Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua. satu setengah jam lagi lonceng pulang sekolah berbunyi. Mama masih mengetik di komputer, sementara aku mengamati Paijo dari balik jendela.
“Mama sudah selesai?” tanyaku.
“Belum. Kerjaan Mama masih numpuk,” sahut Mama. Sesekali ia mengurut keningnya.
“Mama mendingan istirahat sebentar,” kataku. “Kasihan juga Paijo, dia kerja dari pagi sampai sore. Dia perlu istirahat seperti Mama.”
“Kenapa kamu tiba-tiba ngomongin Paijo?”
“Karena aku ada ide,” kataku. “Bagaimana kalau Mama sesekali menghibur Paijo.”
“Apa maksud kamu?”
Kubisikkan rencanaku ke Mama. Kedua matanya melotot begitu mendengar rencanaku.
“Gila kamu!” jeritnya. “Gimana kalau terjadi apa-apa ke Mama?”
“Selama murid-murid masih di kelas, Mama bakal baik-baik aja,” kataku meyakinkan. “Paijo juga kayaknya bukan jenis orang yang suka bocorin rahasia. Aku gak pernah lihat dia ngobrol sama orang-orang di sekolah, kecuali sama Mama.”
“Tapi ini risikonya gede bener!”
“Tenang, aku bakal mengawasi Mama dari kejauhan. Kalau ada yang lewat, aku langsung kasih peringatan,” kataku.
Lima menit kemudian, kami sudah berada di taman sekolah yang bersebelahan dengan gedung kantor guru. Aku sudah memastikan kalau semua guru sedang mengajar di kelas, jadi tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar kami.
Mama berjalan mendekati Paijo yang masih menyiram tanaman, sedangkan aku mengawasi dari tepi dinding. Mama agak kesulitan melangkah karena masih ada timun yang bersarang di memeknya. Tangan kirinya menggenggam sesuatu.
Paijo menoleh kaget saat pundaknya disentuh Mama.
“Waduh maaf Bu, saya gak lihat kalau Ibu ada di sini,” kata Paijo sambil mengelap tangannya yang kotor ke celana. “Ibu lagi ada perlu apa ya?”
“Saya cuma mau minta tolong,” kata Mama. Suaranya merendah.
“Minta tolong apa ya? Saya pasti bantu sebisanya.”
Mama mengeluarkan gulungan sempak yang tadi digenggamnya. “Saya mau minta tolong Pak Paijo buat nyuci celana dalam saya.”
Pak Paijo memandang gulungan sempak itu. “Ibu yakin minta tolong saya buat nyuci ini?”
Mama mengangguk. “Cuma Pak Paijo yang bisa saya minta tolong. Celana dalam saya kotor karena saya keringetan terus dan saya gak bawa gantinya. Mau pulang kok nanggung karena mau ada rapat nanti.”
Tangan Pak Paijo bergetar saat menerima sempak itu. “Oke, saya cuci di kamar mandi. Kebetulan saya ada detergen di gudang. Tunggu sebentar.” Ia melesat ke arah gudang yang letaknya di belakang gedung sekolah.
Mama langsung terduduk lemas di rumput.
“Keren, Mama mulai berani,” kataku sambil bertepuk tangan.
“Ampun Nak, Mama sudah gak kuat lagi.”
“Yuk kita ikutin Pak Paijo,” kataku.
Untuk sampai di gudang, kami harus melewati jalan setapak yang nyaris tidak terlihat karena tertutup rerumputan tebal. Di ujung jalan setapak itu terdapat bangunan kecil seperti gubuk yang berfungsi sebagai tempat Pak Paijo menyimpan peralatan kerjanya.
“Kita stop di sini,” kataku ke Mama yang mengikutiku. Kami bersembunyi di balik pohon besar.
Pak Paijo terlihat sedang jongkok di depan keran air yang menyala. Ia melebarkan sempak Mama, mengamati setiap sisinya dengan seksama. Tampaknya ia belum menyuci sempak itu.
“Kita ngapain lihat dia nyuci sempak?” bisik Mama.
“Sssst… tunggu sebentar. Nah, itu dia,” kataku.
