Seluruh bagian depan toko Indomaret itu terbuat dari kaca sehingga aku bisa melihat semua kejadian di dalamnya. Tak lupa kamera smartphone kunyalakan untuk mendokumentasikan kejadian itu.
Aku tidak bisa mendengar suara dari dalam Indomaret, tapi aku bisa melihat ekspresi kedua pegawai Indomaret yang terkejut melihat Mama.
Mama mendekati kulkas berisi minuman dingin. Seorang pengunjung yang lagi memilih minuman juga kaget melihat Mama yang berdiri di sebelahnya. Wajahnya terpaku menatap ke tetek Mama.
Mama mengambil dua botol air mineral dari kulkas, lalu berjalan ke kasir. Pandangan pengunjung tersebut kini mengikuti bongkahan pantat telanjang Mama yang bergerak ke kiri dan kanan setiap kali Mama melangkah.
Petugas kasir Indomaret itu diam saja saat Mama menaruh dua botol air mineral ke atas meja kasir. Mama terlihat mencoba mengajaknya bicara, tapi petugas kasir itu masih termagu melihat Mama. Tatapan matanya bergerak bolak-balik dari tetek Mama, turun ke memek Mama, lalu naik lagi ke tetek Mama.
Tampaknya Mama kesal karena ucapannya tidak digubris, ia menggberak meja kasir dan petugas itu tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghitung dua botol air minum itu. Mama mengeluarkan uang dari dompet, kemudian membayarnya. Petugas kasir memasukkan dua botol tersebut ke kantong plastik, lalu memberikannya ke Mama.
Mama keluar dari Indomaret dengan wajah bersungut-sungut. Ia mengambil sebotol air, lalu memberikannya kepadaku.
Dahagaku langsung hilang seketika saat air dingin itu meluncur ke tenggorokanku. Air di botol itu kuhabiskan semua. Mama juga menghabiskan air minumnya dalam beberapa kali teguk. Aksi kejar-kejaran barusan memang menguras tenaga kami berdua.
“Gimana ekspresi mereka di dalam? Oke gak?” Kumasukkan botol airku yang sudah kosong ke kantong plastik di tangan Mama.
“Jelas mereka kagetlah ngelihat Mama begini.” Mama memandang tubuhnya yang telanjang.
“Mama masih malu gak?”
“Mama masih malu dong. Tapi jujur aja, ini gak separah waktu di sekolah tadi.”
“Bagus! Bagus! Berarti Mama ada perkembangan.” Aku bertepuk tangan. “Coba yang lebih seru lagi yuk. Kali ini aku ikut masuk deh biar bisa dengar apa yang mereka bicarain.”
“Kamu ada rencana apa?” tanya Mama. Wajahnya terlihat waspada.
Kudekatkan bibirku ke telinga Mama. Ia menarik napas panjang saat kujelaskan rencanaku.
“Kamu selalu saja ada ide-ide gila,” ujar Mama. “Coba kalau kamu pakai kepintaranmu itu buat sekolah, kamu pasti sudah lulus dari kemarin.”
Aku dan Mama melangkah masuk ke Indomaret.
“Selamat datang, selamat belanja di Indomaret,” sapa petugas Indomaret. Ia adalah petugas kasir yang melayani Mama barusan. Matanya melotot melihat Mama masuk lagi ke Indomaret.
Petugas Indomaret lainnya yang baru menyadari kedatangan Mama, langsung menghampiri Mama. “Ibu sebaiknya keluar sekarang. Gak enak dilihat pengunjung yang lain.”
“Saya ke sini mau beli. Begitukah cara pegawai Indomaret melayani pelanggan?” Suara Mama terdengar kesal.
“Kami melayani pelanggan, tapi Ibu harus berpakaian dulu.” Petugas Indomaret itu tidak mau kalah.
“Saya gerah dan gak bawa baju. Saya cuma sebentar aja kok dan gak nyusahin kalian.” Suara Mama semakin ketus.
