“Hah gimana Tante?” Anduk berusaha mencerna permintaan Mama.
“Kalian mau gak nyedot tetek Tante?” ulang Mama.
“Jelas mau!” seru Bokri.
Kedua temannya menahan pundak Bokri.
“Jangan asal mau-mau aja. Kita gak tahu siapa dia. Kalau dia penyakitan gimana?” ujar Cimol.
“Ya biar aku yang netek. Kalian nonton aja,” ujar Bokri.
“Terserah kau ajalah,” sahut Anduk.
Bokri menatap Mama. “Aku mau nih. Tante mau netekin di mana?”
“Di gubuk itu ajalah,” jawab Mama.
“Eh nanti kelihatan orang lewat,” ujar Anduk. “Mana bentar lagi magrib pula. Bakal banyak yang pulang kerja loh.”
“Netekinnya cepet aja kok,” ujar Mama.
“Ya udah cepetan yuk.” Bokri menarik tangan Mama ke gubuk.
Mereka berdua duduk di dalam gubuk, sementara dua rekannya berdiri di luar. Selagi mereka sibuk memerhatikan Bokri dan Mama, aku bergegas mendorong sepeda motorku ke seberang jalan agar bisa melihat lebih jelas kegiatan mereka di dalam gubuk. Karena jaraknua agak jauh, aku harus memperbesar rekaman meski tampilannya jadi sedikit buram.
Bokri berbaring di pangkuan Mama. Tetek Mama menggelantung tepat di atas wajahnya.
“Isep dah,” kata Mama.
Bokri langsung melahap pentil Mama. Alis mata Mama sedikik menukik. Mulutnya meringis. Tampaknya Bokri terlalu semangat mengisap pentil Mama sampai Mama kesakitan.
“Kayak anak kecil aja,” komentar Cimol. Tangannya bersandar di tepi dinding gubuk.
“Gimana rasanya?” tanya Anduk.
Bokri mengacungkan jempol. “Hwenak bwanget,” suaranya kurang jelas karena sambil mengenyot tetek Mama.
“Hmmmph!” Mama meringis. Meski begitu, tangannya bergerak mengelus kepala Bokri seakan-akan remaja itu anak bayi.
“Kayaknya asik juga,” komentar Anduk. “Nanti gantian dong.”
Bokri melepas kenyotannya. “Plin-plan bener. Tadi gak mau,” ujarnya, kemudian lanjut menyedot pentil Mama lagi.
Dua sepeda motor melaju melewati gubuk. Cimol memerhatikan kedua sepeda motor itu. “Kayaknya sudah pada pulang kerja.”
“Swebentwar lwagi,” ujar Bokri. Tanganya menarik-narik pentil Mama satunya. Mama menjerit kesakitan saat remaja itu menarik pentilnya terlalu kencang.
Bokri melepas kenyotannya. “Udah ah. Asik sih, tapi mendingan kita pindah tempat aja deh kalau mau lama. Di sini bakal ramai.”
“Jangan!” Mama menangkap pundak Bokri. “Di sini saja. Tante gak bisa jauh-jauh lagi.”
Ketiga remaja itu saling berpandangan.
“Memangnya kenapa Tante?” tanya Anduk.
“Di tempat lain udah banyak orang dan Tante gak punya baju lain,” ujar Mama.
Cimol mengusap keningnya. “Memangnya kenapa sih Tante telanjang di jalan begini?”
Mama diam sebentar, lalu menjawab. “Tante lagi sange dan butuh kontol secepetnya!”
Suara Mama begitu nyaring sampai aku kaget. Ketiga remaja itu pun juga kaget.
“Tante udah nikah atau jomblo kayak kita?” tanya Cimol.
“Tante udah nikah.” Mama terdiam lagi. Barangkali sedang memikirkan lanjutannya. “Suami Tante lagi pergi jauh dan Tante butuh dipuaskan.”
Ketiga remaja itu cekikikan mendengar jawaban Mama.
