Kejadian itu sungguh membekas sampai Mama nyaris tidak mau berbicara denganku selama berhari-hari. Ia cuma berbicara padaku di depan Ayah saja.
Setiap hari ia mengenakan pakaian panjang untuk menutupi luka-luka di badannya. Ia beralasan demam ketika Ayah menanyakan pakaiannya.
“Gak mau periksa?” tanya Ayah.
Mama menggeleng. “Gak usah. Cuma demam biasa kok.”
Yang aku kagumi dari Mama adalah dia mampu bersikap normal di depan Ayah. Padahal aku yakin pikirannya mengalami trauma berat.
Aku harus menahan godaan mengerjai Mama supaya ia tetap waras. Aku tidak mau Mama menjadi gila karena kelakuanku.
Kuputuskan untuk menemui Bagas. Aku ingin berbagi banyak cerita seru dengannya. Siapa tahu dia punya pandangan lain yang bisa aku pelajari.
Meski langit mendung, aku tetap memacu sepeda motorku ke rumahnya. Semoga saja aku tidak kehujanan di jalan.
Bagas sedang berada di rumahnya saat aku sampai. Ibunya menyiapkan teh di dapur, sementara Bagas mengajakku ngobrol di ruang tamu.
Saat masuk ke ruang tamu, aku sempat melihat sebuah foto keluarga di atas meja. Rupanya foto keluarga yang memperlihatkan Bagas dan sekeluarga sedang liburan di Bali. Bagas terlihat masih kecil, mungkin usianya sekitar enam atau tujuh tahun. Kedua orangtuanya berjongkok sambil menghadap ke kamar dan Bagas berdiri di tengah mereka. Wajah Bagas tersenyum lebar karena tetek Romlah menyentuh pipinya.
“Dasar cabul dari kecil,” batinku.
Aku menceritakan semua pengalamanku dengan Mama. Bagas mendengarkan dengan seksama. Kedua matanya terbelalak takjub.
“Luar biasa,” katanya setelah aku selesai bercerita. Ia berdecak kagum setelah aku menunjukkan foto-foto Mama. “Jujur saja. Kau jelas lebih jago dari aku. Aku saja gak berani senekat ini.”
“Jantungku mau copot rasanya setiap Mama ketahuan,” kataku.
“Tapi di situ sensasinya.” Bagas terbahak. “Asik ‘kan melihat ibu kita dikerjai orang lain?”
Aku mengangguk setuju. “Membayangkannya saja sudah bikin kontolku keras.”
Romlah datang dan menyuguhkan teh. Bagas menampar pantat ibunya saat Romlah membungkuk untuk menaruh cangkir teh. Setelah itu Romlah buru-buru pergi.
“Kau ada memamerkan ibu lagi?” tanya Bagas.
“Sementara ini gak dulu deh. Aku takut mentalnya kena. Dia pasti trauma gara-gara diperkosa di hutan,” jawabku.
Bagas mengangguk setuju. “Bahaya kalau sampai ibumu gila. Gak bisa dikerjain lagi.”
“Hebat juga sih dia. Kalau ngobrol sama bapakku, sikapnya biasa-biasa saja,” kataku. Suatu pikiran melintas di benakku. “Apa jangan-jangan dia menikmati dikerjain orang lain?”
Bagas mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kita tidak tahu kalau dia cuma diam saja.”
“Ibumu, apa dia menikmatinya?” tanyaku.
“Dia tidak pernah bilang, tapi kupikir dia menikmatinya,” ujar Bagas sambil tersenyum. “Buktinya dia tidak pernah mengeluh.”
Ia melihat ke jam dinding, lalu menatapku. “Sore-sore begini asiknya menonton sepak bola. Biasanya banyak yang main sepak bola di lapangan dekat sini.”
“Aku gak suka sepak bola,” kataku sambil menyeruput teh panas.
“Yang ini beda. Kamu pasti suka,” kata Bagas. “Habiskan tehmu. Terus kita nonton sepak bola.”
Beberapa menit kemudian, kami sudah di atas sepeda motor masing-masing. Bagas membonceng ibunya dan berjalan di depan, sementara aku mengekor di belakang. Kami melaju di jalanan desa yang sepi dan berdebu.
