Langkah Mama agak sempoyongan. Ia bilang kedua kakinya lemas sekali. Aku sampai harus membopongnya agar ia bisa berdiri tegak. Sambil menyangga badannya, sesekali aku mencubit pantat telanjangnya karena gemas.
Meski langkah kami melambat, tapi aku bisa melihat barisan belakang rombongan sekolahku. Langkah mereka pun melambat. Tampaknya mereka sudah kelelahan.
Orang pertama yang melihat kami adalah Indra. Ia menghampiri kami. “Kemana saja kamu. Aku kira kau pulang duluan,” tanya Indra. Ia menatap Mama heran. “Loh, ibu kamu kenapa?”
“Kecapekan doang,” jawabku singkat. “Bantuin bopong dong.”
Indra kelabakan. “Mau sih bantuin. Tapi nanti badan ibumu terpegang.”
Mama mengangguk. “Bantuin aja. Gak apa-apa kok.”
Wajah Indra berubah ceria. “Oke kalau begitu. Aku bantu pegangin di mana?”
Indra akhirnya membantu membopong Mama di sebelah kiri, sedangkan aku di sebelah kanan. Tangan kami saling mengapit Mama supaya Mama bisa berdiri.
Selama membantu Mama berjalan, wajah Indra tampak tegang. Aku melihat kedua matanya melirik ke tetek Mama yang hampir menempel wajahnya. Meski ia berusaha menjauhkan wajahnya dari tetek Mama, tapi tetap saja ia memonyongkan bibir setiap kali pentil Mama mendekati wajahnya.
“Gimana perjalanannya?” tanya Mama ke Indra.
“Ah perjalanan ya.” Indra langsung menegakkan badan. “Perjalanannya asik-asik aja Bu. Tapi jujur saja agak membosankan karena rutenya ini-ini melulu. Saran saya, jalan santai berikutnya kita coba rute lain.”
“Yah jalan desa cuma ini-ini doang,” sahut Mama. “Mungkin nanti kita jalan-jalan di desa lain saja.”
“Ya boleh juga,” kata Indra. Keringat bercucuran di keningnya. Aku tertawa dalam hati karena tahu penyebab ia berkeringat. Tangannya melorot ke bawah dan hampir menyentuh pantat Mama. Entah dia sengaja menurunkan tangannya atau karena punggung Mama yang licin karena keringat.
“Kayaknya susah juga nih nahan punggung Mama. Licin banget sih,” kataku. “Kami tahan pantat Mama aja ya? Pasti lebih gampang pegangnya deh.”
“Pa-pantat!” Indra terkejut sampai lupa mengerem mulutnya. “Pegang punggung Ibu gak apa-apa kok. Saya masih bisa tahan punggung Ibu.”
Aku menepuk jidat. Entah karena saking malunya atau dia keterlaluan polos, sampai-sampai tidak mau mengambil kesempatan yang kuberikan. Kulirik Mama, lalu kuanggukkan kepala. Mama balas mengangguk. Ia mengerti maksudku.
“Indra pegang pantat saya saja. Gak apa-apa kok,” ujar Mama. “Lagian pantat saya memang lebih berat daripada yang lain.”
“Yang benar Bu?” Indra tidak percaya dengan kata-kata Mama. “Saya takut dianggap tidak sopan kalau memegang pantat Ibu.”
“Tidak sopan kalau kamu tidak izin. Ini ‘kan saya kasih izin kamu,” ujar Mama.
“Baiklah kalau begitu.” Indra menurunkan tangannya sampai ke pantat Mama. Telapak tangannya memegang bongkahan pantat Mama. Meski telapak tangan Indra tergolong lebar, tapi terlihat kecil jika dibandingkan dengan ukuran pantat Mama.
“Ka-kalau Ibu merasa tidak nyaman, tinggal bilang saja ya,” ujar Indra.
Aku juga ikut memegang pantat Mama. Sama seperti punggungnya, pantat Mama juga licin karena keringat.
“Kalau susah megangnya, masukin saja jari-jarimu ke belahan pantatnya biar lebih gampang,” kataku.
Indra melotot ke arahku. “Ini saja sudah menegangkan. Aku masih bisa pegang kok.”
Mama membenarkan ucapanku. “Dia benar. Kalau kamu susah megang, selipkan saja jari-jarimu ke pantat saya.”
“Tapi Bu….”
“Udah deh. Selipkan saja,” ujar Mama.
Indra menuruti perintah Mama. Jari-jari tangannya bergerak masuk ke dalam belahan pantat Mama. Pantat itu refleks menjepit begitu ada benda asing masuk.
“Aduh!” seru Indra.
“Kenapa?” tanyaku dan Mama hampir bersamaan.
“Gak apa-apa. Cuma kaget saja jariku dijepit pantat.”