Astaga Mama benar-benar mendalami perannya sebagai ibu-ibu yang galak. Aku berusaha setengah mati menahan tawa sambil merekam kejadian itu di smartphone yang kuselipkan di saku jaketku.
“Kalau Ibu gak bawa baju, Ibu mendingan pakai jaket saya saja.” Petugas Indomaret itu masuk ke dalam ruangan lain, kemudian keluar dengan membawa sebuah jaket parasut. “Nih, pakai ini. Baru kami akan melayani Ibu.”
“Saya gak mau pakai jaketmu yang bau itu. Saya cuma 5 menit di sini. Apa susahnya melayani saya sekarang?” Mama sampai menggebrak meja.
Petugas Indomaret itu mengibas-ibaskan tangannya. “Oke, tapi Ibu janji cuma sebentar. Silakan ambil barang yang Ibu mau.”
Aku menundukkan kepala saat melewati petugas Indomaret itu. Ia menatapku dengan pandangan curiga, lalu lanjut mengamati Mama.
Aku dan Mama sampai di rak buah dan sayuran. Petugas Indomaret itu tidak mengikuti kami, ia cuma mengawasi kami dari meja kasir bersama rekannya.
Di depan kami terhampar berbagai macam buah dan sayuran. Mama mengambil sebuah timun berukuran dua jari orang dewasa. “Mau yang mana? Yang ini?”
“Yang lebih besar lagi dong Ma.” Kuambil sebuah timun yang ukurannya dua kali lebih besar dari timun yang dipegang Mama. “Ini mantep nih!”
“Tapi itu gede banget.” Mama menimbang-nimbang timun itu dengan tangannya. “Bisa masuk gak ya?”
“Apa sih yang gak bisa masuk. Tiang listrik pun bisa masuk asal dipaksa. Udah jangan kelamaan mikir, masukin ini ke anus Mama.”
Mama menundukkan badan. Pantatnya ditunggingkan ke atas. Tangan kirinya memegang pinggiran belahan pantatnya supaya anusnya terbuka, sedangkan tangan kanannya mendorong timun itu masuk ke anusnya.
“Aduh gak bakal muat ini,” keluh Mama.
“Pasti bisa Ma. Mama cuma kurang dorong aja itu.”
Timun itu cuma masuk di ujungnya saja, lalu berhenti.
“Beneran gak bisa nih.” Suaranya terengah-engah.
“Sini aku bantu.” Sambil terus merekam, timun itu kuambil alih dari tangan Mama. Benar juga, timun itu macet di ujung. Kucoba untuk memutar-mutarnya sambil terus mendorong. Pelan tapi pasti, timun itu mulai bergerak maju.
“Aduh, aduh.” Mama mengerang kesakitan.
“Tahan ya Ma. Gak bakal masuk semuanya kok, palingan sampai setengah aja,” kataku.
Timun itu bergerak memutar seperti sekrup di anus Mama. Mama berpegangan di pinggir rak buah. Mulutnya terkatup. Anusnya berkedut-kedut seolah menolak timun itu.
Setelah bersusah payah, setengah timun itu akhirnya masuk ke anus Mama. Mama meraba-raba anusnya untuk memastikan tidak ada yang luka.
“Sekarang merangkak dari sini ke kasir. Minta petugas itu mencabut timun dari anus Mama.”
Mama mengangguk tanda mengerti. Ia menempelkan kedua telapak tangannya ke lantai. Dengkulnya ikut menempel di lantai. Mama pun merangkak menuju kasir.
“Eh copot!” seru seorang pengunjung yang tiba-tiba muncul dari rak sebelah. Barang-barang belanjaannya sampai jatuh. Ia tercengang melihat wanita yang telanjang bulat dan berbadan semok sedang merangkak di depannya.
Kedua petugas Indomaret yang berdiri di belakang meja kasir lebih tercengang lagi. Mereka cuma diam mematung sambil mengamati Mama yang mendekati mereka.
