Hari ini aku membolos bersama Mama karena kesiangan. Smartphone Mama terus berbunyi dan dipenuhi pesan dari guru lain yang bertanya soal keadaan Mama. Mama bilang ke mereka kalau hari ini ia tidak masuk kerja karena lagi demam.
Untuk makan siang, Mama menggoreng telur dadar dan menumis kangkung. Aku menemaninya sambil bermain Mobile Legend. Kami sama-sama masih telanjang bulat. Sesekali aku menampar pantat atau memuntir pentilnya setiap kali Mama lewat di sebelahku.
“Nak, jangan main game melulu. Kamu harus banyakin belajar supaya bisa lulus tahun ini.” Bahkan dalam keadaan menjadi budak, Mama masih saja menasihatiku.
“Aku pasti lulus Ma. Nanti Mama yang bantuin aku lulus,” jawabku tanpa menoleh. Permainan lagi seru-serunya dan aku tidak mau terganggu oleh ocehan Mama.
“Kalau kamu lulus dengan nilai bagus, nanti kamu bisa kuliah di kampus yang bagus pula.” Mama menuang tumis kangkung yang sudah matang ke mangkok. “Kamu harus mikirin masa depanmu dari sekarang. Kerjalah jadi orang yang lebih sukses dari Ayah dan Mama. Jangan terlalu nyaman di sini.”
Permainan sudah berakhir. Kutaruh smartphone ke atas meja, lalu kudekati Mama. Kupeluk ia dari belakang dan kuciumi lehernya. “Tapi aku sudah nyaman di sini. Apalagi ada lonte kayak Mama. Di luar sana gak ada cewek seseksi Mama.”
Kuraba-raba memek Mama yang berjembut kasar. “Ini nih yang bikin aku semakin nyaman di rumah.”
Mama tetap melakukan kegiatannya sambil terus kupeluk. Ia mengaduk nasi yang sudah tanak dengan centong, lalu menaruhnya ke piringku dan piringnya. “Kita makan dulu, baru mikirin yang lain.”
“Ma, coliin aku dulu dong,” pintaku.
“Kamu masih kuat? Semalam kamu keluar banyak sekali.”
“Pejuhku selalu ada kalau buat Mama.” Kukocok kontolku yang mengeras. “Nih lihat. Masih keras ‘kan?”
Mama berjongkok dan menggenggam batang kontolku, kemudian mengocoknya. Istirahat yang cukup membuat staminanya pulih kembali. Genggaman tangannya jadi menguat.
“Uh enak banget Ma.” Kuelus rambutnya. “Ayah pasti gak pernah minta yang aneh-aneh ke Mama kayak gini.”
“Ayahmu itu orang baik. Dia gak segila kau.” Kocokannya semakin cepat.
“Ma, taruh piring Mama di bawah kontolku. Tapi jangan terlalu dekat.”
Mama menatapku bingung. “Hah? Buat apa?”
“Udah deh lakuin aja.”
Sambil terus mengocok kontolku, Mama mengambil piringnya yang sudah berisi nasi, lalu menaruhnya beberapa jengkal di bawah kontolku.
Pejuhku muncrat di atas nasi. Mama terus mengocok kontolku sampai tidak ada pejuh tersisa.
“Nah itu makan siang Mama. Nasi pejuh.”
Mama memandang nasi berlumur pejuhku. “Ma-mama harus makan ini?”
“Iya, protein tambahan biar Mama kuat dan sehat. Yuk makan. Aku udah lapar banget.”
Kami duduk saling berdekatan di meja makan. Tangan kananku menyuap makanan ke mulut, sedangkan tangan kiriku meremas-remas tetek. Aku makan dengan lahap karena perutku sudah keroncongan. Mama memandangi nasi pejuh di depannya. Wajahnya terlihat jijik.
“Ayo dimakan Ma! Mama kemarin udah banyak nelan pejuh, seharusnya ini gak masalah,” bentakku.
