Setelah berjalan kaki sekitar dua puluh menit, aku sudah bisa melihat area sekolah dari kejauhan. Rombongan sekolahku juga terlihat dan mereka sudah hampir mendekati gerbang sekolah.
Teriknya matahari membuat kulit Mama semakin kecokelatan. Aku mengajak Mama berjalan di bawah bayang-bayang pepohonan yang teduh.
“Gimana perasaan Mama?” tanyaku. “Masih malu atau biasa aja?”
Mama menunduk. “Malu tapi gak semalu kemarin.”
“Bagus. Berarti Mama sudah terbiasa,” kataku sambil menepuk pantatnya. “Mama hebat sudah ngentotin banyak orang hari ini. Nanti kita coba yang lebih seru.”
Rombongan sekolah sudah menghilang di balik gerbang. Aku dan Mama mempercepat langkah karena sudah lelah.
Sesampainya di gerbang, kami bertemu Pak Paijo yang sedang meminyaki engsel pintu gerbang. Bapak itu langsung berdiri tegap saat melihat Mama lewat di belakangnya.
“Siang Bu!” serunya. Matanya menatap lurus ke pentil Mama yang mengacung ke arahnya.
“Siang Pak Paijo,” jawab Mama. Kami terus berjalan meninggalkan Pak Paijo yang masih memandangi Mama.
Aku dan Mama mendinginkan diri di kantor. Aku duduk di sofa, sementara Mama membilas kaki dan tangannya di toilet kantor. Ia keluar dari toilet sambil mengelap sekujur tubuhnya dengan handuk. Tubuh Mama yang tadi kotor dan berkeringat, kini bersih kembali.
Mama melepas jilbabnya, kemudian menggantungnya di dinding. Rambutnya yang panjang sepinggang tergerai. Aku berdecak kagum. Alangkah beruntungnya aku bisa memiliki dan memperbudak wanita secantik Mama!
“Baju Mama bau banget,” katanya sambil melepas pakaiannya. Ia berdiri di depanku dalam keadaan telanjang bulat. “Mana Mama gak bawa baju ganti pula.”
“Solusinya gampang,” kataku sambil tersenyum. “Mama gak usah pakai baju sekalian.”
“Tapi Mama harus kasih pidato dulu buat bubarin acara ini,” kata Mama.
“Apa bedanya? Toh mereka sudah lihat tetek dan memek Mama. Beberapa juga sudah nyicip memek Mama,” kataku. “Sudahlah. Sekalian melatih keberanian Mama buat tugas-tugas yang lebih besar nanti.”
Aku bangkit dari sofa. Kuambil baju Mama yang tergeletak di lantai, lalu kupotong-potong dengan gunting besar dari meja kerja Mama. Mama memandangi potongan-potongan kain kecil yang berjatuhan.
“Oh iya, jilbab Mama juga bau pastinya. Hari ini Mama gak usah pakai jilbab dulu. Lagian Mama lebih cantik kalau rambutnya terurai begitu,” kataku.
Murid-murid dan para guru sudah menunggu kehadiran Mama di lapangan sekolah. Wajah mereka tampak cemberut karena harus berpanas-panasan.
Mama melangkah ke lapangan. Aku mengikutinya dari belakang, tapi aku buru-buru lewat ke samping dan berlari ke barisan belakang murid. Aku ingin melihat ekspresi Mama dari sudut pandang para murid.
Guru-guru dan para murid menoleh ke Mama yang sudah masuk ke lapangan. Para guru berbisik-bisik dengan pandangan mengejek. Teman-temanku juga berbisik, tapi sambil cekikikan.
“Gile beruntung banget kita hari ini,” ujar murid dari kelas sebelah. “Sayang si Angga bolos sekolah. Pasti dia gak percaya ini.”
Mama berdiri di depan barisan murid. Guru-guru tidak ada yang berani menatap Mama. Aku duga mereka pasti malu membayangkan diri mereka berada di posisi Mama.
Mama terbatuk-batuk sebentar. “Gimana rasanya habis olahraga?” tanya Mama ke barisan murid. “Seger? Laper? Haus? Atau malah ngantuk?”
“Seger karena ngelihat Ibu!” seru salah satu murid. Yang lainnya tertawa.
Mama tidak menggubris. Ia meneruskan pidato. “Ibu tahu kalian suka melihat Ibu sekarang, terutama yang cowok-cowok. Tapi Ibu janji nanti kalau Ibu sudah sembuh dari penyakit ini, Ibu bakal berpakaian normal lagi.”