Sesampainya di meja kasir, Mama berbalik. Pantatnya mengarah ke kedua petugas Indomaret itu. “Saya mau beli ini. Bisa tolong dicabut?”
Petugas Indomaret yang tadinya galak, berubah pucat. “Ta-tapi Bu, kenapa harus ditancap di anus begitu?”
Mama tidak menggubrisnya. “Tolong dicabut dong.”
Kedua petugas Indomaret itu saling dorong.
“Kamu aja yang cabut. Kok serem bener ya Ibu ini.”
“Loh kamu tadi galak, sekarang diem begitu. Kamu aja deh, kan kamu lebih berani.”
Petugas Indomaret itu menggaruk-garuk kepalanya. Ia mendekati Mama. Tangannya bergerak hendak mencabut timun yang menancap di anus Mama. “Saya mohon habis ini Ibu pergi dari sini.”
Mama mengerang saat timun itu tercabut dari anusnya. Petugas Indomaret itu meletakkan timun tersebut ke atas meja kasir. Rekannya mengambil timun itu, lalu menimbangnya di mesin timbangan.
“Tidak usah dibayar biar mereka cepat pergi dari sini,” ujar petugas Indomaret galak itu. Wajahnya terlihat jijik setelah melihat lubang anus Mama yang menganga setelah timun itu tercabut.
Mama bangkit berdiri sambil mengibas-ibaskan tangan supaya terbebas dari debu. Meski ruangan Indomaret itu dingin karena AC, pantat Mama berkeringat dan berkedut-kedut. Ia mengambil timun itu, lalu cepat-cepat melangkah keluar. Aku buru-buru menyusulnya.
Sampai di luar, aku tidak kuasa menahan tawa.
“Mama lihat ekspresi mereka? Luar biasa!”
“Tapi pantat Mama sakit sekali.” Mama mengusap-usap pantatnya. “Semoga anus Mama gak robek.”
“Hari ini latihannya selesai. Kita pulang yuk. Udah capek banget nih.”
Kami melaju kembali di jalanan. Sekarang suasananya jauh lebih tenang karena tidak ada kendaraan yang lewat. Sebenarnya aku masih ingin melatih Mama, tapi badanku sudah pegal-pegal karena kurang istirahat.
Masih ada hari esok untuk melatih Mama.
Ruangan ini tampak asing saat aku membuka mata. Aku sedikit kebingungan apakah aku masih bermimpi atau sudah bangun. Namun, lama-lama aku menyadari kalau aku berada di kamar kedua orangtuaku.
Mama masih tidur di sebelahku. Tangannya masih memelukku erat seakan-akan aku adalah gulingnya. Ia tidak mengenakan pakaian sehelai pun, begitu pula aku.
Lima botol anggur merah tergeletak di atas meja rias Mama. Semuanya kosong. Jadi ini penyebab kepalaku terasa pening.
Kucoba untuk mengingat-ingat kejadian semalam.
Setelah keluar dari desa sebelah, aku mampir ke sebuah warung kecil untuk membeli minuman anggur merah. Tentu saja pakai uang Mama karena aku tidak membawa dompet. Si penjual minuman cuma melongok saja melihat Mama. Ia tidak mengenali kami karena hari sudah gelap dan kami mengenakan masker medis.
“Kok telanjang gitu ceweknya?” tanya si penjual minuman.
“Buat pemanasan sebelum ngentot,” jawabku sebelum naik ke sepeda motor. Si penjual mengomel karena ucapanku yang tidak sopan.
Kami melesat menuju rumah. Di sepanjang jalan, kami berjumpa beberapa kendaraan bermotor dan semuanya memaki-maki kami lewat klakson. Tapi mereka tidak ada yang mengejar kami sehingga kami bisa sampai ke rumah lebih cepat.
Beberapa meter sebelum sampai rumah, aku harus mematikan mesin sepeda motor supaya tetangga tidak menyadari kehadiran kami. Sepeda motorku meluncur dalam hening. Begitu sampai pagar rumah, Mama membuka pintu pagar dan bergegas masuk ke dalam rumah sebelum mengundang perhatian tetangga.
