“Habisnya panas banget di luar. Jadi aku pakai baju begini aja,” jelas Mama.
“Tapi ini kainnya gampang terbang ketiup angin. Kalau kelihatan orang gimana?” Bulik Tin mencengkeram bagian bawah jilbab Mama. “Anakmu oke-oke aja lihat kamu begini?”
“Dia setuju aja,” jawab Mama. “Tenang, ini gak masalah kok. Selama aku jaga posisinya, tetekku gak bakal kelihatan.”
Bulik Tin menggelengkan kepala. “Tetep aja bahaya kalau kelihatan. Sebentar, aku ambilin bajuku dulu”
Mama menarik baju adiknya. “Gak usah. Aku begini aja. Beneran deh.”
“Ada apa sih kalian kok ribut-ribut?” Salah satu ibu-ibu terpancing melihat mereka.
“Mbakku ternyata gak pakai baju.” Bulik Tin menyibak jilbab Mama. Kedua tetek Mama bergelayutan keluar.
Ibu itu terbelalak. “Ya Alloh! Kenapa gak pakai baju gitu?”
Ibu-ibu lain jadi ikut menoleh ke Mama. Wajah mereka kebingungan bercampur kaget.
Mama pun menjelaskan ke mereka. Ibu-ibu itu mengangguk-angguk paham. “Iya sih cuaca memang panas banget, apalagi di dapur. Tapi gak gitu juga kalik Bu.”
“Sekarang sih gak apa-apa karena isinya ibu-ibu semua. Kalau bapak-bapak yang datang bisa repot,” sahut ibu yang lain.
“Kalian tenang aja. Ini jilbabnya aku lihatin terus kok.” Mama berusaha menenangkan mereka. “Toh anginnya gak kencang di sini. Jilbabnya gak bakal berkibar.”
“Awas jangan dilakukan di jalan. Nanti ibu dikira cewek yang suka pamer tetek itu,” celetuk yang lain.
Mama tersenyum. “Gak bakal Bu. Itu sih kelakuan wanita murahan.”
Mereka pun lanjut memasak. Bulik Tin masih memaksa Mama untuk memakai bajunya, tapi Mama tetap menolak. Akhirnya Bulik Tin menyerah. “Terserah kamu aja deh. Tapi inget, jangan sampai tetekmu kelihatan kalau ada bapak-bapak datang.”
Karena ibu-ibu itu sudah tahu, Mama tidak menjaga penampilannya lagi. Bagian bawah jilbabnya disampirkan di leher sehingga kedua teteknya bebas bergelayutan di luar.
“Awaw teteknya kena kuah sop,” ujar salah satu ibu yang lewat di depan Mama sambil membawa sepanci besar berisi sop panas.
“Tetekmu gede bener ya,” komentar ibu yang duduk di sebelah Mama. “Suamimu pasti betah di rumah tuh.”
“Ah Bu Marni bisa aja.” Mama tersipu. “Cewek-cewek di keluargaku teteknya pada gede semua. Ini keturunan deh.”
“Tapi punyaku gak segede punyamu,” sahut Bulik Tin yang sedang mengulek bumbu. “Yang paling gede cuma dia doang.”
Yang lainnya terkekeh.
“Katanya sih ibu-ibu yang suka pamer tetek di sekitar sini itu teteknya gede loh. Segede pepaya,” kata Bu Marni.
“Ya berarti segede tetek Mbakku itulah,” sahut Bulik Tin sambil menunjuk ke Mama. Ibu-ibu lain terbahak-bahak, termasuk Mama.
“Suamimu minta jatah berapa kali tuh dalam sehari?” tanya ibu yang sedang menggoreng ayam buat soto.
“Huuuus, Bu Indah kalau nanya langsung to the point.” Bu Marni mencubit betis Bu Indah.
“Kamu ya kalau ngomong juga to the point.”
“Dulu waktu awal nikah, suamiku minta jatah terus tiap hari,” jawab Mama sambil memotong bawang merah. “Sekarang udah jarang. Yah namanya juga udah bosen.”
“Jadi kamu mainnya sama siapa tuh kalau lagi pengen?” tanya Bu Indah.
“Astagfirulloh Indah!” seru yang lain.
“Ya kagak main sama siapa-siapalah,” jawab Mama.
