Waktu terasa berjalan lambat. Aku tahu kalau Mama pasti merasa gugup, begitu juga aku. Jantungku berdegup tidak karuan. Meski sudah beberapa kali melihat Mama telanjang di tempat umum, aku masih tegang memikirkan apa yang terjadi kalau orang-orang melihat Mama telanjang di depan mereka.
Aku membiarkan Mama berjalan di depan, lalu aku buru-buru menyelinap ke teras sekolah sambil berlari. Dari teras, aku lanjut berjalan ke lapangan. rasa tegang membuat keringatku bercucuran.
“Hampir saja kami tinggal,” ujar Indra saat melihatku datang. Ia menatapku heran. “Kenapa kamu keringetan begitu? Kontolmu perih pas kencing?”
“Lagi pemanasan sebentar tadi,” kataku sambil mengatur napas. Beberapa detik kemudian, napasku mulai normal kembali. Aku bisa berpikir lebih tenang, meski jantungku masih berdegup kencang.
“Ibumu lama bener,” keluh Indra. “Keburu siang nih, bisa-bisa… WADUH!”
Kusadari semua orang menoleh ke satu arah. Mama berjalan mendekati lapangan. Kedua teteknya bergelayutan setiap kali ia melangkah. Wajahnya menatap lurus menatap ke depan. Ia tampak tegar.
“Astagfirulloh! Ibu Kepala Sekolah!” seru Bu Ramadhan. Ia berlari menuju ke Mama. Kedua tangannya berusaha menutupi tetek Mama supaya tidak terlihat yang lain. “Kenapa payudaranya dibiarkan terbuka begitu?”
“Tidak apa-apa Bu. Saya kemarin periksa ke dokter karena kulit saya meradang. Kata dokter, saya harus mendapat asupan vitamin D yang cukup,” ujar Mama.
Penjelasan sulit diterima akal sehat itu jelas membuat Bu Ramadhan menggeleng. “Tapi Bu, masa Ibu harus memperlihatkan tetek Ibu di depan mereka?”
“Me-mereka pasti tahu kesusahan saya. Saya pikir mereka bisa menerima ini,” kata Mama.
Bu Ramadhan berusaha menarik kaus Mama ke bawah supaya tetek Mama tertutupi, tapi Mama menahannya. “Bu, biarkan saja terbuka. Saya akui saya malu, tapi ini demi kebaikan saya sendiri.”
Akhirnya Bu Ramadhan menyerah. “Baiklah. Tapi saya gak ikut-ikutan kalau ada kabar gak sedap dari sekolah ini. Murid-murid pasti bakal bilang ini ke orangtuanya dan Ibu yang harus bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa.”
Mama mengangguk. “Saya siap bertanggung jawab dengan semua konsekuensinya.”
Bu Ramadhan balik ke tempatnya semula, sementara Mama berdiri di depan para murid. Para guru berbisik-bisik sambil menunjuk ke Mama. Para murid, khususnya yang laki-laki, memandang Mama yang dengan takjub.
“Gile ibumu kenapa tuh?” tanya Indra tanpa menoleh. Kedua matanya melotot seakan-akan mau lepas.
“Katanya sih sakit kulit. Jadi dia harus kena sinar matahari yang banyak,” jawabku setelah mencuri potongan-potongan obrolan Mama dengan Bu Ramadhan.
“Sakit kulit apaan emang? Separah itukah?”
Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi kayaknya parah banget deh sampai Mama rela malu di depan kita.”
Mama terbatuk-batuk kecil, lalu berkata lantang. “Assalamualaikum. Selamat pagi semua!”
Hampir tidak ada yang menjawab, kecuali para murid perempuan. Itu pun jawabannya pelan sekali.
“Assalamualaikum. Selamat pagi semua!” ulang Mama dengan lebih lantang.
“Walaikumsalam!” seru murid-murid serempak.
Mama batuk-batuk lagi, kemudian melanjutkan. “Ibu tahu kalian pasti bertanya-tanya kenapa Ibu berpenampilan begini. Beberapa hari yang lalu, Ibu berobat ke rumah sakit di kota dan Ibu didiagnosa penyakit kulit langka. Kata dokter, kulit Ibu harus terkena sinar matahari yang cukup. Kalau tidak, bisa-bisa kulit Ibu meradang dan infeksi.”