“Kami kira Tante ini orang gila,” ujar Anduk.
“Tante masih waras dan butuh kontol doang,” ujar Mama. “Tapi Tante tahu kalian pasti rada takut sama Tante, jadi Tante rasa minimal kalian nyobain tetek Tante.”
Astaga Mama sudah pintar bikin alasan, pikirku. Bahkan dia sudah berharap mencicipi kontol orang lain. Dia benar-benar banyak peningkatan, padahal baru sehari.
“Aku jadi sange lihat tante,” kata Anduk. Tangan kanannya meremas tetek Mama. “Kalau Tante memang begitu sange dan gak bisa ke mana-mana, mendingan aku kentot Tante di belakang gubuk ini. Orang dari depan jalan gak bakal bisa melihat ke belakang karena terhalang gubuk ini.”
“Gimana Tante? Aku juga siap ngentot Tante,” ujar Cimol penuh harap.
“Aku! Aku juga mau ngentot Tante!” seru Bokri. Tangannya masih menarik-narik pentil Mama.
“Bo-boleh juga,” jawab Mama. Matanya bergerak menelusuri jalanan. Kelihatannya ia ingin memastikan aku melihatnya.
Mereka pindah ke belakang gubuk. Ah sial, tahu begini aku tidak perlu repot-repot memindahkan sepeda motor. Aku turun dari sepeda motor, lalu mengendap-endap menyeberang jalan. Aku bersembunyi di balik pohon besar yang sekelilingnya ditumbuhi ilalang. Meski kulit sedikit gatal karena tertusuk ujung daun ilalang, setidaknya aku bisa memerhatikan kegiatan remaja-remaja itu ke Mama. Suara obrolan mereka juga lumayan terdengar.
Bokri menginjak-injak rerumputan supaya nyaman ditiduri. Cimol dan Anduk tesenyum-senyum ke Mama.
“Woi bantuin dong. Jangan cuma ngeliatin doang,” keluh Bokri.
Ujung-ujungnya tetap Bokri yang meratakan rerumputan.
Cimol memeluk Mama dari belakang. Hidungnya mengendus-endus leher Mama. “Wah Tante memang bukan orang gila. Kalau orang gila, gak mungkinlah badannya seharum ini.”
Mama ditidurkan di atas rerunputan. Kedua kakinya dibuka.
“Gila memeknya bagus amat,” puji Anduk.
“Siapa yang mau duluan nih?” tanya Cimol. “Bokri aja deh. Dia yang paling semangat. Mana masih perjaka pula.”
Cimol dan Anduk terbahak-bahak. Bokri memandang mereka kesal. “Habis ini aku gak perjaka lagi.”
Bokri berjongkok di depan selangkangan Mama. Celananya sudah melorot sampai ke mata kaki. Ia membuka memek Mama dengan jari tangannya.
“Baru kali ini aku nyentuh memek,” ujarnya. “Ternyata agak serem ya.”
Kedua rekannya semakin terbahak mendengar komentar Bokri.
“Serem-serem gitu coba kamu masukin kontolmu ke dalamnya,” ujar Anduk.
Bokri mengocok kontolnya yang sudah mengeras. Memek Mama dibuka pakai jari tangannya, lalu kontolnya didekatkan ke memek Mama.
“Hayo kalian lagi pada ngapain tuh!” seru seseorang.
Ketiga remaja itu kaget, begitu pula aku.
Seorang bapak-bapak muncul di belakang mereka. Aku tidak memerhatikan kedatangan bapak itu karena fokus merekam dan gubuk itu menghalangi jalan di belakangnya.
“Kalian mau memperkosa ya? Wah anak-anak gila! Cimol, Bokri, Anduk! Saya kenal orangtua kalian. Saya laporin orangtua kalian nanti!” Suara orang itu menggelegar nyaring.
Ketiga remaja itu terbirit-birit ketakutan. Bokri yang celananya masih melorot, paling tertinggal di belakang.
