Dokter Pram memandangi sejenak tubuh montok Ustadzah Syifa yang masih menggeliat-geliat menahan sakit. Ia perhatikan bahu ibu muda itu yang ternyata begitu bersih, putih sekali, dengan lekuk tubuh yang masih menampakkan keindahan meski baru saja melahirkan.
Bulatan payudaranya tampak begitu menggoda, sangat besar sekali. Sisi-sisinya yang padat dan putih mulus terlihat jelas karena beha yang dikenakan Ustadzah Syifa ternyata kekecilan.
Ustadzah Syifa berusaha membenahinya dengan mendekapkan tangan di bagian atasnya, berharap bisa menghalangi pandangan sang dokter dari tonjolan buah dadanya.
”Dok, s-sakit!” ia mengingatkan laki-laki tua itu saat melihat dokter Pram cuma diam saja tanpa bertindak apa-apa.
”Ah… eh, iya. Maaf.” tersadar dari lamunan, cepat dokter Pram memegangi tubuh Ustadzah Syifa. Dimulai dari bagian bawah perut. ”Katakan kalau sakit,” perintahnya. Ustadzah Syifa mengangguk. Bisa dirasakannya tangan sang dokter yang tengah meraba lembut kulit selangkangannya.
Dilanjutkan naik ke atas menuju bukit kemaluannya. Dokter Pram seperti meraba-raba rambut kemaluannya sebelum tangannya terus naik menuju ke bagian bawah pusar. Disini dokter Pram menekan sedikit, membuat Ustadzah Syifa sedikit berjengit namun tidak berteriak kesakitan.
”Tapi saya curiga ini karena kesalahan saya,” sambung dokter Pram.
”Kesalahan dokter? Maksudnya?” tanya Ustadzah Syifa tak mengerti.
”Mungkin saya kurang teliti dalam memeriksa, jadi penyakit Ustazah terlewat dari pengamatan saya.” jelas dokter Pram.
Ustadzah Syifa berusaha mencerna kata-kata itu. Lalu, ”Ehm, jadi… dokter mau melakukan pemeriksaan ulang, gitu?” tanyanya.
Dokter Pram mengangguk, ”Dengan ustazah melepas bh ini,” jarinya menunjuk beha putih susu yang masih bertengger di atas gundukan payudara ustazah Nur. ”Saya harus memegangnya langsung, kulit bertemu kulit. Dengan begitu, saya bisa memastikannya dengan lebih teliti.” tambahnya sebelum Ustadzah Syifa sempat membantah.
Ibu guru berjilbab itu kembali terdiam, berat sekali rasanya menanggung semua ini. Sebelum kesini tadi, ia sama sekali tidak menyangka kalau akan disuruh telanjang. Tapi sekarang?
Ah, namun penyakitnya sangat perlu untuk diobati. Rasanya sakit sekali kalau lagi kambuh. Lebih baik ia telanjang daripada merasakannya lagi. Bisa-bisa ia pingsan kalau rasa sakit itu datang lagi.
Maka, sambil menghela nafas panjang, Ustadzah Syifa pun berucap. ”Bagaimana kalau tangan dokter masuk ke dalam. Saya malu kalau harus melepasnya, malu sekali!” bisiknya.
Dokter Pram mengangguk, ”Begitu juga bisa,”
Selesai berkata, dengan tangan bergetar, dokter tua itupun menjamah payudara Ustadzah Syifa. Jari-jarinya menyusup masuk ke balik cup bh sang ibu muda.”Ahh…” Ustadzah Syifa melenguh saat merasakan jari-jari sang dokter yang mulai melingkupi tonjolan buah dadanya.
Dokter itu mengusap-usap pelan seluruh permukaannya yang halus dan mulus, terutama putingnya, beberapa kali jari dokter Pram seperti sengaja menjepit dan memilinnya, membuat butiran keringat mulai bermuncul di dahi Ustadzah Syifa yang masih tertutup jilbab.
Dokter Pram tersenyum menyaksikan betapa nafas pasiennya yang cantik ini mulai sedikit tidak teratur. Ia terus memijit dan meremas-remas, merasakan betapa payudara Ustadzah Syifa begitu licin dan empuk dalam genggaman tangannya. Pesona benda itu begitu luar biasa hingga membuat dokter Pram jadi ikut kesulitan untuk mengatur nafas.
”Dok…” tegur Ustadzah Syifa dengan suara nyaris berbisik.