Murid-murid berbisik-bisik.
“Ibu harap kalian tidak terganggu depan penampilan Ibu ini,” lanjut Mama.
“Gak apa-apa Bu, malah enak dilihatnya,” celetuk seorang murid laki-laki di barisan depan.
“Akbar!” seru Bu Ramadhan. Murid yang dipanggil Akbar itu langsung menutup mulutnya. Ia masih tersenyum-senyum.
Mama tersenyum. “Dengan ini jalan santai dimulai!”
Murid-murid bersorak, tapi sorakannya lebih diarahkan ke Mama. Mama bergabung ke barisan para guru. Matanya terlihat waspada.
Guru-guru memalingkan muka dari Mama. Beberapa langsung bergabung ke kerumunan murid dan mengarahkan mereka ke jalur jalan santai. Beberapa guru masih berdiri di tempat mereka tanpa berbicara.
“Gila tetek ibumu!” seru Indra saat kami berjalan menuju lokasi. ”
“Kamu doyan sama tetek begitu?” tanyaku.
“Jelas doyanlah! Teteknya gede banget!” Indra nyaris berteriak. “Enak banget kalau jadi anaknya. Bisa lihat tetek segede itu setiap hari.”
Jangankan melihat, aku sudah bisa menyuruh Mama melakukan apa pun yang aku mau.
Murid-murid lain berjalan sambil mendiskusikan Mama. Wajah mereka terlihat bahagia.
“Wih gak nyangka bisa lihat tetek Ibu Kepala Sekolah,” ujar murid di sebelahku. “Selama ini aku cuma bayangin doang. Wah bisa jadi bahan coli tiap malam nih!”
“Pentilnya item ya,” ujar murid lain sambil tertawa. “Persis kayak pentil ibuku.”
“Jadi kamu pernah lihat pentil ibumu?” tanya yang lain.
“Sering malah. Kenapa nggak? Ngapain jauh-jauh ke warnet buat lihat cewek telanjang kalau di rumah ada yang lebih mantep.”
Aku tersenyum mendengarnya. Sudah kuduga kalau banyak orang orang sebenarnya menyukai ibu kandungnya sendiri, bukan cuma aku dan Bagas.
Rombongan kami berjalan menuju jalur jalan santai. Beberapa guru mengarahkan jalan di depan. Murid-murid berjalan sambil terus membicarakan Mama. Semakin cabul omongan mereka, hatiku semakin berbunga-bunga.
“Coba aja pantatnya juga kelihatan, pasti asik banget tuh,” sahut murid lain.
“Aku penasaran sama memeknya.”
“Rasa pentilnya gimana ya?”
“Memeknya udah lober gak ya?”
“Anusnya pasti item banget, hahahaha!”
Mendengarnya saja sudah bikin kontolku mengeras.
Aku menoleh ke belakang. Mama berjalan sendirian di belakang, sementara guru-guru lain berjalan di depannya. Mama memalingkan wajah saat tahu aku memerhatikannya.
Murid-murid tidak fokus memerhatikan jalan di depan. Merek sesekali menoleh ke Mama, lalu tertawa cekikikan.
“Hei kalian, jangan lihat ke belakang melulu. Awas lumpur di depan!” seru Bu Ramadhan.
Aku menyelinap medekati Mama. Murid-murid memerhatikanku. Mungkin mereka penasaran apa yang akan kamu lakukan ke Mama.
“Mama baik-baik saja?” tanyaku sambil tersenyum.
“Menurut kamu?” Suaranya terdengar geram. “Gak perlu kamu ancam lagi karena semua orang sudah tahu kelakuan Mama.”
“Jadi Mama gak keberatan dong kalau lebih seksi lagi dari ini?” Aku menggodanya.
“Mau kamu apain lagi?”
“Lihat aja nanti.” Aku mendorongnya supaya berjalan lebih cepat. “Sekarang aku mau Mama berjalan di tengah murid-murid. Jangan sendirian di sini.”