Sembari menunggu Mama selesai mandi, aku memutar semua rekaman-rekaman video yang ada di smartphone-ku. Jumlahnya ada dua puluh lebih karena aku harus mematikan kamera dan menyalakannya kembali supaya durasinya tetap pendek. Dengan video sebanyak ini, posisiku sudah jauh di atas angin. Aku yakin Mama tidak akan berani menentangku.
Mama keluar dari kamar mandi. Ia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Tubuhnya dibiarkan telanjang bulat.
“Wah Mama sudah gak malu lagi ya telanjang bulat di depanku,” kataku.
“Buat apa malu, toh kamu sudah sering lihat Mama telanjang,” sahut Mama.
“Mumpung Mama masih seger abis mandi, foto-foto dululah.” Kuarahkan kamera smartphone ke Mama. “Ayo Ma, pose yang seksi.”
“Mama gak tahu pose seksi,” ujar Mama.
“Kalau gitu coba Mama buka memek Mama.”
Mama membuka memeknya dengan jari-jari tangannya. “Begini?”
“Kurang lebar Ma. Sampai itil Mama kelihatan deh.”
Memeknya terbuka lebih lebar sampai gumpalan daging sebesar kacang menyembul keluar.
“Nah, begitu, bagus!” Kuambil beberapa foto. “Tersenyum dong Ma. Masa surem gitu mukanya.” Kuambil lagi beberapa foto. “Sekarang coba Mama isep pentil Mama sendiri.”
“Tetek Mama mana nyampe ke mulut.” Mama mengangkat teteknya dengan kedua tangan sampai mendekati wajahnya. Ia kaget sendiri ketika tahu kalau pentilnya berhasil menyentuh bibirnya.
“Mama gak bakal tahu kalau belum mencoba.” Kuambil lagi beberapa foto. “Isep pentilnya yang kenceng Ma, sampai kulitnya tertarik.
Mama menyedot pentilnya lebih kencang. Urat-urat di sekitar aerolanya sampai menonjol. Kameraku terus-terusan menangkap momen berharga itu.
Mendadak aku mendapat ide.
“Tunggu sebentar.” Aku pergi ke kamarku untuk mengambil spidol hitam besar. Kukocok spidol itu supaya tintanya merembes di ujung karena spidol itu jarang kupakai.
Di tetek Mama, kutulis besar-besar:
LONTE KAMPUNG
Lalu di bawah udelnya kutulis besar-besar pula:
NGENTOT GRATIS
“Nah begini keren.” Aku memuji karyaku. “Sekarang Mama rentangkan tangan, ya begitu, renggangkan kedua paha Mama juga, nah begitu. Siap ya.”
Kupotret lagi sampai belasan kali. Ah, kontolku membengkak melihat pose Mama yang begitu nakal. Ayah pasti tidak menyangka istrinya bisa senakal ini!
Selagi Mama bugil dan kontolku perlu asupan gizi, ini saat yang cocok buat ngentot.
Kutarik tangan Mama ke ruang tamu. Di belakang pintu ruang tamu terdapat dua sakelar lampu. Satu sakelar berfungsi untuk menyalakan dan mematikan lampu ruang tamu, sementara satunya lagi untuk menyalakan dan mematikan lampu teras depan rumah. Kumatikan lampu di teras depan rumah. Halaman depanku serta merta gelap gulita.
Kubuka pintu. Angin kencang berhembus masuk ke dalam ruang tamu. Kudorong Mama supaya keluar dari ruang tamu. Kami berdiri di teras depan rumah yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari rumah tetangga di sebelah. Ngocoks.com
“Nak, kalau tetangga lihat gimana dong?” Mama mengamati rumah di sebelah.
“Di sini gelap Ma. Dia gak bakal lihat kecuali dia ngecek ke sini. Yuk kita ke pagar rumah.”