Lapangan sepak bola yang dimaksud Bagas ternyata cukup jauh dari rumahnya. Letaknya berada di perbatasan desa. Banyak remaja seusia kami yang bermain sepak bola di lapangan, bermain layangan di pinggir lapangan, atau sekadar duduk-duduk mengobrol.
Kami turun dari sepeda motor dan memarkirnya dekat lapangan. Bagas memerhatikan kondisi lapangan. Ia mengusap-usap tangannya, tanda puas dengan apa yang dia lihat.
“Lebih rame dari biasanya,” kata Bagas. “Nah, Ibu buka baju di sini.”
Romlah menatap anaknya dengan pandangan ketakutan. Tampaknya ia bisa menebak keinginan anaknya. “Tapi ini terlalu banyak orang,” ujarnya.
“Buka baju sekarang,” perintah Bagas dengan nada tinggi.
Tanpa disuruh lagi, Romlah melepas jilbab, baju, dan celananya. Wanita malang itu berdiri di depan kami dalam keadaan telanjang bulat.
“Sekarang Ibu harus main sepak bola dengan mereka,” ujar Bagas. “Jangan lari karena kami awasi dari sini.”
Romlah mengangguk. Ia melangkah pelan-pelan menuju lapangan. Aku dan Bagas mengamatinya sambil duduk di atas sepeda motor masing-masing.
Awalnya orang-orang itu tidak menyadari kedatangan Romlah, sampai salah satu dari mereka yang sedang duduk-duduk menepuk pundak temannya sambil menunjuk ke Romlah. “Widih! Lihat tuh!”
Sekejap saja orang-orang menoleh ke Romlah yang semakin mendekat. Waktu seolah berhenti karena mereka berhenti bergerak dan fokus menatap Romlah.
Sadar dirinya jadi tontonan, Romlah berjalan dengan wajah menunduk. Tangan kanannya menutupi teteknya, sementara tangan kirinya menutupi memeknya.
Orang-orang bersiul saat Romlah melewati mereka. Beberapa tertawa cekikikan sambil menunjuk ke pantat Romlah yang telanjang.
“Lonte, godain kita dong!” seru mereka bergantian.
Beberapa orang mengikuti Romlah. Mereka mencubiti lengan, pinggang, paha, dan Pantat Romlah. Wanita itu berusaha menepis tangan-tangan usil itu seperti menepis nyamuk. Tentu saja usaha itu sia-sia karena mereka semakin gencar mencubiti tubuhnya.
Romlah terus berjalan sampai ke tengah lapangan. Orang-orang yang bermain sepak bola langsung menghentikan permainan. Mereka menatap heran ke Romlah.
“Saya mau main bola sama kalian,” kata Romlah ke orang-orang yang bermain sepak bola.
Para pemain sepak bola saling berpandangan. Mereka jelas bingung dengan permintaan Romlah.
“Mungkin dia orang gila,” ujar salah satu dari mereka.
“Tapi badannya oke,” sahut yang lain. “Gimana nih? Jarang bener ada ibu-ibu semok ngajak main bola bareng kita. Sambil telanjang lagi!”
“Ajak main aja!” seru yang lain.
Karena semua setuju, akhirnya Romlah diperbolehkan main sepak bola bersama mereka. Ia diposisikan di dekat kiper. Aku tidak mengerti posisi pemain sepak bola, tapi itu tidak penting karena ini permainan sepak bola kampung.
Bola pun bergulir.
Para pemain saling berebutan bola. Romlah yang jelas tidak paham permainan sepak bola, cuma berdiri sambil memandang ke arah bola. Kiper di belakangnya bersiap menyambut bola yang datang.
Permainan berjalan lambat karena para pemain tidak fokus mengejar bola, tapi fokus melihat Romlah yang berdiri telanjang. Kadang seseorang sengaja menendang bola keras-keras ke pantat Romlah dan bola itu memantul di pantatnya. Romlah menggosok-gosok pantatnya sambil meringis kesakitan. Orang-orang bersorak-sorak melihat pantat Romlah yang memerah.