Mama menyendok nasi pejuh itu, memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya pelan-pelan.
“Gimana? Enak ‘kan?”
Mama menggeleng. “Rasanya aneh. Mama mau muntah.”
“Jangan dimuntahin. Mama harus telen.”
Meski mual, Mama tetap menghabiskan nasi pejuh itu. Ia menaruh piring-piring kotor ke wastafel untuk dicuci.
Aku baru saja mau menggoda Mama lagi ketika terdengar suara pintu ruang tamu diketuk seseorang.
“Tolong bukain pintu dong,” pinta Mama. Kedua tangannya dipenuhi busa sabun cuci piring.
“Mama ajalah, aku lagi telanjang gini.”
Mama mendengus kesal. “Kalau gitu kamu yang nyuci piring. Mama mau pakai baju dulu.”
“Eits, siapa yang nyuruh Mama pakai baju?”
“Tapi kalau itu sodara kita gimana?”
Aku mengangkat bahu. “Yah bodo amat. Pelan-pelan kita kasih tahu kalau Mama sebenernya nakal.”
Pintu diketuk lagi. Mama mengelap tangannya dengan kain, lalu bergegas ke ruang tamu. Aku mengikutinya untuk melihat apa yang akan terjadi.
Sebelum membuka pintu, Mama mengintip dari balik gorden. “Aduh, itu si Sarudin. Mau ngapain dia ke sini?”
Sarudin adalah anak laki-laki dari adiknya Mama, jadi dia adalah sepupuku. Usianya jauh lebih muda dariku. Biasanya dia datang untuk memberitahu sesuatu atau sekadar membawa bingkisan.
“Tanyain dong Ma, dia ada keperluan apa kemari,” kataku sambil bersembunyi di balik dinding yang membatasi dapur dengan ruang tamu. “Dia udah beberapa kali nginep di rumah dan udah biasa lihat Mama bolak-balik pakai handuk.”
“Tapi itukan Mama pakai handuk, gak telanjang bulat kayak gini.” Mama mengintip lagi. “Aduh, apa kita pura-pura gak ada di rumah aja ya?”
“Mama gimana sih? Aku ‘kan tadi bilang Mama harus buka pintu?”
Mama memegang gagang pintu. Aku mendengarnya menghela napas panjang, lalu membuka pintu.
“Assalamualikum!” Sarudin menyapa begitu pintu terbuka. Wajahnya dari yang ceria seketika berubah jadi kaget. “Loh Bude kok telanjang? Habis mandi ya?”
“Iya, Bude baru selesai mandi. Masuk dulu biar gak kena panas di luar. Bude mau pakai baju dulu.”
Sarudin duduk di sofa ruang tamu. Mama mendekatiku yang mengintip dari dapur. “Abis ini gimana dong?”
“Meski Mama bilang mau pakai baju, awas aja kalau Mama pakai baju.”
Aku mendapat ide. Kubisikkan ide itu ke Mama. Mama menatapku. “Kamu serius?”
“Seriusan Ma. Dia masih perjaka loh.”
“Tapi dia saudara kita.”
“Aku tadi ‘kan sudah bilang kalau pelan-pelan mau tunjukin kenakalan Mama ke mereka. Nah sekarang tanya dia ada keperluan ke sini.” Kudorong Mama supaya keluar dari dapur.
Mama mendekati Sarudin yang menunggu di ruang tamu.
“Bude katanya mau pakai baju dulu?” Anak itu melotot melihat Mama yang masih telanjang bulat.
“Bude baru sadar kalau pakaian Bude lagi dicuci semua.” Mama duduk di sebelah anak itu. “Omong-omong kamu ada keperluan apa?”
Sarudin menggeser duduknya menjauh dari Mama. Wajahnya terlihat bingung, tapi matanya terpaku menatap tetek Mama. “Ibu minta tolong Bude buat bantuin masak-masak di rumah. Si Alif tadi pagi sunatan.”