Selama perjalanan, wajah Indra perlahan-lahan berubah jadi lebih santai. Jari-jari tangannya masih dijepit pantat Mama. Mulutnya komat-kamit seperti hendak mengucap sesuatu, tapi ia tidak bersuara. Aku yakin pikirannya pasti sedang melayang-layang membayangkan sedang melakukan sesuatu yang nakal ke Mama.
Tiba-tiba Mama berhenti melangkah. Kedua matanya terpejam. Otot pantatnya mengejang.
“Mama kenapa?” tanyaku.
Belum sempat Mama menjawab, Indra melepas pegangannya. Wajahnya cemas.
“Aduh maaf Bu. Jari-jari saya tidak sengaja masuk lebih dalam,” kata Indra.
“Ti-tidak apa-apa. Saya cuma geli sedikit,” jawab Mama.
“Mama yakin gak apa-apa?” tanyaku sambil mengelus punggung Mama. “Mungkin jari Indra terlalu dalam masuk ke pantat Mama. Siapa tahu pantat Mama terluka.”
“Gak mungkin! Aku cuma masuk sedikit lebih dalam!” seru Indra.
“Mendingan dicek dulu,” kataku sambil mengedipkan mata ke Mama. “Coba Mama nungging. Biar kita bisa periksa.”
Mama mencodongkan badan ke depan. Pantatnya diangkat tinggi. “Coba kalian periksa,” ujar Mama.
Indra terpaku melihat pemandangan di depannya. Matanya bergerak mengikuti lekukan punggung Mama dan berhenti di pantat Mama yang menantang langit.
Aku berjongkok sambil mengamati belahan pantat Mama. “Terlalu gelap Ma. Coba dibuka lebih lebar biar kelihatan.”
Mama memegang pinggiran belahan pantatnya, lalu membukanya lebar-lebar. Lubang anus yang tadi gelap kini merekah.
Indra masih terpaku di samping Mama. Ia tidak berani melihat Mama lebih jauh.
“Eh kamu ngapain berdiri di situ? Bantuin periksa pantat ibuku yuk,” kataku.
“Kamu saja yang periksa,” sahut Indra. “Aku bukan anaknya, jadi gak berhak lihat-lihat yang lain.”
“Indra tolong bantu anak saya,” ujar Mama. “Siapa tahu mata kamu lebih tajam daripada mata anak saya.”
“Tapi….”
“Kamu itu banyak tapinya. Mau bantu periksa gak?” tanyaku. Lama-lama anak ini bikin jengkel juga.
Akhirnya ia mengiyakan ajakanku. Ia ikut jongkok di sebelahku.
“Anusnya sempit banget. Coba masukin jarimu biar lubangnya agak lebar,” kataku.
Kali ini Indra tidak menolak. Ia mencolok anus Mama dengan jari telunjuknya. Anus Mama langsung menjepit benda asing yang masuk ke dalamnya.
“Wow!” Indra takjub melihat jari telunjuknya ditelan anus Mama.
“Ada lukanya gak?” tanyaku.
Indra mengamati pinggiran lubang Mama. “Kayaknya sih gak ada. Dicolok gini makin sempit, jadi makin gak kelihatan.”
“Kalau gitu coba dibuka lebar pakai tanganmu,” kataku.
Indra mengeluarkan jarinya dari anus Mama. Kedua tangannya memegang pinggiran belahan pantat Mama, kemudian ia membukanya lebar-lebar. Bagian yang gelap itu kini jelas terlihat.
Leher Indra bergerak naik turun. Matanya menatap lurus ke anus Mama yang merekah.
“Sudah kelihatan nih,” ujar Indra.
“Udah dicek belum?” tanyaku.
“Kayaknya sih gak apa-apa,” ujar Indra sambil mengamati anus Mama.
“Coba lihat lebih dekat, siapa tahu ada luka kecil yang gak kelihatan,” kataku.
“Dari sini udah kelihatan semua kok.”
“Coba dulu deh,” kataku setengah memaksa. Anak ini kayaknya perlu didorong supaya mau beraksi.
Indra memajukan kepalanya. Wajahnya cuma beberapa centimeter mendekati anus Mama.
“Se-sejauh ini sih baik-baik aja,” ujarnya.
Kudorong kepala Indra sampai wajahnya menempel ke pantat Mama. Ia terhenyak dan langsung menjauhkan wajahnya.
“Waduh maaf Bu. Itu tadi bukan saya!” Ia menatapku. Aku tak kuasa menahan tawa.
“Gimana rasanya?” tanyaku. Indra diam saja.
“Udah deh gak apa-apa kok,” kata Mama sambil menegakkan badan. “Memang dia suka usil begitu.”
Indra memegang selangkangannya. “Maaf Bu, saya mau buang air kecil dulu.”
Aku tahu dia berbohong. “Yang bener mau kencing?”
