter lelaki, batasan bukan muhrim membuatnya jadi tidak leluasa berbincang dan berkonsultasi. Beda kalau ditangani dokter wanita, untuk suntik atau apapun, Ustadzah Syifa bisa bebas melakukannya. Kalau dengan dokter lelaki, jangankan memamerkan pinggulnya yang seksi, untuk tensi darah saja ia malu setengah mati.
Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Ustadzah Syifa masuk ke ruang periksa. Untunglah saat itu dokter Aini yang sedang bertugas, Ustadzah Syifa lega saat melihatnya.
”Keluhannya apa, bu Ustazah?” tanya dokter Aini ramah. Lesung pipitnya tampak indah di bawah kacamata bulatnya.
”Ini, dok,” Ustadzah Syifa pun menceritakan keluhannya.
Dokter Aini mendengarkan dengan seksama, setelah itu ia meminta ustazah Nur untuk naik ke atas tempat tidur. ”Maaf, bisa diangkat bajunya, mau saya USG dan periksa secara visual.” kata dokter cantik yang usianya baru lewat 40 tahun itu.
Ustadzah Syifa segera menyingkap baju kurungnya ke atas, dan dililitkannya ke dada. Juga dalemannya. Dengan hanya berstocking dan bercelana dalam, ia berbaring di atas ranjang. Dokter Aini memandangnya, sekilas tampak mengagumi kemolekan dan kesintalan tubuh Ustadzah Syifa. ”Bisa dilepas juga celananya?” tanya dokter itu.
Ustadzah Syifa pun melepas celana dalamnya, tanpa malu-malu ia kini berbaring setengah telanjang di depan dokter Aini.
”Buka sedikit kakinya,” dokter Aini meminta. Dengan alat semacam pengait, ia membuka lipatan vagina Ustadzah Syifa. ”Bilang kalau misalnya ada yang sakit ya,” kata Dokter Aini sambil mulai menekan-nekan lorong vagina Ustadzah Syifa dengan alatnya.
Ustadzah Syifa merasakan sensasi dingin logam menjalari dinding-dinding vaginanya. Dokter Aini menekan di beberapa tempat, sampai menemukan suatu benjolan aneh di sisi klitoris Ustadzah Syifa. ”Apakah sakit?” tanya sang Dokter sambil sedikit menusuk.
”Auw! Ahh,” Ustadzah Syifa berjengit dan sedikit kaget, itu sudah cukup sebagai jawaban.Dokter Aini melanjutkan pemeriksaannya dengan melakukan USG. Setelah selesai, ia mempelajari hasilnya lalu berkata. ”Nampaknya ini sedikit serius.”
”Ada apa, dok?” tanya Ustadzah Syifa pelan, takut mendengar jawabannya.
”Ustazah sudah menikah?” tanya dokter Aini.
”Iya, sudah.” jawab Ustadzah Syifa.
”Anak?””Baru satu. Memangnya kenapa, Dok?” tanya Ustadzah Syifa lagi.
”Begini, dari hasil pemeriksaan, sebaiknya Ustazah menjalani pemeriksaan lebih lanjut dengan seorang doktor ahli kandungan. Sepertinya ada masalah serius di bagian kewanitaan Ustazah.” terang dokter Aini.
”Ah, begitu ya, dok?” gumam Ustadzah Syifa lirih.
”Tapi jangan khawatir, ini cuma dugaan awal saja. Siapa tahu itu cuma bisul yang salah tempat.” dokter Aini berusaha menenangkan.
”I-iya, Dok.” resah Ustadzah Syifa, apa yang ditakutkannya ternyata terjadi juga.
”Saya tidak bisa menerangkan lebih banyak lagi, karena itu bukan bagian saya. Ustazah bisa bertanya nanti pada dokter Ismi, biar dia yang memeriksa lebih lanjut.”
Ustadzah Syifa mengangguk lagi.
”Ustazah silakan tunggu di depan, nanti kami panggil.” kata dokter Aini.
”Periksanya harus sekarang, dok?” tanya Ustadzah Syifa, hari sudah siang, ia harus mengajar ke sekolah.
”Iya, soalnya saya takut kalau terlambat nanti jadi bahaya.” terang dokter Aini.
”B-baik, terima kasih, dok. Assalamu’alaikum…” Ustadzah Syifa pun pamit dan melangkah keluar dari ruang periksa dengan perasaan bimbang. Ia segera mengirim SMS kepada Ustazah Rina, mengabarkan kalau hari ini ia tidak bisa masuk karena sakit.
Kurang dari 15 menit, Ustadzah Syifa dipanggil kembali. Ia disuruh masuk ke ruang periksa oleh seorang perawat muda yang juga berjilbab lebar seperti dirinya. Kali ini ruangannya agak sedikit berada di pojok, dekat dengan ruang bersalin.
Ustadzah Syifa membuka pintunya dan alangkah terkejutnya dia saat melihat siapa yang berada di dalam. Bukan dokter Ismi yang ia temui, melainkan seorang dokter tua yang usianya hampir setengah abad, dua kali lipat dari usianya. Badan lelaki itu kurus, tapi cukup tegap. Kulitnya agak gelap, dengan dandanan rapi dan sopan. Ada sedikit petak-petak putih di rambutnya yang tersisir rapi.
Dokter itu tersenyum dan menyuruh Ustadzah Syifa untuk masuk, ”Silakan duduk, Ustazah.” Dia terlihat cukup sopan. Dr. Pramudya, begitu tulisan yang tertera di nametag-nya.
