Aku, Mama, Om Abi, dan Bulik Tin cuma terdiam kikuk. Bapak-bapak di luar juga sama kikuknya seperti kami.
“Se-sebaiknya aku ambilin baju dulu.” Bulik Tin lari ke kamarnya.
Mama menutup teteknya dengan tangan. Aku berdiri di depan Mama supaya terlihat seakan-akan aku melindungi Mama.
Om Abi mendatangi tamu-tamunya yang kebingungan. “Maaf ya bapak-bapak, pintunya saya tutup dulu sebentar saja.” Ia pun menutup pintu.
Ibu-ibu di dapur pada melongokkan kepala ke ruang tamu. “Ada apa ya?”
“Bukan apa-apa.” Om Abi berusaha tersenyum ramah ke ibu-ibu itu. “Mana ini si Suratin, kok lama bener?”
Sebentar kemudian, Bulik Tin muncul dari lorong dengan sehelai pakaian di tangan. “Nih cepetan pakai ini.” Ia menyodorkan pakaian itu ke Mama yang ternyata adalah daster.
Mama memandangku. Aku mengangguk tanda setuju ia memakai baju. Mama buru-buru mengambil pakaian itu, lalu mengenakannya. Badan Bulik Tin sedikit lebih kecil dari Mama, sehingga baju yang dikenakan Mama terlihat ketat. Tetek dan pantatnya menonjol di balik daster. Kedua pentil Mama tercetak jelas. Memakai daster itu malah bikin Mama terlihat lebih seksi.
“Balik ke dapur aja gih biar gak kelihatan tamu.” Bulik Tin menarik Mama ke dapur. “Bukain pintunya dong. Kasihan mereka malah nunggu di luar.”
Aku membuka pintu. Bapak-bapak yang menunggu di luar jumlahnya bertambah dua kali lipat. Semua masuk ke ruang tamu satu persatu. Mereka yang tadi sempat melihat Mama cuma tersenyum saat pintu kubuka.
Salah satu dari mereka yang lebih muda, berbisik ke temannya. “Tadi ibu anak itu teteknya kelihatan,” bisiknya. “Teteknya gede amat, kayak bola.”
“Yang bener? Ibunya yang mana sih.” Temannya melihat-lihat ke sekeliling.
“Pelan-pelan cuk, suaramu kedengeran.”
“Kau juga ngomongnya keras cuk.”
Setengah jam kemudian para tamu sudah lengkap. Pengajian pun dimulai. Aku tidak ikut mengaji, tapi duduk di dapur bersama ibu-ibu yang lain. Mereka sedang menata jajanan di atas baki untuk diberikan ke tamu-tamu. Aku membantu Mama memecahkan es batu untuk dibuat es teh. Karena dapurnya cukup sempit, Bulik Tin duduk ruang tamu sambil ikut mengaji.
Acara pengajian itu cuma berlangsung satu jam. Tidak terasa sudah waktunya memberikan makanan ke para tamu. Bulik Tin berbisik ke arahku yang duduk paling dekat dengannya. “Kasih makanan ke tamu. Kasih makanan utama dulu. Minta Bu Marni atau kamu yang bawa.”
Aku mengangguk. Kuberitahu perintah itu ke ibu-ibu di dapur. “Udah waktunya kasih makanan ke tamu. Biar Mama yang bawa makanan ke sana.”
“Eh tapi baju ibumu begitu. Biar aku saja yang bawa.” Bu Marni bergegas berdiri.
“Gak usah, biar Mama saja yang bawa. Mama gak masalah ‘kan?” kataku sambil mengedipkan mata ke Mama.
Mama menundukkan kepala. “Iya, biar aku saja yang bawa.”
Bu Marni mengerutkan kening. “Oke, tapi hati-hati bawanya ya.”
Aku dan Mama mengangkat baki berisi makanan. Sebelum ke ruang tamu, aku berbisik ke Mama. “Lepas semua kancing Mama.”
“Kamu yakin? Ini beda sama anak-anak di sekolah. Yang ini banyak tetangga dekat kita semua.”
“Mereka bakal mengira kalau Mama gak sengaja. Mama tenang saja.”
Mama menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan ibu-ibu itu tidak memperhatikannya. Ia lalu melepas semua kancing di kerah dasternya. Belahan tetek Mama langsung terlihat begitu kancing penutupnya lepas.
“Bagus, sekarang kita ke ruang tamu. Mama jalan duluan deh,” kataku.
Bulik Tin kaget saat melihat Mama muncul di ruang tamu. Ia menatapku tajam. “Bukannya tadi aku minta tolong Marni buat bawa makanan? Kenapa malah ibumu? Aduh, mana dia belum ganti jilbab pula!”