Lama-lama mereka tidak menendang bola ke gawang, tapi menendang ke arah Romlah. Bola itu melesat mengenai pantat dan punggungnya. Tahu dirinya terancam bahaya, Romlah menutupi bagian depan tubuhnya dengan kedua tangan. Setidaknya bagian punggung jauh lebih tahan sakit daripada bagian depan tubuh.
“Eits, udahan deh. Kasihan dia!” seru salah satu pemain. Pemain lain juga merasakan hal yang sama. Permainan pun berhenti. Mereka kini mengelilingi Romlah yang tubuhnya memar karena terkena bola.
“Ibu gak apa-apa?” tanya salag satu pemain.
“Gak apa-apa,” jawab Romlah sambil memaksa tersenyum.
“Hei dia gila, mana tahu badannya sakit atau tidak,” sahut yang lain.
Semakin banyak orang yang mengerumuni Romlah sampai aku sulit melihat Romlah. Aku cuma bisa melihat wajahnya yang ketakutan.
“Wih jembutnya gondrong!” seru seseorang.
“Iket aja di tiang gawang!” seru yang lain.
Entah siapa yang melempar ide itu, tapi yang lain langsung mengiyakan.
Kerumunan itu mendorong Romlah sampai mepet ke tiang gawang. Anehnya, Romlah sama sekali tidak berteriak minta tolong. Wajahnya memang ketakutan, tapi ia tetap bungkam dan melihat orang-orang dengan waspada.
Jika Mama di posisi itu, pasti dia sudah berteriak histeris! Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada orang-orang yang pernah mengerjai Mama.
Kedua tangan Romlah disilangkan ke tiang gawang, lalu diikat dengan tali rafia yang entah dari mana mereka dapat. Tangan-tangan mereka semakin liar mencubiti tetek, perut, dan paha Romlah. Mereka berebutan menarik pentil Romlah sampai memanjang. Beberapa orang berjongkok dan menarik jembut Romlah. Jembut yang tadinya gondrong kini menipis dan meninggalkan bercak merak di sekitar memek Romlah.
Salah satu dari mereka terlihat tidak tahan menahan nafsunya. Ia menurunkan celana kolornya dan mengeluarkan batang kontolnya yang mengeras. Laki-laki itu mengocok kontolnya sambil meremas tetek Romlah. Sebentar saja, pejuh pria itu muncrat ke paha Romlah.
Aksi itu memicu orang-orang buat melakukan hal yang sama. Mereka menurunkan celana dan mengocok kontol masing-masing. Romlah menjerit karena cubitan di badannya semakin kasar.
Sekejap saja tubuh Romlah berkilauan terkena hujan pejuh. Melihat Romlah mengingatkanku pada Mama.
Beberapa orang melebarkan kedua kaki Romlah sehingga memeknya menganga. Orang-orang langsung mencoblos jari mereka ke memek Romlah.
“Becek bener!” seru mereka.
Peristiwa menakjubkan itu terjadi beberapa menit saja karena tiba-tiba hujan deras mengguyur tempat itu. Orang-orang membubarkan diri. Sekitar sepuluh orang masih memutar-mutar jari mereka di memek Romlah. Bagas memberitahuku kalau lapangan itu rawan banjir karena berada di sebelah sungai, jadi orang-orang memilih menyelamatkan diri.
Aku dan Bagas berteduh di bawah pohon berdaun lebat. Memang badan kami masih basah terkena hujan, tapi kami bisa memantau Romlah dengan lebih nyaman. Sepeda motor kami basah kuyup.
Sayup-sayup aku mendengar orang-orang itu berteriak. Mereka sedang berdebat untuk melepas Romlah atau tidak.
“Udah tinggalin aja! Daripada ngerepotin kita,” seru mereka. “Toh banjirnya gak dalam-dalam banget.”
Mereka berlari meninggalkan Romlah. Wanita malang itu meronta sendirian di lapangan.
Benar kata Bagas. Baru beberapa menit saja air sudah menutupi sebagian lapangan. Kalau hujan lebih lama, aku yakin airnya bisa sampai sepinggang Romlah.
“Yuk bantu aku melepas lonte itu,” ujar Bagas. Ia berlari menembus hujan. Aku mengikutinya di belakang.