Penjaga sekolah itu menempelkan sempak Mama ke wajahnya. Kedua matanya tertutup seakan-akan menikmati aroma dari sempak Mama.
Mama melihat kelakuan Pak Paijo dengan jijik. “Cukup sudah, Mama mau pergi,” katanya gusar.
“Tunggu sebentar lagi,” kataku sambil menahan Mama.
Sambil terus menghirup sempak Mama, Pak Paijo menurunkan celananya. Kontolnya yang siap tempur menyembul dari balik celananya. Ia melepas sempak Mama dari wajahnya, kemudian menempelkannya ke kontol.
“Ugh!” erang Pak Paijo sambil menggosok kontolnya dengan sempak Mama.
“Lihat? Pak Paijo saja nafsu sama Mama,” bisikku.
Sebentar saja, kontol Pak Paijo sudah menyemburkan pejuh. Ia tersenyum sambil melihat ceceran pejuhnya di sempak Mama. Sebelum pejuh itu mengering, ia langsung membilas sempak itu dengan air mengalir.
“Mau sampai kapan kita di sini?” gerutu Mama.
“Kita balik sekarang,” kataku. Kami pun kembali ke kantor Mama. Di perjalanan menuju kantor, Mama terus melindungi wajahnya dengan tangan karena matahari bersinar terik.
Sesampai di kantor, Mama meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Ia beberapa kali menanyakan soal timun di memeknya karena bikin posisi duduknya tidak nyaman.
“Timun itu baru boleh dicabut sesuai rencanaku,” jawabku setiap kali Mama bertanya.
Sekitar satu jam kemudian, terdengar ketukan di pintu. Aku mengintip dari balik jendela di samping pintu. Pak Paijo sedang berdiri dengan sempak Mama di tangannya.
“Pak Paijo datang,” bisikku. “Aku mau sembunyi di gorden. Mama buka pintu, terus lakukan yang aku bilang tadi.”
Kututupi diriku dengan gorden tebal dan panjang di belakang kursi kerja Mama. Bagian tengah gorden kusibak sedikit agar aku bisa mengintip.
“Celana dalam Ibu sudah saya cuci dan jemur. Kebetulan hari ini panas banget, jadi celana dalam Ibu cepat kering,” kata Pak Paijo saat Mama membuka pintu.
“Wah terima kasih banyak. Bapak mendingan masuk dulu daripada berdiri kepanasan di sini,” kata Mama.
“Gak usah Bu. Saya masih banyak kerjaan.”
“Saya memaksa loh,” kata Mama.
Pak Paijo menatap Mama dengan ragu, tapi kemudian ia melangkah masuk. Mama langsung menutup pintu.
“Saya sebenarnya mau minta tolong lagi ke Bapak,” ujar Mama.
“Minta tolong apalagi Bu?”
Mama menarik bagian bawah rok panjangnya sampai memeknya kelihatan. “Pergelangan tangan saya pegal karena kebanyakan mengetik. Saya gak bisa pakai sempak itu karena terlalu ketat, jadi tangan saya gak kuat kalau mau pakai sendiri.”
Kedua mata Pak Paijo terbelalak melihat memek Mama di depannya, ditambah ada timun yang menyembul di dalamnya. Aku menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan Paijo saat ini.
“Yang bener Bu?” suara Paijo terbata-bata.
“Bener. Tapi jangan bilang siapa-siapa,” kata Mama.
“Lalu kenapa ada timun di, maafkan saya, vagina Ibu?”
“Aduh, sebenernya saya malu menceritakan ini. Saya butuh hiburan karena saya kebanyakan bekerja. Jadi saya masukin timun ke vagian saya buat hiburan, lalu saya lupa kalau tangan saya sakit dan saya gak bisa mencabutnya. Minta tolong buat cabutin timun itu sekalian ya Pak,” kata Mama sambil merenggangkan kedua pahanya.
“Baik Bu,” ujar Paijo.
Ia jongkok di depan Mama. Kedua tangannya bergerak mendekati memek Mama. Timun itu ditariknya perlahan-lahan.
“Aduh,” erang Mama.