“Woy jangan tinggalin aku woy!” serunya panik.
Kutundukkan badanku sampai tersembunyi di alang-alang saat ketiga remaha itu lewat. Setelah aman, aku mendongak untuk melihat keadaan Mama. Lagipula siapa bapak-bapak yang memarahi ketiga remaja tadi?
“Ibu gak apa-apa?” tanya bapak itu.
“Gak apa-apa pak,” jawab Mama. Ia masih terduduk di rerumputan.
“Astagfirulloh, Ibu udah ditelanjangin gitu. Pakai sarung saya aja bu.” Bapak itu melepas sarung yang tadi tersampir di pundaknya, lalu memberikannya ke Mama. Mama menerima sarung itu dan memakainya untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Saya tetua di desa ini, ibu boleh memanggil saya Pak Pardi,” ujar bapak itu mengenalkan diri. “Ibu tidak apa-apa? Ketiga anak itu memang bandel! Kemarin mereka ketahuan nyuri ayam, sekarang mereka mau memperkosa! Nanti saya laporin kelakuan mereka ke orangtuanya.”
Mama diam saja. Tampaknya kedatangan Pak Pardi yang mendadak itu bikin dia kaget.
“Tapi Ibu gak apa-apa ‘kan?” tanya Pak Pardi. Ia memeriksa sekujur lengan dan pundak Mama. “Kayaknya gak apa-apa deh.”
“Maaf Pak, saya begitu kagetnya sampai gak bisa melawan,” ujar Mama.
“Ibu asli mana? Mau saya anterin pulang?” tawar Pak Pardi.
Mama menggeleng. “Terima kasih banyak Pak, tapi saya tidak mau menyusahkan orang lain. Saya bisa pulang sendiri.”
“Mendingan saya anterin pulang deh. Gak ngerepotin sama sekali kok. Beneran.”
“Gak usah Pak.”
Pak Pardi memandang Mama. “Tampaknya Ibu tidak asing, tapi saya rada lupa. Ya sudah kalau Ibu tetap gak mau saya anter. Jalanan harusnya sudah ramai, jadi lebih aman.”
Mama mengucap terima kasih, lalu pergi meninggalkan Pak Pardi sendirian. Pak Pardi terus mengamati Mama sampai yakin kalau Mama baik-baik saja, setelah itu ia berjalan ke arah berlawanan.
Di tengah jalan, Mama celingukan mencariku. Ia melihat sepeda motorku, tapi ia tidak melihatku yang bersembunyi di balik pohon.
“DOOOOR!” Aku lompat dari balik pohon.
“Astagfirulloh!” Mama tersentak kaget. “Jangan begitu. Mama kaget nih.”
Aku tertawa melihatnya.
“Jadi gimana tadi Ma? Kesampaian netekin mereka bertiga?” tanyaku.
“Gak sempet. Mama malah mau diperkosa sama mereka.”
“Mau diperkosa atau Mama yang nawarin sendiri?” tanyaku sambil tersenyum. “Beda konteks kalau Mama yang nawarin diperkosa.”
“Iya deh Mama akuin kalau Mama yang nawarin mereka,” ujar Mama.
“Berarti Mama udah nakal ya,” kataku. “Bagus! Bagus! Semakin nakal, semakin bagus!”
“Habis ini kita ke mana?” tanya Mama. Dari kejauhan terdengar deru sepeda motor dan mobil.
“Yah kita jalan-jalan dululah,” kataku sambil menelusupkan jari telunjuk ke lubang anusnya. “Semoga Mama gak masuk angin besok.”
Langit mulai gelap saat kami melesat di jalanan. Beberapa sepeda motor meneriakkan suara klakson ketika aku menyalip mereka. Sebuah mobil terpaksa mengerem mendadak karena aku muncul dari sebelah kiri dan tiba di depannya.
