Dokter Pram menelan ludah, dia memang beruntung. Meski sudah banyak melihat berbagai bentuk dan rupa kemaluan wanita, namun milik Ustadzah Syifa ini tampak sangat spesial. Masih tertutup celana dalam saja sudah terlihat begini indah, apalagi kalau dibuka.
Membayangkannya membuat penis sang dokter yang sudah lama tidak terbangun, jadi menggeliat lagi. Ditambah kulit paha Ustadzah Syifa yang begitu putih dan mulus, jadilah dokter Pram menyeringai mesum karenanya.
”Maaf ya, Ustazah, ininya saya buka,” kata dokter tua itu sambil menyingkap sedikit celana dalam Ustadzah Syifa hingga celah kemaluannya terlihat jelas. Tampak begitu indah dan sempurna. Meski baru saja dipakai untuk melahirkan, benda itu tetap terlihat imut dan lucu, begitu sempit dan mungil, tampak tidak melar sama sekali.
Pasti rasanya masih sangat menggigit. Dengan warna merah kecoklatan, dan rambut yang tercukur rapi tumbuh di bagian atasnya, jadilah kemaluan itu begitu mantab dan mempesona. Ustadzah Syifa bukannya ikhlas diperhatikan seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, mau mundur sekarang juga percuma, dokter Pram sudah terlanjur menatap kemaluannya.
Ia sebenarnya malu bukan main, air mata mulai menetes di sudut kelopaknya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ini prosuder normal, hanya dengan begini dokter Pram bisa mendiagnosis penyakitnya, meski itu artinya ia harus merelakan dokter tua itu mengutak-atik kemaluannya. Ustadzah Syifa menghela nafas, demi kesembuhan, tampaknya ia harus rela melakukan itu.
”Maaf, Ustazah,” sekali lagi dokter Pram meminta maaf. Tanpa memperhatikan ekspresi Ustadzah Syifa yang malu dan takut, ia mengambil krim dari salah satu tube yang tertata rapi di meja dan mengoleskan ke telapak tangannya. Ustadzah Syifa memperhatikan dengan seksama saat dokter Pram meratakan krim itu ke permukaan kemaluannya.
”Agar Ustazah nyaman dan tidak sakit.” kata dokter tua itu sambil tangannya terus bergerak. Ustadzah Syifa bergidik, baru kali ini ada lelaki lain yang memegang kemaluannya, dan bukan cuma memegang, tapi sudah memijit dan menggesek-gesek meski sama sekali tidak terlihat punya niat buruk. Jari-jari dokter Pram bergerak dengan ringan, membelai bibir kemaluan Ustadzah Syifa, berusaha meratakan krim di tangannya sesempurna mungkin.
Vagina Ustadzah Syifa jadi terlihat licin dan mengkilap sekarang. Tadi saja sudah terlihat begitu indah, apalagi sekarang. Dokter Pram yang sering melihat kemaluan wanita saja, sempat berhenti sebentar karena saking terpesonanya.
Sekilas ia menatap kemaluan Ustadzah Syifa tanpa berkedip, memperhatikan saat benda itu berkedut-kedut ringan seiiring nafas Ustadzah Syifa yang semakin cepat karena saking malunya. Ingin ia melihat lebih lama lagi, namun janji sumpah setianya sebagai dokter melarang hal itu. Maka sambil sedikit bergidik, dokter Pram menarik pandangannya.
”Hah,” Ustadzah Syifa menghela nafas lega, namun itu cuma sementara, karena selanjutnya sang dokter sudah bersiap untuk langkah berikutnya.
”Ustazah tidak apa-apa? Saya akan memulai pemeriksaan,” kata dokter Pram sambil mulai menutul dan menguak-nguak lubang kelamin Ustadzah Syifa dengan ujung jarinya.
Ustadzah Syifa yang tidak diberi kesempatan untuk bernafas, kontan mengeluh karenanya. Namun sepertinya dokter Pram tidak mengetahui, atau tidak peduli? Entahlah, yang pasti, laki-laki itu terus memegang dan memeriksa alat kelamin Ustadzah Syifa.
Dengan jari-jari tangannya yang panjang dan keriput, dia terus mengelus dan memijitinya. Ditelusurinya vagina cantik Ustadzah Syifa tanpa berkedip, tiap bagiannya ia perhatikan dengan teliti. Air cinta Ustadzah Syifa yang mulai mengalir keluar diusapnya dengan hati-hati agar tidak menghalangi pandangan. Dokter Pram sepertinya jenis orang yang teliti.
”Hmm, sepertinya semua baik-baik saja,” kata laki-laki tua itu, tangannya terus bermain di permukaan kewanitaan Ustadzah Syifa.
Sang ibu guru muda yang diperlakukan seperti itu, sebenarnya ingin protes, namun tidak berani. Siapa tahu ini benar-benar prosedur normal, bukan seperti kata hatinya, yang merasa kalau jari-jari tangan dokter Pram seperti merangsang dirinya!