Para murid laki-laki bersiul saat Mama muncul di tengah mereka. Sebagian dari mereka agak menyingkir dari Mama.
“Eh ada Ibu Kepala Sekolah,” kata salah satu dari mereka.
“Gimana pelajaran kalian?” tanya Mama basa-basi.
“Oke-oke aja Bu,” jawab murid itu. Matanya melirik ke pentil Mama yang mengacung. “Lebih oke lagi kalau Ibu yang ngajar.”
“Ibu malu gak sih teteknya kelihatan begitu?” tanya murid di sebelahnya.
“Jelas aja malu. Tapi mau gimana ya, lagi sakit gini,” jawab Mama.
Murid lain yang lebih berani, berusaha berjalan di sebelah Mama. Rupanya ia yang tadi kena tegur Bu Ramadhan di lapangan, si Akbar. Lengannya sengaja dipepetin ke Mama sampai menyentuh teteknya. Ekspresi Mama risih, tapi ia tetap melangkah seperti biasa.
“Omong-omong Ibu keberatan gak kalau teteknya dipegang?” tanya Akbar.
Mama melirikku. Ia menanti jawabanku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“I-ibu gak keberatan dipegang,” jawab Mama.
“Wah, jadi kami boleh pegang dong?”
“Boleh saja,” jawab Mama.
Akbar langsung menarik pentil Mama. Tarikan mendadak itu membuat Mama memekik. Murid lain langsung menoleh ke Mama.
“Maaf,” ujar Mama malu-malu. Akbar sudah melepas tarikannya. Ia juga menunduk malu.
“Kamu yakin ibumu aman di tengah mereka?” tanya Indra yang jalan di sebelahku. “Kita itu lagi di masa pubertas loh.”
“Yakin deh aman. Ada guru lain yang berjaga-jaga,” kataku. “Kamu suka juga ‘kan lihat ibuku? Jalan aja di sebelahnya.”
“Suka sih, tapi yakin nih dia gak marah?” tanya Indra ragu-ragu.
“Dia gak bakal marah. Percaya aja.”
Indra mendekati Mama. Ternyata murid lain juga banyak yang mendekati Mama. Kelihatannya keberanian mereka mulai muncul.
Aku mengusap-usap telapak tangan sambil membayangkan apa yang kira-kira bakal terjadi.
Murid-murid mulai saling mendorong supaya temannya maju duluan.
“Katanya boleh pegang teteknya tuh.”
“Siapa bilang?”
“Bu Kepala Sekolah sendiri.”
“Kamu aja yang pegang.”
“Kamu aja duluan. Aku takut.”
“Loh katanya dia bilang boleh?”
Meski banyak yang takut, mereka semakin menempel ke Mama. Aku yang jalan agak berjauhan jadi sulit mengamati Mama.
“Ayo jangan terlalu nempel di sana!” seru Bu Ramadhan dari depan. “Hei! Jangan senggol-senggol payudara Bu Kepala Sekolah. Beliau lagi sakit!”
Murid-murid itu mengambil jarak. Kupakai kesempatan itu untuk mendekati Mama dari belakang. Dengan begini aku bisa terus mengamatinya.
Dua orang petani lewat dari arah berlawanan. Mereka tampaknya sepasang suami istri.
“Oh rombongan SMA di dekat sini,” ujar si istri. “Mereka memang rutin jalan santai… Astagfirulloh!”
Saking terkejutnya, topi caping yang dipegangnya sampai terjatuh. Ia buru-buru mengambil topinya, lalu menutup pandangan suaminya dengan topi itu.
“Jangan dilihat!” seru si istri.
Suaminya yang tidak sempat melihat jadi keheranan. “Ada apa sih?”
“Pokoknya jangan dilihat. Awas aja kalau noleh.”
Si istri melihat Mama dengan tajam. Mama cuma menoleh sebentar ke mereka, lalu balik menatap ke depan. Tangan Mama gemetar pelan.
“Kami jalan di depan Ibu aja deh biar Ibu gak dilihat orang-orang,” ujar salah satu murid perempuan. “Kasihan Ibu. Pasti malu banget.”