“Ibu gak apa-apa?” tanya Paijo cemas.
“Teruskan Pak,” kata Mama.
Paijo meneruskan tugasnya. Pelan tapi pasti, timun itu berhasil dikeluarkan dari memek Mama. Ia memandang timun di tangannya yang belepotan lendir bening, kemudian menaruhnya di meja.
“Sekarang pakaikan sempak saya,” kata Mama.
Paijo melebarkan sempak Mama yang sudah kering agar kaki Mama bisa masuk. Begitu kedua kaki Mama sudah masuk ke sempak, Paijo menaikkan sempak itu ke atas. Aku bisa melihat leher Paijo yang bergerak naik turun. Orang tua itu jelas sedang menahan diri.
Sempak itu berhenti di paha Mama karena ukuran pahanya terlalu besar, jadi Paijo harus menariknya pelan-pelan agar sempaknya tidak robek. Setelah berjuang susah payah, akhirnya sempak itu terpasang di tempat yang tepat.
“Terima kasih banyak ya Pak,” kata Mama sambil menurunkan roknya.
“Bu, saya….”
“Ya ada apa Pak?”
Paijo menggeleng. “Gak apa-apa Bu. Saya pamit izin dulu.”
“Baik Pak. Ingat, jangan bilang ke siapa-siapa soal ini ya.”
“Baik Bu. Saya jamin gak ada orang yang tahu soal ini,” ujar Paijo. Ia membuka pintu, lalu pergi.
Aku keluar dari tempat persembunyian.
“Wah Mama luar biasa!”
Wajah Mama memerah, entah karena malu atau menahan marah.
“Semoga kamu masuk neraka,” geramnya.
“Eits, ibu macam apa yang menyumpahi anaknya begitu?” Aku tertawa. “Pokoknya Mama hari ini hebat banget! Gak nyangka Mama bisa seberani itu. Jangan-jangan Mama pada dasarnya memang nakal?”
Mama memalingkan muka.
“Sebentar lagi pulang sekolah,” kataku sambil melirik ke jam dinding, “sebaiknya Mama bersiap-siap karena hari ini bakal lebih panjang.”
Murid-murid berhamburan keluar saat lonceng pulang sekolah berbunyi. Beberapa pulang naik sepeda motor, menumpang temannya yang bawa sepeda motor, naik angkot, atau jalan kaki. Sebagian besar mereka adalah anak petani, jadi mereka harus segera pulang untuk membantu orangtuanya di kebun.
Guru-guru balik ke kantor dan duduk di meja masing-masing untuk membuat laporan. Biasanya mereka baru pulang sore hari. Mama juga biasanya pulang sampai sore, kecuali pekerjaannya sudah selesai semua.
Sambil menunggu Mama yang sedang rapat lewat Zoom dengan orang-orang dari dinas pendidikan, aku membaca berita-berita yang lewat di Twitter. Ada satu berita dari Jepang yang menarik perhatianku.
Dua hari yang lalu, kepolisian Jepang menangkap seorang wanita bernama Akako Hagiwara karena beberapa kali terlihat di jalan-jalan Tokyo sambil telanjang bulat. Meski wanita itu mengaku melakukannya atas kemauannya sendiri, tapi pihak kepolisian tidak percaya begitu saja. Mereka yakin Akako Hagiwara terlibat dalam tren incest yang menyebar di sebagian besar wilayah Jepang. Di halaman depan situs berita itu terdapat foto Akako Hagiwara yang sedang berdiri telanjang di tengah dua orang polisi. Wajah, tetek, dan memeknya disensor mozaik, tapi model rambut dan bentuk tubuhnya masih terlihat.
Kepolisian Jepang juga tengah menyelidiki forum gelap di internet yang mendorong anak-anak untuk melakukan incest. Forum tersebut menjanjikan hadiah jutaan yen bagi siapa saja berhasil memperbudak ibu kandungnya sendiri. Sejauh ini forum tersebut memiliki member sebanyak sepuluh ribu orang.