Aku pura-pura terkejut. “Oh aku kurang denger ucapannya Bulik. Aku kira tadi Bulik nyuruh Mama yang bawa makanan.”
Wajah Bulik Tin memerah saat Mama melangkah ke ruang tamu. Semua bapak-bapak yang duduk bersila di lantai langsung menengok ke Mama. Wajar saja mereka menengok karena daster ketat yang diberikan Bulik Tin membentuk setiap lekuk tubuh Mama. Ruang tamu yang dipenuhi orang bikin suhu udara pengap meski pintu dan jendela rumah dibuka. Tubuh Mama jadi berkeringat dan membuat daster yang dikenakannya semakin mengencang ketat. Pentil dan udelnya sampai tercetak jelas.
“Itukah ibu-ibu yang kamu bilang?” bisik tamu barusan. Ia duduk tepat di belakangku.
“Bener, itu dia. Gile badannya.”
“Ayo silakan dinikmati makanannya.” Mama menundukkan badan untuk menaruh baki makanan.
“Wih gile bener pantatnya,” ujar bapak yang duduk di dekatku. Para tamu yang duduk di belakangku dan Mama mendapat pemandangan indah belahan pantat Mama yang tercetak di dasternya. Semua mata tertuju ke pantat Mama.
Bulik Tin berbisik-bisik ke suaminya. Entah apa yang mereka bicarakan.
Saat Mama menaruh mangkok nasi ke tengah ruangan, lengannya menyenggol bulatan teteknya. Tetek sebesar pepaya itu bergeser sedikit ke tengah kerah daster yang terbuka. Akibatnya tetek itu menyembul keluar dari tepi kerah daster.
“Astagfirulloh!” seru bapak-bapak yang duduk di depan Mama bersamaan.
Mama buru-buru memasukkan kembali teteknya ke kerah daster, tapi teteknya terlalu besar untuk masuk ke kerah daster yang mengetat karena keringat.
“Be-bentar ya.” Suara Mama mulai panik.
“Udah suruh mundur aja dulu!” seru Bulik Tin kesal. Aku menaruh baki makanan ke lantai, lalu menghampiri Mama yang masih kesulitan memasukkan teteknya.
“Ma, kita ke dapur aja yuk,” kataku sambil berusaha menutupi teteknya dari pandangan orang-orang yang melotot di depannya. Sambil menutupi teteknya dengan tangan, Mama mengikutiku menuju dapur.
Ibu-ibu di dapur memandangi Mama dengan gelisah.
“Tuh ‘kan! Mendingan aku aja tadi yang bawa makanan ke depan,” ujar Bu Marni.
“Ternyata tadi Bulik Tin memang nyuruh Bu Marni buat ke depan, tapi aku gak denger,” jelasku.
Bu Marni akhirnya menggantikan Mama membawa baki makanan. Sarudin bergegas ke kamar dan kembali dengan membawa sarung.
“Pakai ini aja Bude,” kata anak itu sambil menyodorkan sarung. Ia tersenyum saat melihat tetek Mama yang masih menyembul keluar.
“Terima kasih,” balas Mama. Ia membungkus bagian dadanya dengan sarung. Kedua teteknya kini aman terlindungi.
Sesi makan-makan cuma berlangsung sebentar. Setelah makan, para tamu bergantian masuk ke kamar Arif untuk memberikan amplop berisi uanh. Tentu saja anak itu menerima pemberian itu dengan senang hati.
“Pulang dulu, assalamualaikum!” seru para tamu. Mereka bergantian bersalaman dengan Om Abi, lalu naik ke sepeda motor masing-masing. Beberapa orang masih mengobrol sebentar di halaman depan rumah. Beberapa lagi ikut membantu ibu-ibu mengangkat piring-piring kotor ke dapur.
Para bapak-bapak yang membantu mengangkat piring kotor ke dapur melirik ke Mama yang sedang mencuci piring. Om Abi dan Bulik Tin belum memasang wastafel dan keran air untuk mencuci piring letaknya di bawah sehingga Mama harus duduk di bangku kecil. Posisi duduk yang agak jongkok itu membuat bongkahan pantat Mama semakin menonjol.
“Permisi Bu, ini piring kotornya,” ujar para bapak-bapak itu. Mereka berdiri mengantre di belakang Mama cuma untuk menikmati pemandangan pantat Mama.
Mama diam saja sambil terus mencuci.
“Eh kalian inget istri di rumah! Taruh aja piringnya di deket situ!” seru Bu Indah. Tangannya mengacungkan centong nasi.
Para bapak-bapak itu langsung menaruh piring kotor yang mereka pegang dan pergi dari dapur. Sebelum pergi, mereka sempat melirik ke belakang untuk melihat pantat Mama untuk terakhir kali.
Selesai mencuci piring, Om Abi memanggil Mama.