“Santai aja Bu, kami seneng kok!” seru murid lainnya. Yang lain lagi-lagi tertawa.
Mama terbatuk-batuk lagi. “Oke, Ibu lihat kalian sudah capek. Jadi Ibu tutup acara jalan santai ini. Selamat istirahat. Assalamualikum warrahmatullahi wabarakatuh.”
Murid-murid perempuan langsung membubarkan diri, sedangkan murid laki-laki masih berdiri di lapangan sambil memerhatikan Mama.
“Bayangin, telanjang bulat di depan kita!” seru murid di belakangku.
“Wah gila sih ini. Harusnya ada yang punya hape buat merekam,” timpal yang lain.
“Kita miskin sih, jadi pada gak punya hape,” ujar yang lain.
Aku tertawa dalam hati. Enaknya berada di desa pedalaman adalah smartphone masih jadi barang mahal sehingga berita ini tidak cepat menyebar keluar. Setidaknya kondisi masih terkendali.
“Eh, aku gak nyangka Ibu kamu jadi senakal itu,” ujar suara di sebelahku. Rupanya Indra sudah memulihkan diri dan muncul di saat terakhir. “Pasti ada yang gak beres di antara kalian nih.”
“Ah itu cuma pikiranmu saja. Biasa-biasa aja kok. Dia memang suka mengajari anak-anak jadi dewasa,” kataku.
“Masih gak masuk akal. Aku yakin ada yang gak beres. Tapi gak apa-apa sih. Ibumu binal sekali,” ujar Indra. Ia menepuk-nepuk selangkangannya. “Baru kali ini aku ngerasain memek cewek. Rasanya lega banget.”
“Mau coba lagi?” tanyaku.
“Mau! Mau! Mau!” seru Indra. “Kapan?”
“Yah kapan-kapan,” jawabku sambil terkekeh. “Kalau sudah nyobain memek, coli jadi gak enak lagi.”
Indra memegang pundakku, lalu berbisik. “Aku curiga kamu sudah ngentot ibumu sendiri.”
Aku tersenyum. “Memang kenapa?”
“Jadi kamu beneran sudah ngentot ibumu sendiri?”
“Aku belum jawab loh,” kataku. “Aku cuma tanya, memangnya kenapa?”
“Ah kamu malah nanya balik. Aku cuma tanya kamu sudah ngentot ibumu atau tidak?” Nada suaranya jengkel.
“Baiklah aku jujur sama kamu. Iya, aku sudah ngentot ibuku,” bisikku. “Tapi ini cuma rahasia kita.”
“Wah gila bener.” Indra menggelengkan kepala. “Kita sudah lama berteman dan nakal bersama, tapi kali ini kamu bener-bener gak waras.”
Aku mengajak Indra pergi ke lorong di samping kelas yang sepi. Murid-murid menatapku sambil berbisik-bisik. Anehnya, aku tidak merasa malu, malah bangga!
“Tapi bagaimana bisa kamu mengentot ibumu sendiri? Dan sejak kapan?” tanya Indra.
“Memang dia yang binal, aku cuma nurutin apa yang dia mau,” kataku berbohong. “Baru-baru ini menunjukkan kebinalannya. Padahal sebelumnya dia biasa-biasa saja. Aku juga gak nyangka ibuku bisa seperti itu.”
“Lalu soal penyakit kulitnya itu?”
“Itu cuma karangannya biar bisa telanjang di jalan,” jelasku.
“Jadi ibu kamu memang nakal,” gumam Indra sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau begitu, apa aku boleh main sama ibumu lagi?”
Kutatap mata sahabatku itu. “Kamu memang sahabatku, tapi dia ibuku dan dia milikku. Kamu boleh main sama dia, tapi cuma kalau aku izinkan.”
Yah, padahal aku mau main sama ibumu lagi.” Indra mendengus kecewa. “Memang bener katamu. Ngentot sama cewek jauh lebih enak daripada coli.”
“Gak kepikiran mau main sama ibumu?” tanyaku.
“Ya nggaklah. Aku masih waras ya!” seru Indra.
“Sebenernya ibumu gak jelek-jelek amat. Memang dia gak sesemok ibuku, tapi badannya masih lumayan. Coba sesekali godain ibumu. Kalau hoki, mungkin kamu bisa kentot ibumu. Kamu gak perlu coli lagi,” kataku.
Indra menggeleng. “Gak. Itu gak bakal terjadi. Aku suka ibumu, tapi aku bakal mau kayak kalian.”