Mama menepuk jidatnya. “Astagfirulloh, Bude lupa kalau Alif hari ini sunatan! Ya sudah nanti Bude ke rumahmu.”
Dari balik dinding, aku susah payah menahan tawa melihat celana Sarudin yang menonjol. Anak itu pasti sudah mengerti keindahan tubuh wanita. Matanya terus bergerak memandangi tetek Mama, lalu turun ke memek Mama, dan berhenti di situ. Aku yakin ini pertama kalinya dia melihat memek secara langsung.
“Kamu mau minum es?” tawar Mama.
“Gak usah repot-repot Bude. Aku cuma mau kasih tahu kabar itu doang. Ini aku mau balik,” jawab Sarudin.
Mama menempelkan teteknya ke pundak anak itu. “Di luar panas. kamu santai-santai aja di sini.”
“Oke deh kalau begitu.” Bibir Sarudin tersenyum tipis.
Mama berlari ke dapur. Ia mengambil sebuah gelas dan sebotol air minum dingin dari kulkas, lalu balik lagi ke ruang tamu. “Nih diminum dulu air dinginnya? Atau kamu mau es sirup?”
“Ini sudah cukup kok Bude.”
Mama menaruh gelas dan botol air itu ke meja di depan sofa. Ia membelakangi Sarudin. Pantatnya ditunggingkan. Anak itu terbelalak melihat pantat Mama yang cuma beberapa sentimeter dari wajahnya.
“Bude tuangin sekalian ya,” kata Mama sambil menuang air dingin ke gelas.
“Bo-boleh Bude.” Sarudin tergagap.
Selesai menuang air, Mama duduk di sebelah Sarudin lagi. “Kamu kenapa panik gitu wajahnya?”
“Abisnya ngelihat Bude telanjang gini,” jawab Sarudin polos.
“Bukannya kamu udah sering ngelihat Bude begini?” Mama memajukan kedua bongkahan teteknya. Anak itu tampaknya panas dingin melihat kedua tetek Mama.
“Eh apa ini?” Mama terkejut melihat celana Sarudin yang menonjol.
Anak itu segera menutup tonjolan di celananya dengan tangan. Ia bergegas bangkit. “Mendingan aku pulang deh. Ditunggu Ibu di rumah.”
Mama menahan Sarudin. “Pulang nanti saja. Temenin Bude dulu di sini, abisnya sepi bener gak ada orang. Mendingan kita main-main dulu.”
“Eh Bude mau main apa? Memangnya Bude beli Playstation?” Suara anak itu terdengar semangat. Ia mengamati televisi di ruang tamu. Wajahnya seketika kecewa karena tidak melihat Playstation di rak televisi. “Tapi gak ada Playstation di sini.”
“Kita main yang lain.”
“Main apa Bude? Kelereng? Layangan?”
“Kita main kuat-kuatan tahan napas.”
“Tahan napas di dalam air?” Sarudin masih bingung.
“Bude dudukin wajah kamu. Kita lihat seberapa kuat kamu menahan napas,” jelas Mama.
“Hah? Bude dudukin wajahku?” Sarudin menatap bagian bawah tubuh Mama. “Bisa patah leherku kalau didudukin pantat segede punya Bude.”
“Bude atur tenaga biar gak matahin leher kamu,” kata Mama kesal karena Sarudin secara tidak langsung menyebutnya gendut. “Nanti kamu juga boleh dudukin wajah Bude. Kita kuat-kuatan menahan napas.”
“Permainannya aneh sih, terus yang menang dapat apa?” Sarudin mulai tertarik.
“Kalau kamu menang, nanti Bude kasih hadiah rahasia. Kalau Bude yang menang, nanti Bude minta sesuatu dari kamu.” Mama meengedipkan mata.
“Oke kalau gitu.” Sarudin setuju. “Siapa yang mau didudukin duluan?”