Rasanya aku ingin menjawab kalau Mama sekarang main sama orang lain, tapi tentu saja aku cuma bisa menjawabnya dalam hati.
Terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman depan rumah. Sarudin menyelonong masuk dengan membawa dua kantong plastik berisi sayuran dan bumbu.
“Aduh ini anak lama bener! Kemana aja sih?” seru Bulik Tin begitu melihat anaknya.
“Ketemu temen terus ngobrol dulu,” jawab Sarudin. Ia tersenyum ke arah Mama. Mama membalasnya dengan senyuman juga.
Baru saja sampai di rumah, Sarudin sudah disuruh ibunya membeli galon. Anak itu keluar sambil menggerutu.
“Sssst… Mama ke sini dong.” Aku memanggilnya dari balik dinding.
Mama berhenti memotong bawang, lalu bergegas mendatangiku. “Ada apa?”
Aku berbisik ke telinganya. Mama menggelengkan kepala. “Tapi terlalu banyak orang di sini.”
“Aku jaga di depan. Mama tenang aja.”
Mama mengintip ke dapur. Ibu-ibu tampaknya sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak memerhatikan Mama.
“Kalau gitu kita harus cepat-cepat,” kata Mama. Jilbabnya diturunkan kembali sampai menutupi tetek dan perutnya.
Alif sedang membaca komik Donald Bebek sambil tiduran saat Mama masuk ke kamarnya. Ia menurunkan komiknya. “Ada ada Bude?”
“Burungmu masih perih?” tanya Mama. Ia duduk di pinggir kasur.
“Udah agak mendingan. Barusan aku minum obat.” Alif menunjuk obat-obat yang tergeletak di sebelah bantalnya.
“Bude tahu rahasia biar burungmu gak perih lagi dan cepat sembuh,” ujar Mama.
“Rahasia apa Bude?”
“Tapi kamu harus janji dulu gak bakal bilang ke siapa-siapa, apalagi ke kedua orangtuamu.”
Anak itu mengangguk. Mama mengeluarkan salah satu teteknya dari balik jilbab. “Ini obatnya.”
Aku menahan tawa karena melihat Alif yang melotot melihat tetek Mama. Sambil merekam dari balik pintu, sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada ibu-ibu yang lewat ke ruang tamu.
“Kamu isep tetek Bude, dijamin sakitnya langsung hilang,” jelas Mama. Ia mengguncang-guncangkan teteknya di depan Alif.
“Baru denger tetek bisa nyembuhin sunat.” Alif terpaku memandang tetek Mama yang bergoyang-goyang.
“Gimana? Mau ngisep gak?” tawar Mama.
“Boleh deh Bude.”
Mama menyibak bagian bawah jilbabnya sampai kedua teteknya terlihat. Mata Alif semakin menyala-nyala penuh semangat melihat kedua tetek itu bergelantungan.
“Isep nih.” Mama menurunkan badan sampai pentilnya menyentuh wajah Alif. Anak yang tadinya lemas itu tiba-tiba tenaganya melonjak seperti kuda liar. Ia melahap salah satu pentil Mama, lalu menyedotnya kuat-kuat. Aku sampai bisa mendengar suara sedotannya.
“Pelan-pelan nyedotnya.” Mama meringis menahan sakit. Urat-urat di sekitar pentilnya sampai menonjol.
Alif tidak menggubris ucapan Mama. Kedua tangannya memeluk Mama erat-erat. Bulatan tetek Mama terhimpit di wajahnya.
“Aduh, aduh.” Alif melepas sedotannya. Wajahnya terlihat menahan sakit. “Burungku perih lagi.”
“Kalian lagi apa?” ujar suara seseorang yang kukenal.
Aku menoleh ke belakang. Bulik Tin berdiri di belakangku.
Kualihkan mode video ke mode kamera.
“Mau fotoin Alif buat kenang-kenangan,” kataku.
“Wah boleh tuh. Di sini gak ada yang punya hape buat motoin Alif. Cuma kamu dan ibumu doang yang punya. Ya udah, fotoin dia buat kenang-kenangan.”
Bulik Tin melongok. “Dari tadi aku nyariin ibumu. Dia di dalam?”
Pikiranku berputar mencari alasan. “Eh Mama ada di dalam.”