Sama seperti yang biasa dilakukan suaminya ketika merayu untuk mengajak bercinta. Akibatnya, cairan kewanitaan Ustadzah Syifa jadi meleleh deras sekarang. Semakin lama menjadi semakin banyak. Karena malu, ia pun menguatkan diri untuk melayangkan protes. Ustadzah Syifa tidak ingin digoda lebih lama lagi. Sudah tahu kalau kewanitaannya baik-baik saja, kenapa masih dipegangi juga?
”Ehm, dok… a-apa nggak sebaiknya pake s-sarung tangan? B-bersalaman aja k-kita tidak boleh, a-apalagi bersentuhan s-seperti ini!” sergah Ustadzah Syifa dengan nafas panjang pendek. Wajah cantiknya sudah memerah karena malu.Dokter Pram menoleh dan tersenyum bijak, ”Sarung tangan cuma membatasi feeling saya, Ustazah. Begini lebih baik, hasil diagnosanya bisa lebih akurat.” kata laki-laki tua itu.
”T-tapi… saya masih keberatan,” Ustadzah Syifa mengeluh, ia berusaha keras melawan rangsangan yang datang… karena sambil berbincang, tangan dokter Pram terus memegang dan memijit-mijit kemaluannya.
”Ustazah tenang saja, biar saya yang menanggung dosanya. Yang penting Ustazah cepat sembuh.” doktor Pram menggunakan dua jarinya untuk menguak lubang kemaluan Ustadzah Syifa. Kalau tadi cuma permukaannya yang terlihat -yang mana itu sudah membuat Ustadzah Syifa malu bukan main-sekarang seluruh lorong dan celah kewanitaan sang Ustazah terlihat jelas.
Sungguh indah bukan main. Warna dan lipatannya yang masih tampak sempurna sanggup membuat dokter Pram terdiam. Lagi-lagi pria itu terpesona, bagaimana bisa wanita alim seperti Ustadzah Syifa yang jarang merawat tubuh bisa memiliki alat kelamin sebagus ini. Sungguh suatu anugrah dari yang kuasa. Mungkin ini yang namanya karunia, kalau tidak mau dikatakan mukjizat.
”Ahh, dok…” kembali Ustadzah Syifa membuka suara, mencoba untuk memprotes. ”K-katanya baik-baik saja, k-kenapa masih diteruskan?” tanyanya dengan suara berat.
”Tadi cuma bagian luar saja, yang dalam kan belum saya periksa.” kilah dokter Pram. Dengan satu jari ia mengorek kemaluan Ustadzah Syifa.
Tak dinyana, Ustadzah Syifa yang sejak tadi sudah matian-matian berusaha menahan diri, tiba-tiba saja berteriak kencang. ”Dok, auw!” jeritnya parau.
Doktor Pram sempat terkejut, namun selanjutnya tersenyum penuh pengertian. ”Kenapa, Ustazah? Sepertinya saya tidak menyentuh bagian yang sakit.”
”Ah, s-saya…”
Belum selesai Ustadzah Syifa menjawab, dokter Pram sudah cepat memotong, ”Jangan bilang kalau jari saya lebih besar dari kemaluan suami Ustazah,”
Ustadzah Syifa terdiam, matanya melotot, sementara mulutnya komat-kamit ingin membalas kekurang-ajaran dokter tua itu, namun ia tidak bisa mengeluarkan suara karena apa yang dikatakan oleh dokter Pram memang benar adanya.
Memang tidak lebih kecil sih, tapi ukuran penis suaminya sama dengan jari dokter Pram (Menyedihkan bukan?) itulah kenapa ia menjerit, saat dokter Pram memasukkan jarinya, Ustadzah Syifa jadi merasa seperti disetubuhi.Melihat keterpanaan Ustadzah Syifa, doktor Pram tersenyum nakal dan meneruskan aksinya. Tangannya kembali mengorek-ngorek vagina Ustadzah Syifa, sementara mulutnya berbisik, ”Punya saya lima kali lebih besar dari
ini lho,”
”Hah,” Ustadzah Syifa mendelik marah, sama sekali tidak menyangka kalau dokter tua yang kelihatan sopan itu kini menggodanya. ”Dokter jangan macam-macam ya, saya…”
”Kenapa, Ustazah ingin melihatnya?” tantang dokter Pram dengan lebih berani. Ia nekad berbuat seperti itu karena meski melihat Ustadzah Syifa marah, tapi wanita itu seperti terlihat pasrah. Hanya mulut dan matanya yang memprotes, sementara gerak-gerik dan isyarat tubuhnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
”Bukan!” Ustadzah Syifa menggeleng cepat, ”Mana mungkin ada yang punya barang sebesar itu,” ujarnya kemudian dengan muka menunduk menahan malu, entah kenapa ia bisa berkata seperti ini, padahal biasanya ia paling anti berkata jorok.