“Mbak, jujur aja saya kaget lihat Mbak telanjang di rumah saya. Mana tadi teteknya Mbak keluar di depan tamu. Kali ini saya maafkan, tapi saya gak mau ini terulang lagi. Kalau begini, kita semua yang malu,” ujar Om Abi. “Saya mau Mbak pakai baju yang lebih layak, apa pun alasannya.”
“Iya, saya minta maaf sebesar-besarnya.” Mama menundukkan kepala. “Saya juga gak nyangka bakal kejadian seperti ini. Lain kali saya pakai baju yang lebih tertutup.”
“Saya sangat menghormati Mbak. Saya udah anggap Mbak seperti kakak saya sendiri. Ini semua demi kebaikan Mbak sendiri,” ujar Om Abi sebelum menutup pembicaraan.
Sesi beres-beres adalah sesi paling lama dan paling melelahkan setelah acara. Aku dan Sarudin ikut membantu Om Abi mengepel lantai yang berminyak karena tercecer makanan.
“Ibumu seksi bener,” bisik Sarudin.
“Kamu suka ya lihat ibuku?” kataku.
“Jelas suka! Cuma cowok gak normal yang gak suka lihat Bude.”
“Hei kalian ngomongin apa?” tanya Om Abi yang lagi mengelap sudut ruangan.
“Eh lagi ngomongin sekolah.” Kami mengganti topik biar Om Abi tidak curiga.
Pekerjaan itu baru beres dua jam kemudian. Sebelum pulang, Bulik Tin memberikan kami plastik besar berisi nasi dan lauk pauk sisa dari acara. “Daripada dibuang,” ujarnya.
Kami mengucap pamit, lalu melesat pergi menuju rumah.
Keesokan harinya aku mendatangi Bagas di rumahnya. Ia melongo saat kuceritakan pengalamanku bersama Mama dan kutunjukkan rekaman-rekamannya.
“Gilaaaaaaa!” Itu saja komentarnya saat melihat rekaman terakhir. Ia mengulang rekaman-rekaman itu dari awal.
“Gak nyangka ya? Hahahahaha!” Aku terbahak.
Bagas memberikan smartphone-ku. “Hebat juga kamu bisa bikin malu ibumu sampai sebegitunya.”
Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi. “Omong-omong mana ibumu?”
“Lagi belanja di pasar.” Wajahnya terlihat lesu. Dari tadi ia selalu mengetuk jari telunjuknya ke permukaan meja seperti sedang gelisah.
“Ada masalah apa?”
Bagas menghela napas. “Denger-denger videoku nyebar keluar kampung. Waktu ibuku ketangkap warga, aku gak nyangka bakal ada yang bawa hape. Padahal kukira orang-orang sini masih banyak yang belum punya hape.”
“Ya itu memang risiko kalau pamer di tempat umum sih.” Aku jadi ikut lesu. Kepalaku berputar-putar memikirkan apa ada orang yang merekam Mama selain aku? Aku rasa tidak. Orang-orang sini masih mementingkan beras daripada smartphone. Cuma orang-orang dengan ekonomi cukup saja yang mampu membeli smartphone sepertiku.
“Jadi apa rencanamu kalau berita ini semakin nyebar?” tanyaku.
“Kalau cuma jadi bahan gosip sih gak apa-apa ya, toh tetangga-tetangga sini juga pada tahu kelakuan ibuku. Masalahny itu kalau kepolisian ikut campur.” Bagas meluruskan kedua kakinya. “Mungkin aku dan ibuku harus kabur dari sini.”
“Tapi bagaimana caranya kamu tahu seandainya ada polisi mau ke sini?”
“Aku punya saudara polisi. Dia pasti bakal ngasih tahu kalau ada yang mau datang kemari,” jawab Bagas. “Beberapa hari ini aku harus lebih waspada. Ibuku sudah gak pernah kusuruh telanjang di tempat umum lagi. Dia kukentot di rumah saja.”
“Kamu ada rencana mau kabur ke mana?”
“Entahlah. Tapi bapakku punya rumah kosong di desa lain. Aku ada kuncinya. Mungkin aku bakal ke sana kalau terjadi apa-apa.”
Kami terdiam cukup lama, setelah itu aku pamit pergi. Sebelum pergi, Bagas memintaku untuk lebih waspada saat mau memamerkan Mama. Aku mengiyakan dan berjanji bakal lebih berhati-hati.
Aku mengebut menuju rumah. Selama perjalanan, aku terus memikirkan apa yang bakal terjadi seandainya polisi benar-benar datang ke rumahnya. Mungkinkah dia bakal memberitahu kalau bukan cuma dia yang melakukan perbuatan bejat itu? Ah, aku rasa tidak. Dia melakukan itu sendirian, begitu pula aku. Meski kami sama-sama nakal, tapi kami melakukan kenakalan itu sendiri-sendiri.