Ah mau sampai kapan kamu ngotot begitu, pikirku.
Karena jalan santai sudah berakhir, maka berakhir pula kegiatan sekolah. Mama cuma menyelesaikan beberapa berkas laporan, lalu mengajakku pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku melamunkan apa saja kegiatan-kegiatan asik yang harus dilakukan Mama.
Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras lagi.
Sore menjelang magrib, aku membonceng Mama naik sepeda motor ke desa sebelah untuk menjalankan rencana yang aku pikirkan siang tadi. Desa yang akan kami datangi ini berbeda dengan desa tempat tinggal Bagas, meski sama-sama berada di pelosok. Tapi desa ini jauh lebih ramai daripada desa Bagas karena berdekatan dengan jalur distribusi barang.
Siang tadi Mama sudah seberani itu untuk telanjang di sekolah, bahkan di jalan. Aku harus terus mengasah keberaniannya supaya dia tidak merasa malu lagi tubuhnya dilihat orang-orang. Pulang dari sekolah tadi, aku membuat daftar desa-desa yang bakal kami datangi.
Untuk sementara ini, aku perlu membatasi kegiatan telanjang Mama di desaku supaya berita kebinalan Mama tidak terlalu menyebar. Pokoknya jangan sampai Ayah tahu kelakuan kami.
“Masih jauh?” tanya Mama. Suaranya kurang jelas terdengar karena ia memakai masker medis. Ia tidak tahu ke mana tujuan kami. Ngocoks.com
“Sebentar lagi sampai,” jawabku. Sepeda motor kami melaju lancar karena jalan tanah di wilayah itu kering dan padat. Satu-satunya masalah di situ jangan sampai hujan deras saja.
Sebuah gapura kecil terlihat di kejauhan. Gapura itu yang membatasi desa yang kami lewati dengan desa yang kami tuju.
Aku injak rem sepeda motor. Kami berhenti beberapa meter dari gapura.
“Kenapa berhenti di sini?” tanya Mama. Ia melihat ke gapura di depannya. “Oh Mama sudah lama sekali gak ke sini.”
“Lepas celana Mama,” perintahku.
“Mama sudah duga kamu bakal nakalin Mama di sini,” kata Mama. Meski wajahnya cemberut, ia tetap melepas celananya.
“Gulung baju Mama sampai tetek Mama kelihatan,” perintahku lagi.
Mama menurut. Ia meraih bagian bawah bajunya, kemudian menggulungnya ke atas sampai kedua teteknya menyembul keluar. Bajunya cuma menggantung di pundaknya.
“Di dalam sana rame loh,” kata Mama sambil menunjuk ke gapura.
“Justru di situ serunya,” kataku sambil menggulung celana Mama supaya muat dimasukkan ke kantong plastik yang sudah aku siapkan. “Mama harus terbiasa dilihat orang banyak. Semakin banyak, semakin bagus.”
Aku menyuruh Mama naik ke sepeda motor lagi. Sebelum menyalakan mesin sepeda motor, aku minta Mama untuk membuka anus lebar-lebar.
“Aku tahu jalan di sekitar sini. Kita mulai dari jalan yang agak sepi dulu. Mama gak usah khawatir,” kataku sambil memacu sepeda motor. Kami pun melesat masuk ke dalam desa.
Dari gapura, jalan tanah yang kami lalui terpecah menjadi tiga jalur. Jalur kiri, tengah, dan kanan. Aku mengambil jalur tengah karena jalur itu mengarah ke perkebunan bawang merah yang menjadi penghasilan utama warga di desa itu. Seingatku, di antara kedua jalur lain, jalur itu jauh lebih sepi.
Kupelankan laju sepeda motor supaya Mama bisa duduk dengan nyaman. Kedua tangannya menjulur ke belakang supaya bisa membuka lubang anusnya, jadi ia tidak bisa berpegangan erat kalau ada guncangan.
Semakin jauh berjalan, pepohonan di kiri dan kanan jalan mulai tergantikan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan. Mama mulai bergerak-gerak gelisah.
“Kamu yakin ini aman?” tanya Mama.
“Aman Ma. Mama fokus saja ngebuka anus, soal aman atau tidak, biar aku yang pikirin,” jawabku.
Seorang wanita yang sedang menjemur seprai di halaman rumah tampak kaget melihat kami lewat. Ia tidak berteriak, cuma melotot melihat kami.
Aku terbahak-bahak melihatnya. “Mama lihat ekspresinya?”
“Mama gak sempat lihat karena malu,” sahut Mama.