Aku dan Mama mengambil sandal, lalu melangkah ke pagar besi yang membatasi halaman rumahku dengan jalan di depannya. Kusuruh Mama menungging sambil berpegangan di pagar besi tersebut. Ia langsung melakukan apa yang kuperintahkan.
“Mama yang baik memang harus menuruti permintaan anaknya tanpa melawan.” Kutampar pantatnya keras-keras. Suaranya membelah kesunyian sekitar. “Mama jangan berisik ya, kecuali Mama mau dilihat tetangga.”
Kubasahi batang kontolku dengan ludah. Memek Mama masih agak kering, jadi kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku untuk merangsang memeknya supaya basah.
“Huuuuh.” Mama mendesah saat kedua jariku menembus masuk ke memeknya.
“Lonte kayak Mama harus dikentot setiap hari,” kataku sambil mengarahkan kontolku ke lubang memeknya.
“Aduh! Pelan-pelan Nak!” Mama memekik begitu kontolku memenuhi lubang memeknya.
“Ini sudah pelan, Mama aja yang terlalu berisik.”
Memek Mama terasa hangat dan basah. Kugerakkan pinggulku maju dan mundur. Setiap gesekan di memeknya membuat pikiranku terbang tinggi entah ke mana. Memek Mama benar-benar membuatku candu.
Tangan Mama mencengkeram terali pagar besi kuat-kuat sampai pagar itu sedikit bergoyang setiap kali aku bergerak memompa memek Mama. Jika pagar itu usianya lebih tua, pastilah pagar itu bakal rubuh.
“Mmmmm memek lonte kayak punya Mama memang paling top.” Kutampar pantatnya sekeras mungkin. Pantat yang tadinya sudah pulih dari kejadian saat jalan santai, sekarang mulai memerah kembali.
Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Kupegang pinggang Mama, lalu kumajukan pinggangku semaksimal mungkin sampai kulit kami menempel. Walau angin cukup dingin, pantat Mama banyak berkeringat sehingga terasa licin.
Plek! Plek! Plek!
Kontolku terasa semakin membengkak beberapa inci di setiap gerakan. Memek Mama seolah-olah menyempit.
“Huh hah huh.” Desahan Mama menguat. Aku mencubit perutnya untuk mengingatkannya supaya lebih tenang.
“Mama mau keluar,” bisik Mama.
“Aku juga Ma,” kataku sambil terus memompanya.
Memek Mama bertambah sempit, mengikuti kontolku yang bertambah besar. Kupompa memek Mama lebih cepat. Ini dia saatnya!
Kontolku memuncratkan pejuh ke dalam memek Mama. Kutekan pinggangku dalam-dalam biar benihku tersalurkan semua ke rahimnya. Otot-otot memek Mama mengejang, seakan-akan menyedot habis seluruh pejuh yang tersisa di batang kontolku.
Kubiarkan kontolku menancap di memek Mama sampai sisa-sisa pejuh terakhir keluar. Setelah kurasa tidak ada lagi pejuh yang tersisa, kucabut kontolku yang berlumuran cairan memek Mama.
“Aih leganya.” Kugesek-gesek batang kontolku yang loyo ke pantat Mama supaya bersih dari pejuh yang menempel.
Mama melepas pegangannya di pagar. Wajahnya terlihat letih. “Mama capek banget. Mama mau tidur.”
“Loh ini masih babak pertama. Yuk kita lanjut di kamar.” kudorong Mama masuk ke ruang tamu.
Itulah kenangan terakhir yang kuingat malam itu. Setelahnya aku cuma mengingat minum-minum sampai mabuk sambil mengentot Mama lagi, lagi, dan lagi. Aku tidak ingat mengentotnya sampai berapa ronde. Samar-samar aku ingat kalau Mama pingsan di ronde terakhir.
Aku bangkit dari ranjang. Kubuka gorden. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar yang gelap.
Mama terbangun. Ia menutupi wajahnya yang silau terpapar sinar matahari.
“Selamat siang Ma,” kataku sambil tersenyum. “Sudah siap latihan lagi hari ini?”
Bersambung…