”Shh… tenang, Ustazah.” desis dokter Pram untuk menenangkan. ”Saya masih belum selesai,” ucapnya dengan tangan terus bergerak. Dari yang kiri, selanjutnya berpindah ke yang kanan. Ia terus meremas-remas payudara Ustadzah Syifa yang bulat besar dengan penuh kelembutan.
Dari degup jantung dan deru nafas sang dokter yang kian memacu, sudah bisa ditebak betapa luar biasanya rasa bulatan kembar itu.
”Dok…” Ustadzah Syifa kembali berbisik, ia memegang kedua pergelangan tangan sang dokter, berusaha sedikit menarik dari permukaan buah dadanya.
Tapi dokter Pram yang sudah terlanjur enak, tentu saja tidak mau berhenti begitu saja. ”Tahan, tinggal sedikit lagi.” sahutnya sambil terus mempertahankan remasan tangannya.
Ustadzah Syifa terdiam, ia sudah tidak bisa lagi memprotes. Malah yang ada sekarang, bulu kuduknya mulai meremang. Lalu tubuhnya yang sintal jadi sedikit agak gemetar, dengan diiringi deru nafas yang mulai tidak beraturan.
Sepertinya ia sudah mulai kehilangan kendali. Habisnya, siapa juga yang tahan diremas-remas seperti itu. Wanita manapun pasti takluk, tak peduli seberapa hebat imannya.
Cup beha Ustadzah Syifa mulai tertarik ke atas secara perlahan-lahan, menampakkan gundukan daging kenyal yang ada di dalamnya, yang tengah ditampung oleh dokter Pram ke dalam genggaman tangannya.
”Dok, jangan…” lirih Ustadzah Syifa saat melihat dokter tua itu mulai menunduk untuk menciumnya.
Tapi dokter Pram yang pertahanan moralnya sudah tumbang, cepat menindihnya. Ustadzah Syifa berusaha untuk melawan dengan mencoba mendorong tubuh laki-laki tua, namun apalah arti tenaga seorang wanita dibanding pria yang tengah terbakar nafsu.
Dengan mudah dokter Pram bisa meringkusnya.”Dok… jangan, ini tidak boleh… mmmff!!” ucapan Ustadzah Syifa terhenti ketika dokter Pram menyumpal paksa mulutnya dengan ciuman. Laki-laki itu mencucup dan melumatnya penuh nafsu sambil tangannya terus bergerak meremas-remas bukit kenyal di dada Ustadzah Syifa.
”Mmmf… Dok, mmmhh!” tangan Ustadzah Syifa terus meronta, namun dokter Pram cepat menangkap dan merentangkannya ke atas, membuat perempuan cantik itu jadi benar-benar tidak berdaya sekarang.
Kembali dokter Pram melumat bibirnya, ia menahan pergelangan tangan Ustadzah Syifa dengan satu tangan karena sebelah tangannya sibuk berupaya melepas ikatan celana panjang yang ia pakai. Ustadzah Syifa mulai menangis terisak, tubuhnya menggeliat-geliat, berusaha melakukan perlawanan untuk yang terakhir kali.
Namun itu justru menciptakan pemandangan sensual yang makin membangkitkan birahi sang dokter tua. Mata Ustadzah Syifa membelalak dan kian panik ketika dengan paksa dokter Pram merenggut celana dalamnya.
”Dok, jangan!” Ustadzah Syifa sama sekali tidak bisa melawan. Kakinya yang tertahan di kaki ranjang tidak bisa dirapatkan. Akibatnya, batang penis sang dokter yang sudah ngaceng berat -yang ukurannya lima kali lipat dari penis sang suami- tepat berada di antara kedua pahanya, mencari-cari lubang kemaluannya untuk dimasuki.
”Ahh, Dok!” rintih Ustadzah Syifa saat merasakan tumbukan benda itu di bibir alat kelaminnya, dan terus berusaha mendorong masuk hingga menemukan celahnya, yang ternyata… telah begitu basah.
Dokter Pram tersenyum, ”Tahan, Ustazah. Akan saya masukkan sekarang. Ustazah pasti akan menyukainya.” bisik laki-laki tua itu sambil mulai mendesakkan pinggul. ”Ahh…” ia melenguh saat merasakan jepitan kemaluan Ustadzah Syifa yang ternyata lebih sempit dari rongga vagina Mia, perawat yang tadi membantunya, yang sudah sering ia tiduri saat sedang bertugas.
”Ugh,” Ustadzah Syifa hanya bisa meringis pasrah, air mata terus mengalir menemani isakan masih yang keluar dari mulutnya.