“Beneran!” serunya.
“Mau kencing atau mau coli?” tanyaku lagi.
“Kuhajar kau nanti,” ujar Indra geram.
“Kalau mau coli, lakukan di sini aja. Biar ibuku yang bantu,” kataku sambil melirik ke Mama. “Iya ‘kan Ma?”
“Yang bener aja kamu, masa aku coli di sini?” Indra menatapku kesal. Tangannya terkepal.
“Mumpung ada tontonan yang asik,” kataku sambil menepuk pantat Mama. “Kamu pasti sange lihat ibuku.”
“Ya nggaklah!” seru Indra.
“Mulutmu beda sama kontolmu.” Kutunjuk tonjolan besar di selangkangan Indra. Ia melihat ke bawah, lalu menutupi tonjolan itu dengan kedua tangannya.
“Ini wajar saja karena aku cowok,” kata Indra.
“Daripada coli sambil ngayal, mending coli depan ibuku,” kataku. “Gimana Ma?”
Mama menundukkan kepala. “Boleh saja. Mama tahu di usia kalian pasti hasratnya meledak-ledak. Gak ada salahnya masturbasi.”
Kedua kaki Indra merapat. “Ta-tapi apa bener saya boleh coli di depan Ibu?”
Mama mengangguk. “Sekalian buat kamu belajar anatomi tubuh wanita.”
Tahu-tahu celana Indra sudah melorot. Napasnya mendengus-dengus. Kedua matanya menatap tajam ke Mama. Kontolnya menjulang kaku, siap membuahi siapa saja di depannya.
“Saya udah gak tahan lagi!” serunya. Ia menggenggam batang kontolnya yang mengeras, lalu mengocoknya cepat-cepat.
“Uh, Bu Kepala Sekolah seksi banget!” serunya sambil terus mengocok.
Tanpa diperintah, Mama duduk di atas tanah. Kedua kakinya terkangkang. Bibir memeknya ikut melebar.
Aku tersenyum bangga. Pelan tapi pasti, wanita mana pun pasti akan nakal kalau dikasih kesempatan.
Pemandangan seksi di depannya membuat kontol Indra semakin memerah. Urat-urat di batang kontolnya mengejang. Kocokannya semakin cepat. Sebentar saja, pejuhnya bermuncratan keluar.
“Aduh enaknya!” erang Indra.
Aku mengipas-ngipas memek Mama dengan tangan. “Udahan? Gak mau coba memek ibuku?” tanyaku ke Indra.
Indra mengurut kontolnya yang masih keras. “Yang bener?”
“Sekali-sekali gak apa-apalah,” kataku. “Jarang loh ada kesempatan kayak gini.”
“Tapi itu ibu kamu,” ujar Indra. Matanya menatap lurus ke memek Mama yang berwarna kecokelatan.
“Seks bagus buat melatih kedewasan. Iya ‘kan Ma?” ujarku sambil melirik ke Mama.
Mama mengangguk. Kedua pahanya terkangkang lebih lebar. “Gimana Indra? Mau melatih kedewasaan kamu?”
Kontol Indra yang tadinya sudah agak loyo mulai mengeras lagi. Ia bolak-balik menatap aku dan Mama.
“Mau!” serunya.
Kena juga dia akhirnya, pikirku.
Indra mendekati Mama sambil mengocok kontolnya. Begitu dekat, Mama meraih kontol Indra lalu mengocoknya.
“Gimana? Enak?” tanya Mama.
Indra memalingkan muka. Tampaknya ia malu-malu. “Enak banget Bu.”
Tangan kanan Mama mengocok kontol Indra, sementara tangan kirinya mengusap-usap buah zakar yang bergelantungan di bawah kontol Indra.
“Aduh, aduh.” Indra mendesah dengan mata tertutup. Pikiran anak itu pasti sudah terbang tinggi melintasi cakrawala.
Mama mengecup kepala kontol Indra. Ia membuka mulut, kemudian memasukkan batal kontol remaja tanggung itu ke mulutnya.
“Ah enak banget Bu!” seru Indra. Ia memegang kepala Mama kuat-kuat sampai jilbab Mama tertarik ke atas.
Kepala Mama bergerak maju mundur. Batang kontol Indra basah oleh liur Mama. Lidah Mama bergelayut di batang kontol Indra yang berurat.
“Saya mau keluar lagi!” erang Indra. Ia menekan kepala Mama sampai seluruh batang kontolnya tenggelam di mulut Mama. Otot-otot badannya mengejang. Tak lama kemudian, otot-otot badannya melemas. Ia mencabut batang kontolnya dari mulut Mama. Kepala kontolnya berlumuran pejuh. Sebagian pejuh itu berceceran di bibir Mama.
Mama mendongak. Lehernya bergerak menelan pejuh di mulutnya.