Di lapangan, Kami terpaksa berjalan dengan cara menyeret kaki karena air sudah menggenang sampai mata kaki. Bagas yang sampai di tempat Romlah lebih dulu langsung membuka ikatan di tangan ibunya. Romlah meregangkan badan sambil mengibas-ibaskan kedua tangannya.
“Ada yang luka?” tanya Bagas.
Romlah menggeleng. “Cuma tetekku sakit banget.”
Bagas mengusap tetek ibunya yang basah. “Gak ada luka. Mungkin cuma memar di dalam.”
Kami bertiga bersusah payah menyeberang lapangan. Sepeda motor kami basah kuyup dan perlu diengkol beberapa kali sampai mesinnya menyala. Romlah duduk di belakang Bagas masih dalam keadaan telanjang bulat. Bajunya ditinggal.
“Sekalian pamer keliling kampung,” ujar Bagas sambil tersenyum licik. “Tapi kayaknya gak bakal ada yang lihat. Hujannya terlalu lebat.”
“Aku mau pulang sekalian,” kataku. “Bahaya kalau kesorean. Gelap banget di sini.”
“Okelah kalau begitu. Sampai jumpa nanti.”
Kami pun berpisah di pertigaan jalan. Entah Bagas mau membawa ibunya ke mana.
Aku mengendarai sepeda motorku menembus hujan. Sudah kupikirkan rencana selanjutnya untuk Mama.
“Ayah pergi dulu. Kamu jaga Mama baik-baik ya. Assalamualaikum,” ujar Ayah sambil membuka pintu ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar suara ban mobil berdecit. Aku memandang mobil Ayah yang bergerak menjauhi rumah.
Tadi malam Ayah bilang kepadaku kalau ia ada urusan di kota sampai seminggu. Saat Ayah bilang begitu, Mama berkali-kali melirikku dengan tatapan ketakutan. Aku yakin ia pasti takut kalau aku bertindak macam-macam selama Ayah pergi.
Tapi memang benar. Aku punya banyak rencana selama Ayah pergi.
Ayah pergi dengan membawa satu koper besar dan satu tas laptop. Meski dia bilang seminggu, mungkin dia berpikir dia bakal lebih lama di kota sehingga ia membawa pakaian lebih banyak.
Aku tersenyum membayangkan hari-hari menyenangkan setelah kepergiannya. Seminggu saja sudah cukup, apalagi lebih dari itu.
Sudah sebulan berlalu sejak insiden di kebun. Lecet-lecet di tubuh Mama sudah sembuh dan kulitnya normal kembali. Mama sudah mengajakku ngobrol, meski nadanya masih kaku. Ia tidak pernah membahas kejadian itu denganku.
Aku yakin Mama sudah sehat kembali. Seharusnya dia sudah bisa dilatih lagi.
Hari ini sekolah mengadakan jalan santai. Seharusnya hari ini adalah hari menjadikan Mama budak seperti yang aku dan Bagas rencanakan, tapi rupanya Mama sudah menjadi budak jauh sebelum hari ini tiba.
Bagus malah. Hari ini aku mau merencanakan hal lain.
Aku dan Mama tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Khusus hari ini, kami mengenakan pakaian olahraga. Aku memakai pakaian olahraga sekolah, sedangkan Mama memakai pakaian olahraga yang dia beli di pasar. Pakaiannya terdiri dari kaos lengan panjang berwarna putih, celana panjang legging hitam, dan jilbab putih.
Para guru dan murid juga tiba di sekolah lebih pagi. Teman-temanku masih menguap di halaman sekolah. Beberapa murid malah terlalu bersemangat sampai berlari keliling lapangan buat pemanasan.
“Aduh ngantuk banget!” seru Indra. Ia menguap lebar sampai aku bisa melihat seluruh deretan giginya. “Kenapa harus ada jalan santai sih? Membantu orangtua di kebun juga sudah olahraga kok.” Ngocoks.com
Aku pun sebenarnya juga mengantuk dan bisa saja membolos. Tapi hari ini kuputuskan untuk melatih Mama lagi ke tingkat yang lebih tinggi.
