“Gimana kabar ibu dan anak di kampung sebelah kemarin?” tanyaku.
“Ibu dan anak yang mana ya?” Indra kebingungan.
“Yang katanya disuruh telanjang di jalan.”
Indra menjentikkan jari. “Oh yang itu. Aku dengar anaknya sudah beberapa kali menyuruh ibunya begitu.”
“Berarti mereka sudah lama melakukannya?”
“Mungkin ya, aku juga belum tahu.”
“Kamu tahu siapa nama mereka?”
Indra menggaruk dagunya. “Kalau gak salah nama ibunya itu Romlah. Kalau anaknya aku gak tahu.”
Nama itu kuingat baik-baik.
“Kenapa kau tertarik sama gosip itu? Pengen lihat Romlah telanjang?” tanya Indra. Nadanya mengejek.
“Tergantung apa dia semok atau nggak.”
“Katanya sih semok. Teteknya gede juga. Aku belum lihat langsung, tapi gosipnya segede pepaya,” jelas Indra.
Berarti tetek Romlah sama seperti Mama, pikirku.
“Terus mereka dipulangkan begitu saja?”
Indra menghela napas. “Katanya begitu. Kalau Romlah telanjang di kota, pasti mereka sudah viral. Tapi karena di desa, jadi ya aman-aman saja.”
Benar juga, pikirku. Desa sebelah memang lebih sepi daripada desaku. Setidaknya kabar ini cuma tertahan di desa, tidak menyebar di internet.
“Omong-omong kata tetanggaku dia punya rekaman waktu Romlah dan anaknya ketangkap,” kata Indra.
“Kamu punya rekamannya juga?”
Indra menggeleng. “Belum aku minta. Kalau ada, nanti aku kasih tahu kamu.”
Kulihat Mama sedang mengobrol dengan beberapa guru di depan kantor.
“Oh iya, apa sih sebutannya hubungan sedarah?” tanyaku.
“Hubungan sedarah? Incest maksudmu?”
“Oh itu sebutannya.” Kuingat-ingat nama itu.
“Makanya sering-sering nonton bokep biar tahu,” kata Indra.
“Aku curiga anak itu sudah mengentot ibunya,” kataku.
Indra mengangguk. “Kalau dia bisa menyuruh ibunya melakukan apa yang dia mau, pasti dia juga menyuruh ibunya supaya mau dikentot.”
Aku setuju dengannya. Seandainya aku jadi anak itu, aku pasti sudah mengentot ibunya. Tapi aku penasaran bagaimana anak itu bisa membuat ibunya patuh seperti itu.
Kuputuskan sepulang sekolah nanti aku harus mengorek informasi si Romlah ini. Kasus incest ini benar-benar menarik perhatianku. Apalagi bisa dibilang anak itu berhasil memperbudak ibunya.
Bel sekolah berbunyi. Kami masuk kelas seperti biasa.
Ketika pulang sekolah, aku minta izin ke Mama untuk pergi duluan.
“Mau ke mana?” tanya Mama.
“Mau nongkrong sama anak-anak,” kataku. “Palingan sore nanti baru pulang.”
“Gak makan siang dulu?”
“Nanti sekalian makan siang bareng mereka.”
“Ya sudah, hati-hati di jalan dan jangan kesorean,” kata Mama.
Aku keluar dari kantor Mama dan langsung menghampiri Indra yang baru naik ke sepeda motornya.
“Minta tolong anterin aku pulang dong,” kataku.
“Tumben gak sama ibumu?” tanya Indra.
“Gak dulu deh. Lagi sibuk bener dia,” jawabku.
Indra mengantarku sampai ke rumah. Begitu sampai di rumah, aku langsung mengganti pakaian. Setelah itu kubuka garasi mobil, lalu kukeluarkan sepeda motorku. Mesinnya kupanaskan sebentar, kemudian aku melaju ke desa sebelah.
Jarak ke desa sebelah cukup dekat, mungkin sekitar lima kilometer. Jalanannya lebih sepi dan beberapa bagian belum diaspal. Aku harus sedikit hati-hati karena ada jalan yang berlubang.
Aku berhenti di depan sebuah warung kecil. Seorang pria tua melongok waktu aku mengentuk pintunya.
“Mau beli apa?” tanya pria tua itu.
“Maaf, saya gak mau beli. Saya mau tanya alamat rumah,” kataku.
“Rumah siapa ya?”
“Rumah Ibu Romlah,” jawabku cepat.
Pria tua itu menggaruk pipinya. “Ada banyak yang namanya Romlah di sini.”
“Romlah yang kemarin ketahuan telanjang di jalan.”
“Oh Romlah yang itu.” Pria tua itu memicingkan mata ke arahku. “Tapi kamu ada urusan apa ya?”
“Sa-saya wartawan lepas,” jawabku berbohong.