”Maafkan saya, Ustazah… tubuh Ustazah begitu menggoda, bukan salah saya kalau jadi nggak tahan seperti ini.” ujar dokter Pram sambil berusaha mengayun-ayunkan pinggulnya.
”Hah, hah,” Ustadzah Syifa hanya bisa terisak dan menggigit bibirnya saat dokter Pram mulai memompa tubuhnya. Mula-mula perlahan, tapi semakin lama menjadi semakin cepat hingga membuat tubuh ibu guru muda yang cantik itu jadi berguncang-guncang.
Terutama tonjolan buah dadanya yang sangat besar, yang sayang jika disia-siakan. Maka dokter Pram segera menangkap dan memeganginya sambil menggigit ringan kedua puncaknya secara bergantian, membuat Ustadzah Syifa kian merintih dan menangis pilu. Pagi itu, suasana yang sejuk berubah menjadi panas.
Tubuh tua dokter Pram mulai dibanjiri keringat, begitu juga dengan Ustadzah Syifa. Kamar praktek dengan cat biru muda itu seolah-olah berubah menjadi kamar pengantin yang begitu indah (bagi dokter Pram), diiringi deritan ranjang besi yang bergerak pelan seiring goyangan sepasang manusia yang berbaring di atasnya.
Ustadzah Syifa sudah terdiam, pasrah akan nasibnya. Melawan seperti apapun, semuanya pasti sia-sia. Kelakuan bejat dokter Pram tidak mungkin dapat ia hindarkan. Memang ia sendiri yang salah, mau saja dijebak dengan alasan pemeriksaan lanjutan. Kalau tahu jadinya akan seperti ini, tentu ia akan menolak tadi. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Suara kecipak alat kelamin mereka semakin keras terdengar. Dokter Pram kembali melumat bibir Ustadzah Syifa yang mengatup rapat dan menghisapnya dengan begitu rakus. ”Jangan diam saja, Ustazah… saya tahu kalau Ustazah juga menikmatinya!” lenguh dokter Pram, membuat wajah Ustadzah Syifa jadi kian memerah.
”Auw!” Ustadzah Syifa menjerit ketika tiba-tiba dokter Pram merangkul dan memeluk ketat dirinya. Di bawah, ia merasakan penis sang dokter berkedut-kedut pelan saat menumpahkan segala isinya.
Laki-laki itu telah orgasme, ejakulasi di dalam dirinya. Semprotan demi semprotan benih terlarangnya menerjang setiap sudut gua kenikmatan Ustadzah Syifa bagai air bah. Sangat kental dan banyak sekali. Ustadzah Syifa menangis pilu, ia terisak pelan tanpa mengeluarkan suara.
Saat dokter Pram bangkit meninggalkan tubuh sintalnya, tampak cairan putih kental mengalir keluar dari celah bibir kemaluannya, menciptakan danau kecil di atas sprei klinik yang putih bersih. Mata Ustadzah Syifa menerawang ke langit-langit kamar. Dadanya naik turun membawa serta dua gunung indah di atasnya, membuat dokter Pram jadi tergoda untuk menjamahnya kembali.
“Maafkan saya, Ustazah… saya khilaf. Sebagai lelaki normal, berat bagi saya untuk mengabaikan tubuh indah Ustazah begitu saja. Sekali lagi, maafkan saya. Kalau Ustazah ingin lapor ke polisi, silakan saja. Saya pasrah!” kata dokter Pram sambil membenahi celananya.
Ustadzah Syifa melirik sekilas ke penis sang dokter yang masih basah belepotan sperma. Benda sebesar lima jari itulah yang barusan merenggut kehormatannya. Kehormatan seorang istri yang lama tidak dipuaskan oleh seorang suami, yang tragisnya, menemukan kepuasan itu dalam sebuah pemerkosaan!Ya, Ustadzah Syifa tidak ingin munafik.
Jujur ia mengakui, inilah persetubuhan ternikmat yang pernah ia rasakan. Penis besar dokter Pram seperti memanjakannya, meski pada awalnya memang sangat menyakitkan. Namun begitu alat kelamin mereka sudah mulai bisa terbiasa dan bisa menyesuaikan diri, bukan nyeri yang dirasakan oleh Ustadzah Syifa, melainkan rasa nikmat yang amat sangat, yang tidak pernah ia dapatkan dari sang suami.
Itulah sebabnya kenapa tadi ia terdiam di akhir-akhir permainan. Ustadzah Syifa rupanya mulai bisa menikmatinya. Tapi sayang, dokter Pram keburu keluar duluan. Kalau saja diteruskan lebih lama lagi, pasti Ustadzah Syifa akan orgasme juga, sesuatu yang sudah lama ia rindukan dan cari-cari.