Ustadzah Syifa balas tersenyum dan segera menempatkan diri di depan dokter tua itu. Perasaannya sungguh tak karuan. Dimana dokter Ismi? Apakah dia harus diperiksa oleh dokter laki-laki ini? Ustadzah Syifa tentu sangat keberatan. Tapi sebelum dia sempat memprotes, dokter Pram sudah keburu berkata,
”Maaf, Ustazah, dari hasil laporan pendahuluan yang saya terima dari dokter Aini, saya menduga ini adalah sejenis virus atau bibit kanker. Untuk memastikannya, saya harus melakukan pemeriksaan lanjutan pada diri Ustazah.” kata dokter Pram
Ustadzah Syifa terhenyak, apa yang selama ini berusaha ia hindari, ternyata terjadi juga. Ia akan ’dijamah’ oleh dokter lelaki. Untuk menenangkan gejolak di hatinya, Ustadzah Syifa menarik nafas panjang dan kemudian bertanya, ”Kalau boleh tahu, kemana dokter Ismi? Menurut dokter Aini, dokter Ismi lah yang harusnya menangani saya.”
Dokter Pram tersenyum, ”Dokter Ismi mendapat telepon mendadak dari keluarganya, salah satu anaknya terlibat kecelakaan di luar kota. Saya terpaksa datang untuk menggantikannya.”
”Ehm, begitu ya. A-apakah tidak ada dokter yang lain, yang wanita maksud saya.” kata Ustadzah Syifa terbata-bata.
Dokter Pram tertawa, ”Jangan takut, Ustazah. Saya tidak akan berbuat macam-macam pada Ustazah. Saya sudah berkerja puluhan tahun, sudah tidak terhitung jumlah pasien yang saya tangani. Semuanya tidak ada masalah, saya akan perlakukan Ustazah seperti saya memperlakukan mereka. Saya terikat sumpah kalau sampai berbuat buruk pada Ustazah.”
Ustadzah Syifa menunduk, ia jadi tidak punya argumen lagi untuk menolak.
”Bagaimana, Ustazah, bisa kita mulai sekarang?” tanya dokter Pram melihat Ustadzah Syifa yang terdiam membisu.
”I-iya, Dok. Tapi sebelumnya, kalau boleh tahu, pemeriksaan macam apa yang akan dokter lakukan?” tanya Ustadzah Syifa malu-malu.
”Pap smear dan VE. Dengan begitu saya bisa memastikan jenis benjolan yang ada di kewanitaan Ustazah.” jelas dokter Pram. ”Sekarang, silakan Ustazah berbaring di situ,” laki-laki itu menunjuk kasur yang ada di pojok ruangan.
Perawat berjilbab yang sejak tadi menyiapkan segala sesuatu, sekarang berbalik pergi meninggalkan ruangan, menyisakan dokter Pram dan Ustadzah Syifa hanya berdua di tempat yang sepi itu.
Jantung Ustadzah Syifa berdegup kencang, dia teringat berbagai cerita mengenai pap smear dari rekan-rekannya. Kebanyakan kisah mereka sungguh menakutkan karena harus memamerkan mahkota yang paling berharga kepada lelaki yang bukan muhrim, padahal sepatutnya hanya kepada suami sajalah mereka boleh memperlihatkan pemandangan indah itu.
Dalam hati, Ustadzah Syifa ingin menolak, namun dia bingung juga akan keadaan dirinya, apalagi mengingat kata-kata dokter Pram barusan. Ia terancam terkena kanker rahim! Oh, sungguh sangat menakutkan.
Dan ketakutan ternyata bisa meruntuhkan akal sehatnya, terbukti saat dokter Pram berkata, ”Silakan Ustazah letakkan kedua kaki di atas sini,” Ustadzah Syifa sama sekali tidak bisa menolak. Bayangan akan ancaman kanker rahim membuatnya menurut dengan cepat.
Dokter Pram menunjuk dua penyangga yang ada di ujung ranjang, saat Ustadzah Syifa meletakkan kedua kakinya disana, posisinya sekarang jadi seperti mengangkang. Kedua pahanya terbuka lebar, sementara kemaluannya terekspos bebas, siap menerima tatapan dokter Pram yang akan menghujam sebentar lagi.
Laki-laki itu berdiri di ujung ranjang, tepat di tengah-tengah celah kaki Ustadzah Syifa. Tampak sebagian paha Ustadzah Syifa sedikit terbuka, juga selangkangan perempuan cantik itu yang tampak menggembung indah. Dokter Pram menatap nanar kesana, seperti tengah menyantap dan menikmati betapa mulus dan mempesonanya aurat Ustadzah Syifa.
Ustadzah Syifa sendiri bukannya tak sadar diperhatikan seperti itu, namun apa daya, ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah semua itu. Sama sekali tidak ada! Yang bisa ia lakukan sekarang cuma duduk terdiam pasrah sambil berharap pemeriksaan itu berlangsung cepat sehingga rasa malu yang menggumpal di hatinya tidak bertambah menjadi lebih besar lagi.
”Maaf, Ustazah.” Dokter Pram menarik jubah terusan panjang warna hijau muda bercorak bunga yang dikenakan Ustadzah Syifa ke atas, kain daleman warna putih yang dipakainya turut disingkap ke atas sampai ke batas pinggang, membuat sebagian paha dan celana dalam si ustazah terlihat jelas.
Ustazah alim ini memakai stoking putih panjang hingga ke ujung lututnya, meski begitu, separuh tubuhnya sudah telanjang sekarang. Memang dia masih memakai baju dan jilbab lebar untuk menutupi tonjolan buah dadanya yang membusung indah, tapi bagian bawah tubuhnya -yang merupakan bagian paling intim- justru terbuka lebar.
Bersambung…