“Wartawan? Semuda kamu?”
“Saya memang masih sekolah sekaligus berlatih jadi wartawan,” kataku.
“Berarti berita itu sudah kesebar,” gumam pria tua itu. “Rumahnya masih jauh dari sini. Kamu lurus saja ikuti jalan ini, nanti kamu ketemu gapura merah. Masuk ke gapura, terus belok kanan di belokan pertama. Terus lagi sampai kamu lihat rumah tembok dicat putih. Itu dia rumahnya.”
Aku mengucap terima kasih, kemudian melanjutkan perjalanan.
Perjalanan jadi semakin sulit karena jalannya semakin sempit dan berbatu. Aku harus memelankan kendaraan dan melihat jalan dengan lebih teliti. Beberapa kali aku tersandung batu besar, tapi aku berhasil menyeimbangkan sepeda motor supaya tidak jatuh.
Setelah perjalanan panjang, aku tiba di rumah putih seperti yang disebut pria tua tadi. Rumah-rumah di sekitar dicat warna-warni dan cuma rumah itu yang dicat putih. Aku yakin sudah di jalur yang tepat.
Kuparkir sepeda motor agak jauh dan tertutup semak-semak tinggi. Rumah itu terlihat sepi. Pintu dan jendelanya tertutup. Kalau saja rumput-rumput di halaman depannya tidak terpotong rapi, siapa pun pasti mengira rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Seorang anak seumuran denganku keluar dari rumah. Tubuh anak itu kurus dan pendek. Dia terlihat seperti remaja biasa. Anak itu menundukkan badan di pipa air yang menempel di dinding rumah, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Mungkinkah dia anak yang menyuruh ibunya telanjang di jalan?
Aku mengamati rumah itu selama setengah jam. Untungnya aku bisa melihat lebih leluasa karena ada semak-semak yang menutupiku. Anak itu tidak akan bisa melihatku dari sana.
Tak lama kemudian ada seorang wanita yang mengenakan gamis dan jilbab lewat di samping rumah. Meski wanita itu memakai gamis, aku bisa menebak kalau tubuhnya gemuk seperti Mama. Wajah wanita itu terlihat murung dan langkahnya pelan seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Wanita itu masuk ke halaman rumah, lalu mengetuk pintu. Pintu terbuka, rupanya anak tadi yang membuka pintu. Wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Pintu ditutup lagi.
Aku memikirkan cara bagaimana bisa bertanya ke anak itu. Haruskah aku bertanya terus terang?
Kuputuskan untuk mendatangi rumah itu. Aku sudah bersusah payah sampai di sini dan aku tidak mau perjalanan ini sia-sia.
Kuketuk pintu rumah itu. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Terdengar suara wanita dari dalam. Pintu terbuka dan wanita bergamis tadi berdiri di balik pintu. “Siapa ya?”
“Saya temannya Tole,” jawabku.
“Tole siapa ya?” Wanita itu kebingungan.
“Maaf Bu, saya keseringan manggil anaknya ibu pakai Tole. Saya sampai lupa namanya.”
“Oh temennya Bagas. Sebentar.” Wanita itu menghilang di belakang ruang tamu. Tampaknya ia sedang memanggil anaknya.
Anak laki-laki bernama Bagas tadi muncul, tapi wanita itu tidak mengikutinya. Wajahnya sama kebingungan seperti wanita itu.
“Siapa ya?” tanya Bagas.
Aku menjulurkan tangan. “Maaf sudah membohongi ibumu. Aku Ehsan. Aku ke sini karena kabar soal ibumu.”
Alis Bagas terangkat. “Kabar apa?”
Aku berdehem. “Kabar kalau ibumu ketahuan telanjang di jalan.”
Raut wajah Bagas berubah. Aku kira dia bakal marah, ternyata dia malah tersenyum. “Wah kabarnya sudah menyebar ya.”
“Tapi gak masuk internet,” kataku menambahkan.
“Terus apa alasanmu ke sini?” tanya Bagas.
“Aku juga menyukai ibuku. Kita punya kesukaan yang sama,” kataku.
Senyum Bagas semakin melebar.
“Coba ceritakan soal ibumu.”
Kami duduk di bawah pohon mangga berdaun rimbun di dekat rumah Bagas. Seekor kerbau sedang melamun di tengah sawah yang belum ditanami.
“Aku sering mengajak ibuku jalan-jalan di sini,” kata Bagas. “Sambil telanjang. Tentu saja.”
“Gimana caranya ibumu patuh sama kamu?” tanyaku.
“Eits itu nanti dulu,” kata Bagas. “Ceritakan dulu soal ibumu, baru aku cerita soal ibuku.”
“Awalnya aku gak pernah nafsu sama ibuku, tapi beberapa hari ini rasanya beda,” kataku. “Ini semua sejak aku mendengar gosip soal ibumu.”