“Eh gak usah. Kalian jalan kayak biasa aja,” kata Mama.
Jalanan masih sedikit berlumpur karena hujan semalam. Murid-murid saling berpegangan tangan supaya tidak jatuh. Yang lainnya menginjak-nginjak tanah di depannya untuk mencari pijakan yang padat.
“Aduh!” seru seorang murid. Kakinya terpeleset. Tubuhnya terhentak ke belakang. Tangan kanannya mendarat di tetek Mama. Ia berpegangan pada tetek Mama, lalu menyeimbangkan badan.
“Terima kasih Bu,” ujarnya sambil tersenyum licik.
Mama tidak menjawab. Pasti ia kesal karena murid itu tampaknya pura-pura terjatuh.
“Mama pegangan sama aku aja,” kataku sambil mengulurkan tangan. Mama menangkap tanganku. Kakinya meraba-raba tanah berlumpur di depan. Setelah menemukan pijakan yang padat, ia melangkah maju. Begitu terus sampai akhirnya kami melewati tanah berlumpur dan sampai di area yang tanahnya lebih padat.
Kali ini ada empat petani yang lewat. Mereka tersenyum ke guru-guru yang berjalan di depan. Senyuman mereka langsung berubah begitu melihat Mama.
“Waduh lihat tuh,” kata salah satu petani. “Itu bukannya kepala sekolah ya?”
“Iya tuh dia kepala sekolahnya. Kenapa teteknya kelihatan gitu ya? Sambil jalan sama muridnya lagi.”
“Jadi pengen sekolah lagi dah.”
Kucolek pantat Mama. “Senyum ke mereka,” bisikku.
Mama menoleh dan tersenyum ke empat petani tersebut. Petani-petani itu membalas senyuman Mama dengan kikuk.
Kutempel badan Mama dari belakang. “Terus jalan,” bisikku. Mama patuh mendengarkan.
Sambil jalan, kuselipkan jari-jari tanganku ke karet celana legging Mama. Kutarik celana itu sampai melorot. Sempaknya juga ikut melorot sehingga sebagian belahan pantatnya kelihatan.
“Nah begini lebih seru,” kataku sambil melepas pegangan. “Awas kalau Mama tutupin.”
Begitu aku mundur, murid-murid di sekelilingku terbelalak melihat Mama.
“Eh belahan pantatnya keliatan tuh.”
“Loh emangnya celananya melorot? Ketat begitu, mana bisa melorot.”
“Memang dipelorotin kalik.”
Seorang murid perempuan yang melihat pantat Mama, langsung melaporkannya ke Mama. “Bu, celananya Ibu melorot. Yang lainnya pada ngelihat pantat Ibu.”
“Oh itu memang Ibu sengaja biar pantat Ibu kena sinar matahari,” jawab Mama. “Udah, kamu gak usah khawatir. Ibu tahu risikonya.”
Murid itu mengamati Mama dengan tatapan kasihan. Ia tetap berjalan di sebelah Mama. Mungkin ia berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu ke Mama.
Semakin banyak murid laki-laki yang jalan di sekeliling Mama, sehingga barisan depan cuma diisi murid perempuan. Guru-guru yang tadinya berjaga di belakang juga bergerak maju sehingga barisan belakang kosong tanpa pengawasan. Aku tidak tahu alasannya apa. Barangkali mereka terlalu risih dengan kelakuan Mama.
“Aduh aku gak tahan lagi,” kata Indra.
“Mau kencing?” tanyaku.
“Mau coli. Ibumu seksi bener!” bisiknya.
“Coli dah di hutan,” kataku sambil menunjuk ke pepohonan lebat di samping jalan.
Indra mengeluarkan smartphone-nya. “Boleh aku foto gak? Biar colinya lancar.”
“Boleh aja. Cepetan mumpung masih kelihatan,” kataku.
Indra mengarahkan kamera smartphone-nya ke pantat Mama. Ia mengambil beberapa foto pantat Mama. Setelah itu ia berbisik kepadaku. “Mau foto teteknya tapi takut dimarahin.”
“Foto aja dari pinggir jalan, terus kamu zoom dari jauh,” saranku. “Tenang, dia gak gampang marah.”