“Kita suit aja. Yang menang harus dudukin wajah yang kalah,” usul Mama.
Mereka bermain suit. Mama mengeluarkan jari telunjuk. Sarudin terkekeh karena mengeluarkan jari jempol.
“Nah, aku dudukin wajah Bude duluan,” ujarnya penuh kemenangan.
Mama tidur terlentang di sofa panjang. Ia menutup mata. “Bilang kalau kamu mau dudukin wajah Bude biar Bude siap-siap.”
Mula-mula Sarudin terlihat ragu-ragu. Ia cuma berdiri mematung menatap Mama yang terlentang telanjang di depannya. Namun, dia mulai merangkak menaiki sofa, lalu berjongkok di atas Mama.
“Mau aku dudukin nih. Bude siap-siap ya,” ujar anak itu.
Entah dia dapat ide darimana, tahu-tahu Sarudin menurunkan celana. Sesuai tebakanku, kontol Sarudin sudah mengeras, siap menyiram benih kesuburan ke siapa saja yang menerimanya.
Mama tersentak kaget saat selangkangan telanjang Sarudin menimpa wajahnya. Kedua tangan Mama refleks memegang pinggang Sarudin.
“Hmmph!” Suara Mama tertahan karena kaget.
“Inget loh Bude harus menahan napas. Aku hitung ya.” Anak itu mulai menghitung dengan jarinya. “Satu… dua… tiga… empat… lima….”
Kedua tangan Mama semakin erat memegang pinggang Sarudin.
“Sepuluh… sebelas… dua belas….”
Aku jadi ikut penasaran siapa yang bakal menang.
“Dua puluh… dua puluh satu… dua puluh dua….”
Kaki Mama bergerak-gerak. Ia mendorong badan Sarudin sampai tergeser dari wajahnya. Begitu hidungnya bebas, Mama menghela napas panjang. “Huaaaaah! Bude gak bisa napas!”
“Bude cuma tahan napas dua puluh detik,” ujar Sarudin.
“Jangan bohong kamu. Bude denger tadi dua puluh dua.”
“Dua puluh.”
“Dua puluh dua.”
“Dua puluh.” Sarudin bersikeras.
“Ya sudah deh, dua puluh lima.” Mama mengalah.
“Sekarang gantian Bude yang dudukin wajahku.” Anak itu bersemangat. Sebelum merebahkan diri, ia melepas celananya yang masih menyangkut di kedua pergelangan kakinya.
“Seharusnya gak usah sampai lepas celana sih,” ujar Mama sambil menatap ke kontol Sarudin yang ukurannya lebih kecil dari kontolku. Meski begitu, kepala kontol itu sudah memerah seakan-akan siap menyembur kapan saja.
“Biar adil. Soalnya Bude gak pakai celana.”
Mama menggeser duduknya supaya Sarudin bisa tidur terlentang di sofa.
“Udah siap?” tanya Mama.
“Siap!”
Mama duduk melangkahi wajah Sarudin dan duduk setengah jongkok menghadap ke kontol Sarudin. Lucunya, anak itu tidak memejamkan mata seperti Mama. Justru ia menatap pemandangan indah di depannya dengan gagah berani.
Mama menurunkan pantat besarnya pelan-pelan. Wajah Sarudin seolah ditelan pantat Mama dan cuma menyisakan keningnya saja.
“Cubit pantat Bude kalau kamu sudah gak tahan,” kata Mama. Sarudin mengacungkan jempol tanda mengerti.
“Satu… dua… tiga… empat… lima… enam….” Mama mulai menghitung.
Kedua tangan Sarudin mengelus-elus pantat Mama. Pikirannya pasti sudah terbang ke surga sekarang.
“Sepuluh… sebelas… dua belas… tiga belas… empat belas….”
Mendekati hitungan kedua puluh, Sarudin belum menunjukkan tanda-tanda mau menyerah. Ia masih santai mengelus pantat Mama.