”Maafkan saya, Ustazah.” kata dokter Pram sekali lagi, menyadarkan Ustadzah Syifa dari lamunannya.
Wanita itu memandang dengan muka sayu dan berujar. ”Saya tidak akan melaporkan ini ke polisi, dok, karena ini merupakan salah saya juga. Tapi saya berharap, ini jadi rahasia kita berdua.”
“Saya akan jaga rahasia ini, Ustazah,” jawab dokter Pram pelan sambil berupaya memeluknya, kali ini Ustadzah Syifa dengan pasrah meringkuk dalam dekapannya dan menumpahkan tangis di dada kurus sang dokter.
Entah siapa yang memulai, kembali bibir mereka saling bertemu dan berpagutan. Tangan dokter Pram kembali meremas-remas payudara montok milik Ustadzah Syifa, sementara Ustadzah Syifa dengan malu-malu membalas dengan mengusap-usap batang penis sang dokter yang kembali siap tempur.
”Ustazah?” lirih dokter Pram. Menyadari kalau ibu muda itu ternyata juga memendam hasrat kepada dirinya, maka dengan cepat ia kembali menindih dan mengangkangi Ustadzah Syifa. Ia arahkan batang penisnya ke selangkangan perempuan cantik itu.
”I-iya, lakukan, dok!” sahut Ustadzah Syifa dengan pasti.
Tersenyum penuh kemenangan, dokter Pram pun menusukkan penisnya. ”Jlebb!” kembali batang itu tenggelam dalam liang senggama Ustadzah Syifa.
”Arghh… dok!” Kali ini Ustadzah Syifa sudah tak malu-malu lagi mengeluarkan suara rintihan nikmat. Pantat moleknya tampak berguncang-guncang akibat hentakan sang dokter yang mulai bergerak cepat.
Tangan dokter Pram meraih gunung kembar yang terayun-ayun indah di dada Ustadzah Syifa. Ia memijit dan meremas-remasnya sambil terus menggoyang keras.”Ouuh… Dok!” rintih Ustadzah Syifa menemani tusukan dokter Pram.
Tubuh mereka kembali basah, berkilauan oleh keringat. Ronde kedua ini lebih lama berlangsung. Ustadzah Syifa makin mendesah-desah saat nikmatnya orgasme mulai terasa datang menyerang tubuh sintalnya. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
”Dok, terus! Aku… arghhhh!” dengan satu teriakan kencang, tubuh Ustadzah Syifa pun berguncang. Kemaluannya berkedut cepat memijit batang penis dokter Pram yang masih bergerak cepat.
Bersamaan dengan itu, cairan bening berhamburan memancar dari liang senggamanya, menyiram penis sang dokter hingga jadi terasa basah dan lengket. Tubuh montok Ustadzah Syifa gemetar hebat saat mengalaminya. Itulah orgasme terdahsyat yang pernah ia alami seumur hidupnya. Yang pertama, sekaligus yang ternikmat.
”Ustazah, ahh…” dokter Pram menyusul tak lama kemudian. Kembali cairan spermanya menyiram mulut rahim Ustadzah Syifa secara bertubi-tubi.
Pagi itu, hubungan profesional seorang dokter dan pasiennya, telah melanggar batas, berubah menjadi hubungan terlarang sepasang manusia yang masing-masing telah terikat perkawinan. Dokter Pram terlihat puas, begitu juga dengan Ustadzah Syifa. Wanita itu, yang awalnya begitu malu, sekarang sudah menjadi nakal dan ketagihan.
Kembali ia merayu sang dokter tua hingga sekali lagi mereka melakukannya. Menjelang siang, saat sekolah sudah akan bubar, baru Ustadzah Syifa beranjak keluar dari kamar praktek dokter Pram. Tersungging senyum manis di bibirnya yang tipis.
Hari-hari berikutnya, hubungan haram itu terus berlangsung. Dan membawa konsekuensi tumbuhnya benih di rahim Ustadzah Syifa, padahal bayinya yang pertama masih berumur 3 bulan. Untunglah sang suami sama sekali tidak curiga, bahkan saat Ustadzah Syifa meminta untuk diantar periksa ke dokter Pram, laki-laki itu dengan senang hati melakukannya.
Dibiarkannya sang istri tercinta masuk ke ruang periksa tanpa ia dampingi, ia sama sekali tidak tahu kalau di dalam, dokter Pram sudah menunggu kedatangan Ustadzah Syifa dengan tubuh telanjang dan penis mendongak ke atas begitu kencang.