“Kok kamu yakin bener ibumu gak marah?” Indra memandangku curiga.
“Iyalah karena aku anaknya. Cepetan woy mumpung kita masih di jalan.”
Indra buru-buru menghilang. Kulihat ia muncul di pinggir jalan sambil mengangkat smartphone-nya. Kelihatannya ia berhasil mengambil beberapa foto karena ia segera pergi ke pepohonan lebat di pinggir jalan.
“Nikmatilah pemandangan indah ini,” batinku.
Matahari semakin terik. Banyak murid yang menutupi wajahnya dengan ujung topi agar sinar matahari tidak menampar wajah mereka. Mama juga menutupi wajahnya dengan tangan. Bagian depan jilbabnya tidak cukup menutupi wajahnya.
“Ah akhirnya ada sinar matahari juga. Ibu harusnya lega karena kena sinar matahari,” komentar salah satu murid perempuan.
“Hehehe iya,” sahut Mama.
Aku berbisik ke Mama. “Turunin celana Mama lagi sampai ke pantat.”
Badan Mama bergetar pelan. “Tapi kalau diturunin lagi, memek Mama bisa kelihatan.”
“Mama mau turunin sendiri atau aku yang turunin? Mama gak bisa kabur lagi.”
“Mama aja yang turuinin,” kata Mama pasrah.
“Mama pinter.” Aku mundur lagi.
Mama memegang karet celana legging-nya yang sudah turun sedikit, lalu diturunkan lebih ke bawah. Pantatnya yang sebesar bantal menyembul keluar. Kali ini, bagian depan celananya ikut melorot sampai sempaknya terlihat. Karet sempaknya ikut tergeser ke bawah sehingga sebagian memeknya terlihat. Beberapa bulu jembutnya mencuat keluar.
“Anjir, dia makin nurunin sampai ke pantat cuy!” seru murid laki-laki di belakang Mama kegirangan. “Jembutnya juga kelihatan!”
“Bu haruskah sampai segitunya!” seru Bu Ramadhan. Aku kaget juga melihatnya tahu-tahu sudah berdiri di sebelah Mama. Aku terlalu sibuk memerhatikan Mama sampai tidak menyadari kehadiran Bu Ramadhan.
“Supaya kulit saya kena sinar matahari semua,” sahut Mama. Aku tahu ia ketakutan bercampur malu, tapi suaranya terdengar tegar.
“Saya sebenarnya sudah risih sejak Ibu memperlihatkan payudara Ibu. Sekarang Ibu juga memperlihatkan pantat? Dan vagina Ibu juga?” kata Bu Ramadhan. Matanya menatap marah ke memek Mama.
“Ibu tidak usah khawatir. Anak-anak mengerti keadaan saya. Saya sudah bilang ke mereka,” jelas Mama.
“Bukan itu masalahnya,” ujar Bu Ramadhan. “Saya tidak melihat kalau Ibu mengalami sakit keras. Kulit Ibu tampak baik-baik saja di mata saya. Murid-murid juga pasti berpikiran yang sama. Mereka mengerti karena mereka suka melihat tubuh Ibu yang telanjang.”
“Bu Ramadhan silakan percaya atau tidak, tapi saya benar-benar sakit keras. Coba saja tanya anak saya,” kata Mama.
Aku maju mendekati Mama. “Betul Bu. Mama saya memang sakit keras. Kulitnya harus kena sinar matahari. Saya menemaninya ke rumah sakit.”
“Oke kalau begitu.” Bu Ramadhan mengetuk-ngetuk dagunya. “Besok berikan surat pernyataan dari rumah sakit kalau Bu Kepala Sekolah memang sakit keras. Kalau tidak, saya akan lapor kejadian ini ke polisi atas perbuatan tidak senonoh.
Mama melirikku, berharap aku tahu solusinya.
“Oke, saya akan berikan surat itu besok,” jawabku. “Setelah itu, saya mau ibu saya bebas telanjang di area sekolah untuk mendapat asupan sinar matahari.”