Bagas tersenyum. “Mungkin kamu baru mendapat ide dari gosip itu.”
“Mungkin. Pokoknya setelah itu aku jadi tertarik melihat tubuh ibuku.”
“Lalu kamu sudah ngapain saja sama ibumu?” tanya Bagas.
“Kemarin aku pelorotin sempaknya waktu dia tidur siang. Wah, tegang sekali!”
“Oh baru ngintip pantatnya diam-diam.” Bagas mengangguk-angguk.
“Jangan bandingkan aku dengan kau,” kataku.
“Yah memang sih, semua dimulai dari hal-hal kecil dulu,” kata Bagas. “Boleh lihat foto ibumu?”
Kuperlihatkan foto Mama. Bagas terkekeh. “Wah badan ibumu oke bener. Pantes kamu jadi nafsu.”
“Mantep ‘kan? Jadi gimana dong supaya ibuku jadi nurut kayak ibumu?”
“Kayaknya ibumu PNS ya?”
Aku mengangguk. “Dia kepala sekolah di sekolahku.”
“Agak repot juga kalau dia dikenal banyak orang. Bedanya sama ibuku, ibuku cuma dikenal tetangga. Jadi gak masalah kalau kami ketahuan. Kalau kamu berhasil bikin ibumu nurut, ini bakal viral dan kalian bisa dikejar polisi.”
Anak ini pintar juga, pikirku.
“Tapi kita sama-sama di desa. Cuma sedikit yang pakai hape canggih. Jadi aku yakin gak bakal viral,” kataku.
“Iya sih, aku cuma mikirin risikonya,” kata Bagas.
“Aku sudah kasih info soal ibuku, sekarang bantu aku bikin dia nurut,” kataku.
Bagas menghela napas. “Sebenarnya caranya sederhana saja.”
“Apa itu?”
“Kamu harus bisa mengancam ibumu,” jawab Bagas.
“Caranya?” Aku semakin penasaran.
“Caranya ada banyak. Kamu bisa ancam bakal sebarin foto bugilnya, bisa sebarin info kalau dia selingkuh, atau banyak lagi. Kamu tinggal pilih yang kamu bisa.”
“Aku ada foto sempaknya,” kataku sambil menunjukkan foto saat aku dan Mama makan di warung soto.
“Ini kurang mengancam. Kamu harus bisa memotretnya telanjang, berikut wajahnya juga.”
“Wah sulit juga.”
“Dulu aku sudah bisa mengancam ibuku pakai foto pantatnya, tapi itu untung-untungan karena ibuku memang penakut. Kalau aku lihat, ibumu jauh lebih pemberani.”
Aku berpikir keras. Bagaimana caranya aku bisa memotret Mama telanjang?
“Ah aku dapat ide!” seru Bagas.
“Ide apa?”
“Ini ide bagus sekali. Aku baru kepikiran dari film-film JAV yang aku tonton.”
“Coba jelasin.” Aku jadi bersemangat.
“Aku pernah nonton film JAV yang mana ada sekelompok cowok menculik cewek yang lagi jalan, terus ceweknya ditelanjangi. Nah, kamu bisa pakai cara itu ke ibumu.”
“Menculik ibuku sendiri? Gila!”
“Risiko gede, hasilnya gede juga,” kata Bagas. “Apa ibumu sering keluar rumah?”
“Jarang sih. Kehidupannya cuma di kantor dan rumah saja.”
“Apa kalian ada rencana keluar berdua?”
“Gak ada deh, tapi-eh, aku ada ide!”
Bagas kaget melihatku mendadak bersemangat.
“Kalau gak salah, sekitar bulan depan bakal ada jalan santai.” Aku mulai menjelaskan. “Biasanya Mama jalan di barisan paling belakang. Itu bisa jadi kesempatanku buat menculiknya.”
“Nah, bener juga. Cuma kamu yang tahu kebiasaan ibumu.”
“Terus habis kuculik, ibuku diapain?”
Bagas menepuk jidat. “Aduh, kamu belum paham. Kamu telanjangi dia, terus kamu foto. Itu bisa kamu pakai buat mengancam ibumu.”
“Oh begitu.” Aku mengangguk paham. Memang terdengar sederhana di atas kertas, tapi praktiknya pasti luar biasa susah!
“Tapi ini berbahaya. Gak usah dilakuin kalau kamu takut,” kata Bagas.
“Jujur saja, memang menakutkan. Tapi aku ingin punya ibu yang menurut seperti ibumu.”
Kerbau di kejauhan mengangguk seolah setuju.
“Kalau berhasil, kujamin kau pasti ketagihan,” kata Bagas.
Pikiranku sudah terbang membayangkan bisa menyuruh Mama telanjang semauku. Membayangkannya saja sudah bikin kontolku tegang.