Kalau Bagas saja bisa memperbudak ibunya sampai sedemikian patuhnya, maka aku seharusnya bisa. Bahkan jauh lebih hebat darinya.
Kulihat Mama sedang mengobrol dengan Bu Endang dan Bu Ramadhan di teras kantor. Tampaknya ia belum menyadari bahaya yang aku rencanakan beberapa saat lagi. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras.
Bel sekolah berdenting. Para murid berkumpul di lapangan dan berbaris. Beberapa murid berjalan gontai karena masih mengantuk, sementara yang lain berjalan sambil mengobrol. Sudah menjadi tradisi kalau sebelum acara jalan santai dimulai, beberapa guru harus memberikan arahan ke para murid.
“Cih arahan apanya. Jalurnya masih sama aja seperti kemarin,” keluh Indra. Kami masih berdiri di teras depan kelas sambil mengamati teman-teman kami yang berjalan ke lapangan. “Tanpa diarahkan pun kita sudah sering lewat jalur itu setiap hari.”
Jalur yang dimaksud adalah jalan setapak sepanjang lima kilometer di belakang sekolah. Jalan itu melintasi sawah dan hutan. Meski tidak ada rumah yang dibangun di pinggir jalan itu, banyak jalan kecil lainnya yang bersambung ke jalan tersebut.
Jalan-jalan kecil itu mengarah ke pemukiman warga dan kondisinya cukup menyedihkan karena sering berlumpur di musim hujan seperti sekarang. Meski begitu, murid-murid banyak menggunakan jalan itu sebagai jalan pintas daripada harus memutar ke jalan besar.
“Kau ke lapangan duluan, aku nyusul,” kataku sambil beranjak pergi. Ini saatnya menjalankan rencana.
“Mau ke mana?”
“Mau kencing dulu.”
Aku bergegas ke kantor Mama. Guru-guru sudah berjalan menuju ke lapangan, kecuali Mama yang sedang mengencangkan tali sepatunya. Aku berdiri di belakang Mama untuk menikmati bongkahan pantatnya yang membentuk di celana legging ketat yang ia pakai.
“Loh kamu ngapain di sini. Ikut ngumpul sana,” kata Mama saat menyadari kedatanganku.
“Mama nanti yang maju buat pidato arahan?” tanyaku.
Mama mengangguk. “Kenapa memangnya?”
Kupandangi bagian dada Mama yang gembung. Ia tidak perlu membusungkan dada karena dadanya sendiri sudah membusung. Beha putihnya membayang dibalik kaus putihnya yang agak tipis.
“Aku mau ini kelihatan,” kataku sambil menutul dadanya.
Wajah Mama langsung panik. “Ta-tapi ini di sekolah.”
“Apa bedanya sama tempat lain? Toh Mama sudah sering telanjang, jadi harusnya Mama gak terlalu malu lagi,” kataku. Kuremas teteknya yang masih terbungkus kaus. “Mama adalah budakku. Apa pun yang aku minta, Mama harus menurut.”
Ia menundukkan wajah.
Aku tahu ia mengerti kekalahannya. Kunaikkan kaus Mama sampai melewati dadanya. Beha putihnya kulepas, lalu kubuang ke ember sampah di dekat situ. Kedua tetek telanjangnya bergelayutan. Karet celana legging-nya kuturunkan sedikit sampai udel Mama terlihat.
“Nah, begini dong baru seksi,” kataku sambil berdecak kagum. “Hari ini adalah hari besar Mama. Satu sekolah bakal tahu kalau Mama itu nakal.”
Mama mendengus kesal sambil menggigit bibir bawahnya, tapi ia tidak menangis. Mungkinkah ia sudah terbiasa dilecehkan seperti Romlah?
“Ibu Kepala Sekolah, dimohon kehadirannya untuk memberi pidato arahan di depan para murid,” ujar Bu Ramadhan lewat pengeras suara. “Ibu Kepala Sekolah?” ulangnya lagi.
“Mama dipanggil tuh,” kataku. “Yuk kita ke lapangan.”
Aku dan Mama berjalan menuju lapangan sekolah.
Ini adalah penampilan perdana Mama di depan semua orang.
Bersambung…