“Ah masa gitu aja malu. Tadi siang Mama udah ngentot banyak orang loh,” kataku.
Jarak rumah-rumah di sekitar mulai saling mendekat, pertanda banyak orang yang tinggal di situ. Dalam hati, aku merasa sedikit cemas kalau saja ada orang yang tidak terima dengan kelakuan tidak senonoh Mama, lalu mengejar kami. Aku usir perasaan cemas itu dengan tertawa keras-keras.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama. Barangkali ia menganggapku mulai gila.
“Gak apa-apa Ma.” Kupacu mesin sepeda motor supaya sedikit melaju.
Kami melewati rombongan ibu-ibu yang mengenakan gamis dan membawa kantong plastik berisi makanan. Mungkin mereka baru saja pulang dari pengajian.
“Astagfirulloh! Apaan tuh!” seru salah satu ibu-ibu itu ketika kami lewat.
“Ya ampun kelakukan orang zaman sekarang!” seru yang lain.
Mereka terus mengamati sampai kami menghilang di belokan.
“Lucu bener ekspresi mereka,” komentarku. “Perasaan Mama gimana pas dilihat mereka?”
“Ma-malu sih,” kata Mama.
“Kalau gitu kita harus cari orang lain supaya Mama gak malu lagi,” kataku.
Di kejauhan, aku melihat gubuk yang terbuat dari kayu ala kadarnya dan tanpa pintu. Ada beberapa anak cowok berseragam SMA yang duduk di gubuk itu. Aku pikir mereka cocok buat melatih keberanian Mama.
Aku berhenti agak jauh dari gubuk itu, lalu menyuruh Mama turun.
“Mama lihat anak-anak itu?” kataku sambil menunjuk ke gubuk. “Mama harus susuin mereka semua.”
“Hah? Tapi bentar lagi magrib. Kalau banyak petani pulang gimana?”
“Ya berarti Mama harus cepat-cepat susuin mereka,” jawabku santai. “Udah deh, Mama jangan kebanyakan menunda, nanti petani pada pulang beneran.”
Kutampar pantatnya biar Mama bergerak maju.
Mama menggerutu, tapi ia tetap melaksanakan perintahku. Ia berjalan menuju ke arah gubuk sambil menutupi memeknya dengan kedua tangan. Ia menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada orang lewat.
Saatnya kamera smartphone-ku beraksi. Kegiatan Mama harus didokumentasikan buat kenang-kenangan. Mungkin dokumentasi itu juga bakal berguna di masa depan.
“Wih siapa tuh!” seru salah satu anak SMA itu. Kedua rekannya keluar dari gubuk. Ternyata jumlah mereka cuma tiga orang.
“Orang gila kalik,” ujar yang lain.
“Atau lonte lepas,” sahut anak SMA satunya.
“Eh tapi bodinya oke juga tuh,” ujar anak SMA pertama. “Teteknya gede amat.”
“Coba kamu deketin,” ujar salah satu anak itu sambil mendorong temannya.
“Takut ah, siapa tahu dia penyakitan,” ujar anak yang didorong.
“Tapi bodinya mulus gitu.”
Mereka saling dorong mendorong sampai Mama berdiri di depan mereka.
“As-assalamualaikum,” ujar Mama terbata-bata.
“Waalaikumsalam,” jawab ketiga anak SMA itu serempak.
“Kalian baru pulang sekolah?” tanya Mama.
“Iya nih Tante. Udah pulang dari tadi sih, tapi males ke rumah. Nanti disuruh kerja di kebun,” jawab salah satu anak yang berbadan paling tinggi.
“Lah Cimol, jujur amat kamu,” sahut yang lain sambil tertawa. Anak yang dipanggil Cimol ikut tertawa.
“Tante ini lonte atau gimana?” tanya anak yang lain.
“Lah si Anduk malah lebih jujur dan gak sopan pula,” ujar Cimol sambil menoyor anak yang dipanggil Anduk.
“Tante lagi cari angin saja,” kata Mama.
“Awas nanti masuk angin loh,” ujar anak satunya. “Tapi aku masu sih ngerokin tante kalau masih angin.”
“Widih perhatian bener si Bokri. Kerokin ibu kau sendiri sana,” ejek Cimol.
“Ta-tante mau minta sesuatu dari kalian,” ujar Mama. Ketiga anak SMA itu langsung diam mendengarkan.
“Tante mau minta apa?” tanya Bokri.
Mama memandang mereka satu per satu. “Kalian mau gak nyedot tetek Tante?”
Bersambung…