“Gimana bapakmu waktu tahu hubunganmu sama ibumu?” tanyaku.
“Minggat,” jawabnya singkat. Dia merenung sebentar, lalu melanjutkan. “Yang pasti dia malu. Tapi baguslah, aku jadi lebih bebas menyuruh Mama.”
Bu Romlah keluar dari pintu belakang sambil membawa keranjang pakaian. Tampaknya dia mau menjemur pakaian.
“Mama! Ke sini dong!” seru Bagas.
Wanita itu menurunkan keranjang pakaiannya, lalu berjalan mendekati kami.
“Ada apa, Nak?”
“Kasih lihat tetek Mama ke temanku ini,” kata Bagas. Suaranya terdengar santai, seperti mengobrol biasa.
Aku terkejut melihat Bu Romlah yang langsung membuka kancing atas gamisnya, lalu mengeluarkan salah satu teteknya. Wajah Bu Romlah terlihat risih.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat tetek wanita secara langsung. Tetek Bu Romlah mungkin sama ukurannya dengan tetek Mama. Pentilnya cokelat tua dan urat-urat kecil menjalar di sekitar pentilnya.
Kontolku rasanya mau meledak!
“Asik ‘kan punya ibu yang bisa disuruh-suruh begini?” kata Bagas sambil memuntir-muntir pentil ibunya.
Aku menelan ludah melihat pentil Bu Romlah yang semakin mengacung.
“Mau coba pegang? Buat pemanasan sebelum kamu coba ke ibumu sendiri,” kata Bagas. Ia mendorong ibunya supaya mendekatiku.
Pentil Bu Romlah cuma beberapa senti dari wajahku. Aku langsung melahap pentilnya. Rasanya asin dan beraroma sabun mandi.
“Wah beringas juga kau,” kata Bagas sambil tertawa.
Sambil mengenyot pentilnya, kulirik wajah Bu Romlah. Wanita itu meringis kesakitan. Mungkin aku mengenyot terlalu keras. Ngocoks.com
“Uuuhhh…” erang Bu Romlah.
Kumasukkan tanganku ke dalam kerah gamisnya. Kuremas teteknya yang masih di dalam gamis, lalu kukeluarkan. Wajahku kini dijepit kedua teteknya.
Kuturunkan kepalaku sampai ke perutnya. Meski tertutup gamis, hidungku menyentuh lekukan udelnya.
“Wah jago juga ya kamu,” kata Bagas. Anak itu sepertinya senang melihat ibunya digerayangi orang lain.
Kuraih bagian bawah gamis Bu Romlah, lalu kunaikkan sampai melewati perutnya. Rupanya Bu Romlah tidak memakai sempak. Berbeda dengan memek Mama yang ditumbuhi jembut panjang sampai ke belahan pantat, jembut Bu Romlah pendek seperti dipotong beberapa hari yang lalu.
Lidahku kini menyasar ke memek Bu Romlah. Pahanya menegang saat ujung lidahku menyentuh bibir memeknya. Memeknya beraroma keringat dan sedikit pesing. Aku jadi teringat saat aku mengendus pantat Mama kemarin.
Bibir memek Bu Romlah sedikit terbuka, mungkin karena sering dipakai Bagas. Aku curiga anak itu tidak cuma memasukkan kontol ke memek ibunya, tapi juga benda lain yang lebih besar. Bibir memek itu kubuka dengan jari, lalu bagian dalamnya kujilat. Lidahku menyentuh semacam cairan bening. Kujilat terus memeknya sambil berharap cairan itu tersapu bersih, tapi cairan itu terus mengalir dan keluar semakin banyak.
Paha Bu Romlah semakin menegang. Tiba-tiba saja cairan bening itu menghambur keluar seperti tanggul sungai bocor. Mulutku sampai belepotan dipenuhi cairan memek Bu Romlah.
“Sudah cukup,” kata Bagas. Ia menarik badan ibunya dan meninggalkan lidahku yang masih menjulur. Aku mengelap mulutku supaya bersih dari cairan memek.
“Wow!” Aku takjub dengan kegiatan barusan.
“Selanjutnya silakan sama ibumu sendiri,” kata Bagas. Ia mengelus memek ibunya.
“Oke kalau begitu. Thanks atas sarannya,” kataku sambil bangkit dari tempat duduk. “Kau gak keberatan kalau aku ke sini buat konsultasi?”
“Datang saja kalau kau ada perlu. Aku malah senang karena punya teman sepemikiran,” kata Bagas.
Aku pamit pulang. Bagas melambaikan tangan, sementara tangan satunya masih mengelus memek ibunya.
Di sepanjang jalan, jantungku berdegup keras karena membayangkan apa yang akan aku lakukan ke Mama. Rasanya tidak sabar menjalankan rencana ini.
Bersambung…