Wajarlah mereka seribut itu karena aku membonceng Mama yang tanpa memakai celana. Aku membayangkan para pengemudi sepeda motor dan mobil itu melihat buntalan pantat telanjang Mama yang berkilau terkena lampu kendaraan mereka.
“Kasih lihat anus Mama ke mereka!” Suaraku kurang jelas terdengar karena terpapar angin.
“Hah?” Mama tidak mendengar.
Kukeraskan suaraku. “Buka lubang anus Mama pakai tangan biar mereka lihat!”
Kali ini Mama mendengar. Ia memajukan badannya sedikit sampai pantatnya menungging. Kedua tangannya menjulur ke belakang. Meski tidak bisa melihat anusnya, aku bisa mengecek kalau Mama benar-benar menuruti perintahku dari kaca spion.
Klakso-klakson di belakang kami semakin memekik nyaring. Aku terbahak-bahak membayangkan mereka melihat pemandangan indah di depan mereka.
Repotnya adalah meski jalanan ramai kendaraan, tapi tidak ada lampu jalan yang menyinari jalanan. Tidak masalah jika aku berada di belakang karena terbantu sinar lampu kendaraan di depanku. Lain cerita kalau harus menyalip kendaraan lain dan berada di ururan terdepan. Jalanan begitu abu-abu dan tanganku harus lincah mengendalikan sepeda motor agar tidak mengarah ke lubang jalan yang tersamar.
Tiba-tiba seekor ayam melintas di depan. Untung aku sempat melihat bayangan ayam itu sebelum ia menyeberang jalan, jadi aku bisa menginjak pedal rem sehalus mungkin sehingga sepeda motorku tidak terjungkal. Meski begitu, Mama tetap tersentak ke depan. Kedua tangannya sempat memeluk pinggangku sebelum aku menginjak pedal rem. Teteknya yang tebal menabrak punggungku. Yah setidaknya kalau ada apa-apa, Mama punya pengaman alamiah sendiri.
Kami tiba di area perkebunan bawang. Di sebelah kiri dan kanan terbentang lahan perkebunan yang luas. Cuma ada lima rumah yang dibangun saling berjauhan. Meski sepi rumah dan warga, jalanan semakin padat kendaraan. Teriakan-teriakan klakson memekik di mana-mana, padahal tidak macet.
Hebat sekali pantat Mama karena bisa bikin keributan di mana-mana.
“Wih lihat tuh!” seru anak-anak yang mau berangkat mengaji. Mereka melongo saat kami melintas di depan mereka. Senter-senter kecil di tangan mereka menyorot ke arah kami. Aku berani bertaruh kalau mereka baru pertama kalinya melihat pantat sepadat punya Mama.
Ada sekitar tujuh sepeda motor yang mengekor kami. Setiap kali aku membelok, mereka ikut membelok. Lampu sepeda motor mereka menyorot tepat di belakang kami. Sudah jelas mereka mengincar Mama.
Walau tujuanku biar Mama dilihat banyak orang, tapi instingku mengatakan ini terlalu berbahaya. Ngocoks.com
Adrenalinku terpacu. Kutancap gas sampai aku beberapa meter lebih jauh dari mereka. Mereka sempat kebingungan sebentar, lalu ikut melaju. Tampaknya mereka benar-benar ingin menangkap kami.
Pikiranku berputar-putar mencari jalan keluar.
Tahun lalu, aku dan Indra pernah ke daerah ini untuk memancing. Seharusnya ada sebuah jalan kecil yang nyaris tidak terlihat dari jalan besar karena tertutup pepohonan lebat. Satu-satunya petunjuk keberadaan jalan itu adalah sebuah batu besar dengan coretan cat merah di atasnya.
Aku melihat ke kiri dan kanan untuk memastikan keberadaan batu tersebut. Namun, pinggiran jalan kosong melompong. Cuma ada pepohonan dan pagar bambu. Mungkinkah batu itu sudah dipindah? Atau malah terlewat?