”Haha,” dokter Pram tertawa, tangannya terus bergerak membelai kemaluan sang Ustazah cantik dengan mesra. Benda itu sudah sangat membanjir sekarang. ”Ustazah mau bukti?” tanyanya menggoda.
Ustadzah Syifa terdiam, tubuh sintalnya menggeliat, namun tidak bisa melepaskan diri dari kekangan penyangga yang menahan kakinya. Usahanya memang tidak terlalu keras, karena meski ia tidak menginginkannya, perbuatan dokter Pram sanggup memancing gairahnya secara perlahan. Itu yang membuatnya jadi sedikit pasrah.
”Dari tadi, benda ini bikin saya penasaran,” kata dokter Pram sambil menekan pelan kelentit Ustadzah Syifa.
”Auw!” seperti tadi, kali ini perempuan cantik itu juga berteriak kesakitan.
”Aha, sepertinya kita menemukan letak penyakit Ustazah.” kata dokter Pram pura-pura gembira. Tangannya bergerak mengusap pelan kelentit Ustadzah Syifa, mencoba menaksir apa kiranya benjolan merah yang terasa kaku itu.
”I-iya, dok… i-itu yang sakit.” sahut Ustadzah Syifa dengan terengah-engah. Bukan saja karena kaget, tapi juga karena rangsangan birahi yang mulai menguasai tubuh sintalnya. Bagaimana tidak? Sambil mengusap kelentit, salah satu jari dokter Pram terus menjejalahi lubang kemaluannya. Laki-laki itu seperti merangsangnya. Misalkan ditambah jilatan, lengkaplah sudah ritual mesum itu.
”Ini cuma benjolan biasa, tapi untuk memastikannya, kita harus melakukan tes lain.” kata dokter Pram.
”T-tes apa, d-dok?” tanya Ustadzah Syifa dengan sedikit berbisik, ia mulai tidak bisa berpikir jernih. Tebalnya iman yang biasanya ia bangga-banggakan, perlahan terhapus oleh bayangan penis sang dokter yang katanya lima kali lipat besarnya.
Kalau pakai jari saja sudah begini enak, gimana kalau pakai penis sungguhan? Ah, Ustadzah Syifa mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu. Mencoba mengusir bayangan mesumnya, ia pun menarik nafas panjang.
”Ustazah lelah?” tanya dokter Pram yang melihat Ustadzah Syifa menghela nafas.”Ah, t-tidak. Saya cuma pingin rileks,” Ustadzah Syifa melemaskan lagi tubuhnya yang tadi sempat tegang. Dengan dokter Pram yang menarik jarinya dan sekarang berdiri di sampingnya, ia jadi bisa melakukan itu.
”Maaf tadi saya berlaku kurang ajar. Habisnya, tubuh Ustazah begitu indah. Baru kali ini saya dapat pasien yang sanggup bikin saya lepas kendali.” kata dokter Pram dengan sangat terus terang.
”Emm, tidak apa-apa, dok. Saya juga minta maaf, saya bisa mengerti kok.” Ustadzah Syifa melirik selangkangan sang dokter yang kini tepat berada di sudut matanya, tampak benda itu sudah sangat menggembung, besar sekali.
Apapun sesuatu yang ada di dalamnya, kini sudah terbangun dan menggeliat, menampakkan keperkasaannya. Tanpa sadar, Ustadzah Syifa menelan ludahnya. Bayangan penis yang besarnya lima kali lipat dari milik sang suami kembali menggoda pikirannya.
”Saya ingin tahu reaksi tubuh Ustazah. Bukankah tadi ustazah bilang kalau perut bagian bawah yang sakit? Benjolan itu seharusnya tidak menghasilkan efek seperti itu. Saya takut ini karena sebab lain.” kata dokter Pram.
Seperti ditusuk dan dipelintir-pelintir terus merajam bagian bawah perutnya. Membuatnya jadi benar-benar tak tahan. Maka, sambil meringis kesakitan, ia pun merelakan saat tangan kurus dokter Pram membantu mencopoti kancing bajunya.
”M-maaf, Ustazah.” kata dokter tua itu saat tangannya dengan tidak sengaja menyenggol tonjolan buah dada Ustadzah Syifa.
Tidak menjawab, Ustadzah Syifa menyingkap baju panjang dan daleman yang ia kenakan. Jadilah, dengan perasaan sangat malu namun kesakitan, ia berbaring hampir telanjang di depan dokter Pram. Hanya jilbab lebar dan beha putih susu yang masih tersisa di tubuh sintalnya.
Yang lain sudah terlepas begitu mudah. Memang masih ada celana dalam, tapi benda itu seperti jadi penghias saja karena sudah tersingkap dari tadi, memperlihatkan lubang kemaluan Ustadzah Syifa yang sudah basah dan memerah.
Bersambung…