Kutepuk-tepuk kepala Mama. “Mama pinter,” pujiku.
Indra terduduk lemas di atas tanah. Kontolnya menggelantung sampai ujungnya menyentuh tanah. Kedua matanya masih terpejam. Ia masih menikmati sensasi yang baru saja ia rasakan.
“Wah gila,” komentarnya setelah setengah sadar.
“Gimana? Masih mau?” tanyaku sambil menepuk memek Mama.
“Mau istirahat dulu deh. Capek bener,” ujar Indra.
“Lemah amat. Baru juga disepong,” ejekku. “Cobain nih memeknya. Lebih enak daripada mulut.”
Kubuka memek Mama lebar-lebar dengan jari tanganku. “Masih basah dan hangat. Rugi kalau gak dicoba sekarang.” Ngocoks.com
“Tapi capek banget nih,” keluh Indra.
“Ma, bangkitin lagi dong semangatnya,” kataku.
Mama menghela napas panjang, kemudian merangkak mendekati Indra.
“Loh Bu Kepala Sekolah mau apa?” Indra kebingungan.
“Udah kamu santai saja,” kata Mama sambil memegang batang kontol Indra yang terkulai lemas.
Mama melangkahi Indra, lalu duduk di atas kontolnya. Memeknya digesek-gesek ke kontol Indra. Jembut mereka saling bersatu padu.
“Ugh!” erang Indra. Ia memegang pinggang Mama. Kontol yang tadinya lemas, pelan-pelan mulai merangkak naik.
Mama menggesek memeknya maju mundur. Mungkin karena sudah insting alamiah manusia, pinggul Indra ikut bergerak maju mundur meski gerakannya terbatas karena ia dalam posisi duduk.
Aku ikut berjongkok sambil menyaksikan mereka. Kontolku ikut mengeras karena melihat goyangan pinggul Mama yang meliuk-liuk menggairahkan. Rasanya ingin bergabung sama mereka, tapi khusus hari ini aku membiarkan sahabatku menikmati Mama seorang diri.
Sekitar sepuluh menit kemudian, kontol Indra sudah menemukan semangat hidup kembali. Meski tidak sekeras sebelumnya, tapi kadar kekerasan kontol itu sudah cukup buat menerobos memek.
Mama sedikit menaikkan pinggulnya sampai melewati kontol di bawahnya. Memek Mama terbuka, siap mencaplok kepala kontol di bawahnya. Pelan tapi pasti, Mama menurunkan pantatnya. Kontol Indra tertelan memek Mama.
“Ah ini lebih enak,” ujar Indra. Napasnya terengah-engah lagi.
Mama bergerak naik turun. Pantatnya yang tebal menimpa kedua paha Indra. Gesekan antara kulit dan keringat mereka menciptakan suara seperti kaki yang menginjak lumpur. Ceprat, ceprot, ceprat, ceprot.
Mama memeluk kepala Indra sampai kepala remaja itu terbenam di antara kedua teteknya. Indra balas memeluk pinggang Mama. Keduanya saling memeluk erat satu sama lain.
“Bu, saya mau keluar lagi,” ujar Indra. Suaranya nyaris tidak terdengar karena seluruh wajahnya tertutup tetek Mama.
“Keluarkan saja, jangan ditahan,” balas Mama.
“Tapi kalau Ibu hamil gimana dong?”
“Udah, itu kita pikirin nanti,” kata Mama sambil melirikku.
Goyangan pinggul Mama semakin cepat, begitu pula gerakan pinggul Indra. Kaki Indra menjulur ke depan, mengejang sebentar, kemudian perlahan-lahan mengendur.
Indra menarik wajahnya keluar dari belahan tetek Mama. Seluruh wajahnya terlumuri keringat dari tetek Mama.
“Wah enak banget!” serunya.
Mama berdiri. Kontol Indra yang langsung tercabut keluar. Pejuh Indra merembes keluar dari sela-sela bibir memek Mama.
Indra merebahkan badan di atas tanah. Matanya terpejam dan bibirnya tersenyum. Dia baru saja menikmati rasanya jadi pria dewasa.
“Ibumu luar biasa,” ujar Indra.
Aku menyiram memek Mama dengan air botol untuk membersihkan pejuh yang menempel. Walau sudah banyak mengentot hari ini, tampaknya Mama masih kuat berjalan.
“Kami mau lanjut nih. Kamu mau ikut gak?” tanyaku.
“Kalian duluan aja deh. Aku mau istirahat dulu. Asli, kakiku gak kuat lagi,” ujar Indra. Ia menguap lebar, kemudian tertidur.
“Yah masih muda sudah lemah,” kataku. “Ya sudah kami duluan dulu. Sampai ketemu di sekolah.”
Karena harus melayani Indra, kami jadi jauh lagi dari rombongan.
Bersambung…