Mendekati desaku, aku melihat beberapa orang yang sedang membangun tenda-tenda di lapangan sebelah jalan besar. Beberapa mobil bermuatan berbagai macam barang diparkir di pinggir jalan. Aku jadi ingat kalau ada pasar malam yang bakal dibuka malam ini.
Aku tersenyum. Ini saatnya melatih Mama lagi!
“Assalamualaikum!” ujarku saat masuk ke ruang tamu.
“Waalaikumsalam,” jawab Mama. Ia sedang menyapu ruang tamu. Mama cuma mengenakan kaus pendek tanpa pakai celana. Pantat telanjangnya bergoyang-goyang setiap kali ia menyeret debu lantai dengan sapu.
Kuselipkan jari telunjukku ke belahan pantat Mama, lalu kucium lehernya. “Malam ini kita latihan lagi ya.”
“Kamu sudah baca berita hari ini?” tanya Mama sambil terus menyapu.
“Di kampung sebelah ada ibu-ibu yang ketahuan telanjang di jalan. Beritanya sudah menyebar di website berita lokal.”
“Oh ya?” Aku pura-pura terkejut. “Berarti ada orang mesum selain Mama dong.”
Mama berhenti menyapu. Ia menatapku dalam-dalam. “Nak, kamu harus hati-hati. Bisa saja perbuatan kita menyebar kalau ada yang rekam kita. Kalau itu terjadi, apa kata Ayahmu? Dan gimana nasib kita?”
Seingatku, cuma Indra yang punya rekaman Mama waktu Mama ikut jalan santai sekolah, selain itu tidak ada.
Kuelus rambut Mama untuk menenangkannya. “Aku pastikan itu gak terjadi. Orang-orang sini masih jarang yang punya hape.”
Jariku berpindah ke depan dan menelusup ke dalam memeknya. Mama mencengkeram gagang sapu kuat-kuat.
“Nanti malam ada pasar malam nih,” kataku. “Mama latihan lagi ya.”
“Tapi di sana bakal banyak orang.” Paha Mama bergetar. Jariku masuk ke memeknya semakin dalam.
“Pelan-pelan Mama bakal dilihat banyak orang.” Cairan memeknya mengalir di jariku.
Kudorong pundak Mama ke dinding. Kedua tangannya refleks menekan dinding di depanny.
“Mendingan kita santai dulu buat petualangan nanti malam,” kataku sambil menurunkan celanaku. Batang kontolku menjulur keluar. Kukocok kebanggaanku itu supaya mengeras. Ngocoks.com
“Pantatnya dinaikin dikit dong biar enak ngentotnya,” kataku.
Mama menaikkan pinggulnya. Kedua tangannya masih berpegangan ke dinding.
Kuarahkan kepala kontolku ke lubang memeknya yang sudah basah. Pelumas alami itu bikin batang kontolku menerobos mulus ke rahimnya.
“Hmmmmmmm!” erang Mama saat kontolku mentok di rongga memeknya.
Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Pikiranku serta merta terbang tinggi. Napasku memburu, begitu pula napas Mama.
Perutku memantul di pantat Mama saat kupompa memeknya dari belakang, menciptakan suara seperti tepuk tangan. Plak! Plak! Plak! Plak!
“Memek Mama terbaiklah!” Aku berseru sambil meraih rambut Mama. Ia mengerang saat rambutnya kutarik sampai kepalanya mendongak.
Plak! Plak! Plak! Plak!
Kontolku semakin mengeras, rasanya seperti membeku. Memek Mama dibanjiri cairan kental bening. Sepertinya Mama mau orgasme.
“Aku mau crot nih!” Kupompa memeknya sekencang mungkin. Kedua tangan Mama mencengkeram dinding kuat-kuat sampai permukaan dinding itu mengelupas.
“Ugh!” Mama mengerang.
Pejuhku menyembur deras di rahim Mama. Bongkahan pantatnya mengencang, lalu pelan-pelan melunak kembali. Cairan kami menetes di lantai.
Kucabut kontolku dari memeknya. Lubang kontolku masih menyemprotkan sisa-sisa pejuh. Kutempelkan kepala kontol yang belepotan pejuh itu ke pantat Mama. Pejuh itu menempel di pantatnya seperti lem menempel di kertas.
Setelah orgasme, pikiranku jadi lebih enteng, begitu pula semua ketegangan di badanku. Mama mengambil tisu, lalu membersihkan sisa-sisa pejuh di kontolku yang loyo. Setelah bersih, aku masuk ke kamar untuk tidur siang.
Sayup-sayup aku masih mendengar suara Mama mengepel lantai ruang tamu sebelum aku terlelap.
Bersambung…