“Lagi ngapain sama si Alif?”
“Lagi ngobrol biasa aja.” Meski jantungku berdebar kencang, kuusahakan untuk bersikap senormal mungkin.
“Okelah kalau begitu. Bilangin ibumu nanti bantuin aku masak lontong. Cuma dia yang jago bikin lontong.” Bulik Tin pun balik ke dapur.
Seluruh otot-ototku terasa mau lepas dari engsel-engsel tulang. Kalau sampai dia melihat Mama lagi menyusui anaknya, dia pasti bakal kaget. Aku memang ingin saudara-saudara tahu kelakuan Mama, tapi di momen yang tepat. Kalau Bulik Tin marah melihat kelakuan Mama, bisa-bisa kami diusir sebelum Mama melakukan aksi besar yang aku rencanakan.
“Ma, tadi Bulik Tin nyariin tuh,” kataku.
“Iya sebentar ya.” Mama menahan jilbabnya agar tidak jatuh menimpa Alif. “Bude mau bantuin ibumu masak dulu nih.”
“Bwentar lagi Budwe.” Suara Alif kurang jelas terdengar karena mulutnya sibuk menyedot pentil Mama. Ia berpindah ke tetek Mama satunya. “Satu ini lagi deh.”
Sambil menyedot tetek Mama, anak itu memelintir pentil Mama yang lain. Pentil Mama jadi mengacung.
“Ssssssh aduh,” erang Mama tertahan karena Alif menarik pentilnya terlalu kencang. “Udahan deh, nanti ibumu nyariin lagi.” Ngocoks.com
Mama mendorong wajah Alif. Anak itu masih berusaha melahap pentil Mama begitu teteknya menjauh.
“Inget ya jangan bilang siapa-siapa,” ujar Mama sambil bangkit dari duduknya.
“Aku boleh ngisep teteknya Bude lagi gak?” mohon anak itu.
“Boleh kalau kamu jaga rahasia.” Mama pun keluar dari kamar Alif.
“Mana Bulik Tin?” tanya Mama.
“Tuh di Dapur. Dia minta dibantuin bikin lontong,” kataku. Mama bergegas ke dapur. Saking buru-burunya, ia lupa menurunkan jilbabnya lagi sehingga kedua teteknya masih terlihat.
“Ya ampun, ditutup dulu teteknya!” seru Bu Marni saat melihat Mama masuk ke dapur.
Bulik Tin menimpali. “Tuh ‘kan jadi kebiasaan teteknya keluar. Awas aja kalau kelihatan tamu yang datang nanti.”
“Memangnya tamu-tamu datang jam berapa?” tanya Mama. Ia duduk di sebelah Bulik Tin.
“Habis magrib seperti biasa.”
Kulirik jam dinding di atasku. Tinggal satu setengah jam lagi menuju magrib. Mama masih ada waktu buat menenangkan diri sebelum momen besar.
Sambil menunggu magrib, aku menonton Youtube sambil tidur-tiduran di sebelah Alif. Sarudin sudah pulang dan langsung membantu ibu-ibu mengangkat masakan yang sudah matang.
“Kak, aku kok rasanya aneh ya waktu lihat teteknya Bude tadi,” ujar Alif. “Perutku kayak digelitik. Burungku jadi makin sakit. Mana baru disunat pula.”
“Itu kamu lagi sange. Wajar setiap kali kamu lihat cewek telanjang,” kataku. “Kamu suka lihat badan ibuku?”
“Suka banget Kak!” Wajah Alif berbinar-binar. “Aku suka sama teteknya yang gede, terus pantatnya gede pula. Aduh, Bude cantik banget!”
Ah dasar kakak dan adik sama saja. Sukanya sama yang besar-besar.
“Sama ibu kamu cantik mana?” tanyaku.
Alif berpikir sebentar. “Sebenernya ibuku cantik juga, tapi lebih cantik Bude. Waduh, bayangin Bude saja bikin burungku sakit lagi.”
“Kalau kamu ngerasa sange lagi, kapan-kapan coba lihat ibumu sendiri,” kataku.
Anak itu mengerjapkan mata. “Hah? Kenapa ibuku?”