Bu Ramadhan menatapku tajam. “Oke. Tapi ingat kalau ternyata surat itu tidak ada. Saya akan bertindak sebagaimana seorang guru yang semestinya.” Ngocoks.com
Ia melangkah cepat-cepat untuk menyusul barisan terdepan.
“Gimana dong ini?” tanya Mama.
Kejadian itu memang membuatku kaget, tapi aku sudah tahu solusinya.
“Udah deh, Mama tenang saja. Nikmatin saja hari ini,” kataku.
Kami lanjut berjalan. Murid-murid mengikuti kami seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Mereka menikmati bongkahan pantat telanjang Mama yang terpampang di depan mereka. Yang lainnya berjalan di sebelah Mama supaya bisa melihat tetek Mama lebih jelas.
“Ah jadi bingung mau lihat yang mana,” keluh salah satu murid. “Loh ke mana yang lain?”
Aku baru sadar kalau murid-murid itu tinggal sebagian. Ke mana mereka?
Terdengar celetukan di belakangku. “Woy jangan coli di hutan nanti kesurupan.” Rupanya seorang murid sedang menertawakan temannya yang bersembunyi di balik pohon.
“Jangan noleh sini woy, nanti banyak yang lihat,” ujar temannya. Tangan kanannya sedang mengocok kontolnya yang mengeras. “Mumpung ada tontonan gratis.”
Aku terbahak-bahak. Ternyata dia sedang mengocok kontol sambil mengamati Mama. Murid laki-laki lainnya pasti melakukan hal yang sama.
Murid-murid yang selesai coli balik ke jalan dan masih mengikuti Mama. Dasar masih muda, meskipun sudah coli pun mereka masih melihat pantat Mama dengan tatapan cabul.
Jalan setapak itu semakin menanjak. Untungnya permukaan tanahnya lebih padat daripada tanah berlumpur sebelumnya. Memang lebih mudah, tapi cukup melelahkan juga untuk sampai ke atas.
Jalan yang menanjak membuat pantat Mama semakin mengencang. Celana legging-nya semakin turun, sampai anusnya membayang di belahan pantatnya yang gelap.
“Dikit lagi anusnya kelihatan,” ujar Akbar yang dari tadi paling semangat mengikuti Mama. Ia berjalan di belakang Mama dengan badan sedikit membungkuk supaya bisa melihat anus Mama. Teman-temannya juga mengikuti caranya berjalan.
“Ugh pengen banget nancepin kontol ke anusnya,” ujar teman Akbar. “Baru aja coli, masa harus coli lagi?”
“Duh gak tahan deh!” seru Akbar. Ia mempercepat langkah. Begitu tepat di belakang Mama, ia menundukkan wajahnya sampai sejajar dengan pantat Mama. Dengan sekali hentakan, ia memajukan kepalanya sampai terbenam di belahan pantat Mama.
“Eeeeeeh!” pekik Mama kaget. Ia nyaris terjatuh kalau saja aku tidak memegang tangannya.
Akbar melangkah mundur sambil tersenyum puas. “Wangi bener!” serunya kegirangan.
Mama mengusap pantatnya. Kelopak matanya bengkak seperti menahan tangis. Aku memegang tangannya supaya Mama tidak terjatuh.
Akhirnya kami sampai di ujung tanjakan. Beberapa meter di depan kami ada deretan gubuk kecil yang biasa digunakan petani untuk istirahat. Gubuk itu kini dijadikan titik istirahat para murid.
Murid dan guru yang sampai duluan sedang duduk-duduk sambil minum dari botol air. Mereka mengamati Mama yang melintas.
“Gile sekarang pantatnya juga kelihatan,” seru temanku yang baru melihat Mama. “Tadi cuma teteknya doang.”
Aku dan Mama duduk di salah satu gubuk yang paling ujung dan jauh dari guru yang lain. Murid-murid yang tadi mengikuti, termasuk Akbar, juga duduk agak jauh dari Mama. Mereka memilih duduk bersila di bebatuan daripada ikut duduk di dalam gubuk.
Usai minum air, aku menyenggol Mama. “Mama gak pengen kencing?”
Mama menggeleng. “Nggak.”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Mama harus kencing sekarang.”
Bersambung…