“Dua puluh dua… dua puluh tiga… dua puluh empat… dua puluh lima….”
Tangan Sarudin mencengkeram pantat Mama. Ia sudah mengalahkan Mama, tapi tampaknya ia masih ingin menikmati momen itu lebih lama. Ngocoks.com
“Tiga puluh satu… tiga puluh dua… tiga puluh tiga… tiga puluh empat….” Mama menoleh ke bawah untuk memastikan anak itu baik-baik saja. “Masih mau lanjut nih?”
Sarudin mengacungkan jempol. Mama pun melanjutkan hitungannya. “Empat puluh dua… empat puluh tiga… empat puluh empat….”
Sudah hampir satu menit dan kedua kaki Sarudin mulai bergerak-gerak. Kuakui dia memang kuat menahan napas, tapi mau sampai kapan dia begitu?
Ketika hitungan sudah mencapai lima puluh delapan, Sarudin mencubit pantat Mama keras-keras. Mama langsung berdiri. Anak itu menghela napas panjang sekali. “Fyuuuuuuuuh hampir aja aku lewat.”
“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama cemas.
“Aman Bude. Aku udah biasa berenang di sungai deket rumah, jadi udah terlatih nahan napas,” jawab Sarudin. “Jadi aku menang nih! Bude mau kasih hadiah apa?”
“Khusus hari ini, Bude bakal ngelakuin semua yang kamu mau,” jawab Mama. Jari jemari Mama bergerak mengelus kontol Sarudin.
Wajah Sarudin menegang. “Ta-tapi kenapa Bude tiba-tiba jadi begini? Bude sakit?”
“Anggap saja Bude lagi kesepian.” Jari tangan Mama turun dan meremas pelan buah zakar Sarudin. “Kamu udah pernah mesra-mesraan sama cewek?”
“Belum Bude. Di sini gak ada yang cantik.” Mata Sarudin merem melek. Kelihatannya ia sangat menikmati buah zakarnya dipijat Mama.
“Kalau Bude cantik gak?” Mama berbisik di telinga Sarudin.
“Bude cantik dan seksi kok.” Mulut Sarudin mengerucut. “Sebenernya aku udah lama naksir sama Bude. Soalnya Bude badannya bagus bener. Makanya aku seneng kalau bisa nginep di sini.”
“Makasih sudah memuji Bude.” Mama mendekatkan wajahnya ke kontol Sarudin, lalu mengulumnya.
Sarudin kaget melihat kelakuan Mama, tapi ia tidak bisa menolak kenikmatan yang diberikan Mama. Tangan kirinya mengelus rambut Mama, sedangkan tangan kanannya mengelus pantat Mama yang menungging. Pinggangnya ikut bergerak mengikuti gerakan kepala Mama.
“Bude nakal, auh!” seru Sarudin.
Sambil terus merekam, kukeluarkan batang kontolku yang sudah mengeras dari tadi. Melihat kenakalan Mama bikin kontolku berdenyut-denyut minta jatah.
“Oooh, Mama memang nakal,” bisikku sambil mengocok kontol. Mengentot Mama memang asik, tapi jauh lebih asik melihatnya bercumbu dengan orang lain, bahkan sama saudara sendiri!
Pipi Mama berdenyut-denyut karena menyedot kontol Sarudin. Sambil mengulum kontol, tangan Mama terus memijat buah zakar anak itu.
“Aduh Bude! Enak banget!” Sarudin tidak kuasa menahan suaranya.
Mama berhenti menyepong. “Mau yang lebih enak dari ini?”
Sarudin mengerjapkan mata seolah belum sadar. “Ada yang lebih enak dari ini?”
Mama tersenyum sambil menatap anak itu. Jari telunjuknya bergerak memutar di kepala kontol Sarudin. “Kamu masih perjaka ‘kan?”
Bersambung…