Sekilas aku melihat bayangan batu besar yang mirip dengan ingatanku soal batu penanda jalan. Seandainya lampu sepeda motor ini belum aku perbaiki dua bulan lalu, aku pasti tidak akan melihat batu itu karena terlalu gelap.
Kuputuskan untuk mengambil risiko. Kumatikan lampu sorot, lalu kubelokkan sepeda motor tepat di samping batu tersebut. Dalam hati, aku cuma mengandalkan keberuntunganku saja semoga tanah yang kuinjak bukan lumpur atau lubang.
Roda sepeda motor menginjak jalan yang berkerikil. Mama memeluk pinggangku erat-erat. Aku bisa merasakan kedua teteknya berguncang di punggungku mengikuti guncangan sepeda motor.
Ah dugaanku benar. Ini memang jalan yang dulu pernah aku lalui dengan Indra. Aku ingat sensasi kerikil jalanan dan deretan pohon cempedak memang ditanam warga.
“Kita mau ke mana? Di sini gelap betul,” keluh Mama.
Aku menoleh ke belakang. Ketiga penguntitku sudah hilang, tapi aku masih bisa mendengar deru mesin sepeda motor mereka. Kelihatannya mereka tidak tahu jalan tersebut atau tidak tahu kalau aku masuk ke jalan itu.
Untuk sementara, kami aman dari mereka.
Kunyalakan lampu kembali. Mesin sepeda motor kupacu untuk menerobos jalanan berkerikil. Masih ada kemungkinan mereka mengikuti, jadi aku harus terus bergerak maju.
Jalanan itu mengarah ke kolam buatan yang dipakai warga untuk memelihara ikan. Kolam itu yang dulu menjadi tujuanku memancing bareng Indra. Tapi kali ini tujuanku bukan ke kolam itu, melainkan berjalan lurus terus sampai tembus ke jalan besar lainnya.
Di ujung jalan, permukaannya cukup menanjak sehingga aku harus menarik gas supaya sepeda motorku sanggup mendakinya. Tahu-tahu kami sudah berada di pinggir jalan yang sepi. Namun, kali ini ada banyak lampu jalan yang menyala di pinggiran jalan. Jalan kerikil sebelumnya tergantikan oleh jalan aspal. Jalan ini sepertinya tidak terhubung dengan jalan besar lainnya.
“Hah bebas juga dari mereka.” Aku menyeka keringat. “Mama aman?”
Kedua tangannya masih memeluk erat pinggangku. “Mama cuma gemetar sedikit. Mama udah siap-siap kalau jatuh.”
“Haus nih. Cari minum yuk.” Mesin sepeda motor kutancap lagi.
Jalanan itu sepi dan tidak ada warung yang buka. Pintu rumah-rumah di sekitar tertutup rapat. Barangkali karena sudah masuk magrib.
Setelah sepuluh menit berjalan tanpa hasil, aku melihat kerlap-kerlip cahaya di kejauhan. Semakin dekat, aku bisa melihat papan Indomaret terpampang jelas di depan sebuah bangunan yang lebih bagus dan kokoh daripada rumah-rumah di sekitarnya. Bangunannya juga tampak luas. Aku tidak menyangka bakal menemukan Indomaret sebagus itu di tempat sesepi ini.
Aku berhenti di parkiran Indomaret. Ada dua sepeda motor lainnya yang terparkir. Awalnya aku curiga apakah itu termasuk dua sepeda motor yang tadi mengikutiku, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata bentuknya berbeda.
“Nah, Mama belikan aku air mineral dingin dong,” kataku. “Mama terserah mau minum apa. Pakai uang Mama ya.”
Mama turun dari sepeda motor. Ia mengamati bangunan Indomaret itu dengan seksama. Tampaknya ia sedang menilai apa banyak orang di dalamnya atau tidak.
Kuberikan dompet Mama yang kusimpan di jok sepeda motor. Mama menjepit dompet itu di ketiaknya, lalu melangkah masuk melewati pintu kaca yang tergeser otomatis.
Bersambung…