Berita tersebut menarik karena dua hal: pertama, tertangkapnya Akako Hagiwara peris seperti Romlah, cuma Romlah lebih menyedihkan karena sampai ditelanjangi warga. Kedua, aku baru tahu kalau memperbudak ibu kandung sedang tren di Jepang, bahkan sampai ada forum khusus yang memberi hadiah jutaan.
Aku penasaran dengan Akako Hagiwara, jadi aku ketik namanya di Google. Hasilnya, banyak orang-orang bernama Akako Hagiwara, tapi mereka tidak sesuai foto di berita tadi. Aku terus mencari sampai ke halaman-halaman belakang Google. Di halaman kedua puluh, aku menemukan website bokep yang tampak asing. Di sana ada sekitar sepuluh video dengan judul Akako Hagiwara
Sebenarnya aku ingin mengulik lebih lanjut, tapi mataku sudah berat. Kebetulan Mama baru selesai rapat, jadi aku bisa mengajaknya pulang.
“Bungkus makanan buat di rumah ajalah,” kata Mama. “Mau makan apa kamu?”
“Sop kambing aja. Kayaknya seger,” jawabku.
Beberapa guru masih mengobrol di teras saat kami berjalan menuju mobil. Mama menyempatkan mengobrol sebentar dengan guru-guru lain. Dari luar, Mama memang terlihat sebagai kepala sekolah yang baik dan ramah. Mereka belum tahu kelakuannya di luar.
Tempat makan siang yang kami tuju sebenarnya adalah warung sate yang juga menyediakan sop kambing dan sapi. Harganya tergolong mahal, tapi sate dan sop kambingnya adalah yang terbaik di desa. Biasanya tempat itu ramai pengunjung, tapi sekarang sepi. Barangkali karena orang-orang belum gajian.
Sebelum Mama membuka pintu, aku menahan pundaknya.
“Pakai masker ini,” kataku sambil menyodorkan sehelai masker. Benda itu tadinya tersimpan rapi di sebelah dashboard.
“Buat apa?” Mama menatapku tajam.
“Udah deh pakai aja.”
Ia mengenakan masker itu, lalu beranjak keluar. Aku menahan pundaknya lagi.
“Mau apa lagi?”
“Lepas baju Mama.”
“Tapi mereka kenal Mama!”
“Mama pakai masker. Mereka gak bakal kenal Mama.”
Mama melepas baju dan behanya. Aku ikut membantunya melepas baju biar dia tidak kesulitan. Rok dan sempaknya diturunkan sampai setengah paha, jadi memeknya kelihatan.
Aku memandangnya takjub. Meski sudah orgasme berkali-kali, kontolku masih bereaksi melihat Mama berpakaian seksi.
“Tunggu sepi dulu,” kataku. Ada beberapa sepeda motor yang lewat. Terlalu berbahaya bagi Mama kalau keluar sekarang.
“Pokoknya kalau terjadi apa-apa, Mama langsung lari saja ke mobil.”
Tidak ada sepeda motor berkeliaran. Mama segera membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.
Kuarahkan kamera smartphone ke Mama. Sebentar lagi pasti terjadi hal menarik!
Mama berdiri di pinggir jalan sambil celingukan. Jalanan sepi, jadi Mama buru-buru menyeberang jalan.
Seorang remaja laki-laki yang duduk di belakang meja kasir langsung berdiri menyambut Mama. Wajahnya tercengang melihat Mama kedua tetek Mama yang terlihat jelas. Ia lebih terkejut lagi saat melirik ke bagian bawah tubuh Mama.
Dari jendela mobil yang sedikit terbuka, aku bisa mendengar sedikit pembicaraan mereka.
“Se-selamat siang Bu, ada yang bisa saya bantu?” tanya remaja itu.
“Sop kambingnya dua eh tiga bungkus,” jawab Mama. Suaranya terdengar kaku.
“Sop saja atau pakai nasi?”
“Pakai nasi juga.”
Remaja itu berbalik ke meja sajian yang dipenuhi deretan panci besar. Ia membuka salah satu panci, menyendok sop di dalamnya, lalu menuangnya ke dalam plastik. Sambil menyendok, ia melirik ke Mama. Mama berusaha berdiri tegak meski kedua kakinya bergoyang-goyang. Jelas sekali kalau Mama ingin cepat-cepat keluar dari sana.