“Karena ibumu juga cewek dan menurutku ibumu badannya oke juga. Mendingan lihat cewek terdekat daripada cari wanita yang jauh.”
“Tapi ibu pasti marah kalau aku minta netek ke dia,” keluh Alif.
“Ada caranya, nanti aku ajarin,” kataku. “Tapi kamu harus bener-bener suka sama ibumu dulu. Kalau gak suka, kamu bakal setengah-setengah jalaninnya.”
“Kalau gitu ajarin aku sekarang!” seru Alif.
“Tunggu burungmu sembuh dulu, baru aku ajarin.” Aku terbahak.
Kami lanjut mengobrol soal lain. Sayup-sayup terdengar suara adzan di kejauhan. Tidak terasa magrib tiba. Sebentar lagi tamu-tamu akan datang ke rumah.
“Aku bawain bajuku ya?” Suara Bulik Tin terdengar dari dapur.
“Udah gak usah! Lagian aku di dapur. Mereka gak bakal ke dapur,” ujar Mama.
Aku buru-buru keluar dari kamar dan mengintip mereka dari ruang tamu.
“Iya sih, tapi buat jaga-jaga biar tetekmu gak kelihatan,” ujar Bulik Tin. “Memangnya kenapa sih kalau pakai baju? Ini toh sudah mau malam. Sudah gak sepanas tadi siang.”
“Bagimu gak panas, buatku masih panas.” Mama tidak mau kalah. “Kalau aku banyak keringetan, bisa muncul beruntusan.”
“Ya sudah, kalau gitu kamu jangan sampai ke ruang tamu biar gak dilihat bapak-bapak,” ujar Bu Indah menengahi.
Sarudin yang sedang duduk bersila di lantai sambil makan gorengan cuma tersenyum-senyum saja melihat dada Mama yang menonjol di balik jilbabnya.
Bulik Tin menghela napas, lalu pergi ke kamar mandi. Mama membantu menata makanan ke atas nampan bersama ibu-ibu lain.
“Mama, ke sini dong,” kataku. Mama menaruh tempe mendoan ke atas piring, lalu bangkit mendekatiku.
“Ada apa lagi?”
“Mau ngerobek jilbab Mama.” Kuraih bagian bawah jilbab Mama, kemudian kurobek sampai ke bagian tengah. Bahan jilbab itu tipis sehingga bisa robek dengan mudah. Begitu bagian bawah jilbabnya robek, Mama tidak bisa lagi menutupi teteknya dengan jilbab.
“Tapi sebentar lagi tamu-tamu datang.” Mama terlihat panik. “Om kamu juga sebentar lagi datang.”
“Memang itu rencananya.” Kumasukkan sobekan jilbabnya ke saku celana. “Kalau Bulik Tin tanya, bilang aja kalau jilbab Mama tadi tersangkut paku jadi robek.”
“Paku di mana?”
“Di mana aja bisa. Di pagar bisa, di dekat pintu itu ya bisa.” Kutunjuk paku yang menonjol di dinding dekat pintu Alif.
Dari kejauhan terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah.
“Assalamualaikum.” Om Abi, suami Bulik Tin, masuk ke ruang tamu. Wajahnya langsung berubah begitu melihat Mama yang berdiri dengan tetek bergelayutan keluar. “Ya ampun!”
“Eh waalaikumsalam.” Mama langsung berdiri tegak.
“Kok gak baju begitu?” Om Abi memandang Mama dari atas ke bawah. Ia menepuk pundakku. “Ambilin baju buat ibumu. Cepat!”
“Ada apa ini?” Bulik Tin baru saja keluar dari kamar mandi dan mendatangi kami karena ada ribut-ribut. Ia memekik saat melihat Mama. “Sudah kubilang, pakai bajuku saja. Kejadian tuh! Tutupin tetekmu!”
“Jilbab Mama robek kena paku itu,” kataku sambil menunjukkan sobekan jilbabnya. Mau tidak mau aku juga ikut menjelaskan.
“Tapi itukan gak tajam,” ujar Om Abi. “Cepetan dah pakai baju sebelum tamu-tamu datang.”
“Assalamualaikum!” Terdengar suara salam dari luar. Sekitar lima orang bapak-bapak berdiri di luar. Mereka menatap Mama yang berdiri telanjang di ruang tamu.
Bersambung…