Selesai mengisi tiga plastik dengan sop, remaja itu mengambil sebuah kantong plastik yang lebih besar, lalu menaruh ketiga plastik sop tadi ke dalamnya. Ia menyerahkannya ke Mama. “Semuanya Rp60.000,” ujarnya.
Mama membuka dompet yang dijepitnya di ketiak dan mengambil selembar uang Rp100.000. Remaja itu mengambil uang dari tangan Mama dan memasukkannya ke laci meja kasir. Dari laci yang sama, ia mengeluarkan dua lembar Rp20.000.
“Terima kasih,” ujar Mama saat mengambil uang kembalian tersebut beserta kantong plastik berisi sop kambing. Ia buru-buru menjauh dari warung. Ngocoks.com
Remaja laki-laki tadi terus memerhatikan Mama. Aku tertawa cekikikan melihat ekspresinya.
Jalanan masih sepi saat Mama hendak menyeberang. Namun, suara sepeda motor melaju dari kejauhan dan terdengar semakin dekat. Mama yang tadinya mau menyeberang jalan, jadi berhenti melangkah.
Benar saja. Dua sepeda motor mendekat dalam kecepatan tinggi. Ketika melihat Mama, dua pengendaranya melambatkan sepeda motornya. Mereka menaikkan kaca helm supaya bisa melihat Mama lebih jelas.
“Wih ada lonte!” seru salah satu pengendara sepeda motor itu.
Mereka melintas melewati Mama, tapi kemudian berhenti, lalu berbalik arah ke Mama.
Mama cepat-cepat menyeberang jalan, tapi salah satu pengendara sepeda motor itu rupanya sudah turun dari sepeda motor dan mengejar Mama. Ia berhasil menangkap perut Mama.
“Nah, kamu mau ke mana Sayang?” ujar pengendara sepeda motor itu.
“Lepasin!” Mama meronta-ronta. Kantong plastik berisi sop yang dipegangnya terjatuh dan isinya berhamburan di jalan.
“Tarji, jangan bengong aja. Bantuin!” seru pengendara sepeda motor itu.
Rekannya yang dipanggil Tarji itu ikut memegang Mama. Sepeda motornya dibiarkan diparkir di pinggir jalan.
Aku tertegun melihat kejadian tidak terduga itu. Jantungku berdebar keras. Apa yang bakal mereka lakukan ke Mama?
Remaja laki-laki di warung sop kambing cuma menonton dari kejauhan. Ia tetap duduk di belakang meja kasir sambil melongok keluar.
“Bawa ke kebun sono,” kata laki-laki yang menyergap Mama. “Ini pasti orang gila. Tapi badannya bagus bener. Sayang kalau disia-siain.”
Tarji dan rekannya membawa Mama ke kebun di samping warung sop. Remaja laki-laki di warung sop menguntit di belakang mereka.
Aku menunggu mereka menghilang di balik kebun, lalu cepat-cepat keluar dari mobil. Meski mereka cepat masuk ke dalam kebun, aku bisa mengikuti mereka dari suara erangan Mama.
Sekilas aku bisa melihat jaket yang dikenakan Tarji. Jarak kami cuma beberapa meter. Tampaknya kedua pengendara sepeda motor itu berhenti. Aku bersembunyi di balik batang pohon besar selagi mereka tidak melihatku.
Tarji dan temannya membawa Mama ke pinggir kebun yang masih penuh pepohonan. Mama bersandar di sebuah pohon. Wajahnya ketakutan.
“Kebetulan aku lagi sange, eh ada daging empuk lewat,” kata teman Tarji.
“Eh Rusman, kau yakin mau pakai ini cewek?” tanya Tarji. “Kita gak tahu dia penyakitan atau nggak.”
“Bodo amat dah. Bodinya semok gini,” sahut Rusman. “Kamu mau ikut ngentot atau cuma mau liatin doang?”
Tarji menggaruk kepalanya. “Boleh juga sih. Aku gak yakin dia ini orang gila. Badannya bersih gini.”
Kedua tangan Mama diikat dengan ikat pinggang. Maskernya sudah dibuang. Tarji menekan pundak Mama sampai Mama terduduk di tanah. “Buka mulutmu. Awas kalau kamu teriak,” ancam Tarji.
Mama membuka mulut. Tampaknya ia sudah pasrah. Kedua matanya berlinangan air mata.
Tarji menurunkan celananya. Kontolnya yang besar dan berwarna cokelat gelap berdiri tegak. Mama tercengang melihat kontol sebesar itu. Ukurannya jauh lebih besar dari kontolku.
“Kenapa? Kaget ya baru lihat kontol jagoan ini?” Tarji menepuk-nepuk kontolnya dengan bangga. “Buka mulutmu lebih lebar lagi.”
Ia menarik rahang Mama supaya mulut Mama terbuka lebih lebar. Mama melenguh saat kepala kontol Tarji bergerak masuk ke mulutnya.
Rusman melihat sekeliling dengan cemas. “Yakin gak ada orang di sini?”
“Udah gak usah khawatir. Lagi enak gini,” ujar Tarji sambil terus mendorong kontolnya masuk ke mulut Mama. “Aduh enak bener ini. Kamu harus coba.”
Ia menarik jilbab Mama sampai terlepas, lalu melemparnya ke samping. Rok dan sempaknya juga ditarik sampai robek. Ia menarik rambut Mama sampai kepala Mama mendongak. “Nah begini lebih enak dilihat.”
Napas Mama terdengar memburu. Tampaknya ia kesulitan bernapas.
“Hhngggghhh!” erang Mama saat batang kontol Tarji sudah masuk setengah di mulutnya.
Pinggang Tarji bergerak maju mundur. Kedua matanya terpejam. Jelas ia sedang menikmati sensasi di kontolnya.
Rusman menggaruk-garuk selangkangannya. Pemandangan itu pasti membuat gairahnya meroket.
“Jangan bengong aja. Remas-remas teteknya kalau kau mau. Macam gak pernah ngentot saja kau,” ujar Tarji.
Rusman tersenyum malu-malu. Ia berjongkok sambil mengulurkan tangannya ke arah tetek Mama. Begitu menyentuh tetek Mama, ia meremasnya kuat-kuat. “Gila, empuk banget teteknya!” serunya takjub.
“Bentar lagi keluar nih,” kata Tarji. Ia menekan pinggangnya sampai menempel di wajah Mama. Kedua kakinya mengejang, begitu pula wajah Mama.
“Ugh!” Tarji mengerang. Ia menarik pinggangnya sampai kontolnya keluar dari mulut Mama. Kontolnya kuyup oleh sperma yang bercampur air liur Mama.
“Wah gila enak banget. Kau harus coba mulutnya,” ujar Tarji sambil menepuk-nepuk kepala Mama.
“Ngapain aku pakai mulut bekas kontol kau,” timpal Rusman. “Aku mau pakai memeknya.”
Tarji terbahak. “Ya sudah kau pakai duluan. Aku nyusul.”
Mereka melebarkan kedua paha Mama. Rusman mengusap air liurnya yang menetes saat melihat memek Mama yang merekah. “Sudah berapa kontol yang masuk ke sini? Heh?” ejeknya.
Rusman mengeluarkan batang kontolnya yang lebih kecil dari Tarji. Ia menggesek-gesek kepala kontolnya di paha Mama.
“Siap ya,” ujar Rusman. Ia mendekatkan pinggangnya ke pinggang Mama. Kepala kontolnya bergerak mantap menuju memek Mama.
Angin bertiup kencang dan membuat dedaunan menghalangi pandangan. Kumajukan badanku supaya bisa melihat lebih jelas. Aku tidak tahu kalau kakiku menginjak timbunan ranting yang rapuh. Sialnya, ranting-ranting itu patah begitu terinjak dan mengeluarkan bunyi nyaring.
KRAAAAK!
Tarji dan Rusman langsung bersiaga. Kontol Rusman berhenti tepat di depan memek Mama.
“Siapa di sana!” seru Tarji penuh kemarahan.
Bersambung…