Paijo sedang menyapu dedaunan kering di halaman depan sekolah saat mobil kamu masuk ke halaman parkir. Mama mengemudi sambil memerhatikan keluar jendela untuk memastikan ban mobil tidak terperosok masuk ke parit kecil yang terhalang rerumputan.
“Bilangin Paijo, rumput di sekitar parit dipotong dong,” kataku.
Mama menurunkan kaca jendela mobil dan memanggil Paijo. Penjaga dan petugas kebersihan sekolah itu tergopoh-gopoh mendatangi mobil.
“Ada apa ya?” tanya Paijo.
Mama menurunkan kaca jendela mobil sampai mentok. Paijo melotot melihat Mama yang telanjang bulat di belakang kemudi.
“Itu rumput di dekat parit dipotongin. Saya jadi susah kalau lewat,” kata Mama.
“Ba-baik Bu,” jawab Paijo tergagap.
Mama menaikkan kaca jendela mobil, lalu menginjak pedal gas. Aku terbahak-bahak melihat Paijo yang memandangi mobil kami dengan ekspresi terkejut.
“Lumayan Paijo dapat sarapan pemandangan indah pagi-pagi,” komentarku.
Mobil berhenti di parkiran. Sebelum membuka pintu, Mama melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang di sekitar.
Kuremas paha Mama. “Mama ngapain takut? Kan mereka udah lihat Mama telanjang.”
“Tapi tetep aja rasanya aneh telanjang di sekolah,” kata Mama. “Mana Mama gak bawa baju sama sekali. Kalau ada tamu dari sekolah lain gimana?”
Kupandangi Mama yang cuma mengenakan jilbab. Di bagian tetek, paha, perut, dan pantatnya masih ada ruam merah akibat kuremas terlalu kuat.
“Mama gak perlu takut memeknya kelihatan. Kan udah ketutupan jembut,” kataku sambil mengelus jembutnya. “Tapi kalau pentil… yah Mama pikirin sendiri dah.”
“Kamu itu gak ngebantu sama sekali,” Mama mendengus kesal. “Keluar yuk, Mama masih banyak kerjaan.”
Kami keluar dari mobil. Di sekeliling kami tidak ada orang. Cuma ada beberapa sepeda motor milik para guru dan beberapa sepeda milik murid. Mama melangkah cepat-cepat ke lorong sekolah sebelum ada orang lain yang datang.
Begitu kami sampai di lorong sekolah, kami berpapasan dengan dua orang murid yang lagi ngobrol. Mereka kaget melihat Mama. Mata mereka bergerak mengamati kaki Mama sampai ke ujung kepala Mama.
“Assalamualaikum Bu,” sapa mereka hampir bersamaan.
“Waalaikumsalam,” jawab Mama cepat. Ia terus berjalan melewati kedua murid itu. Aku sampai ketinggalan di belakang.
“Wah gila, Bu Kepala Sekolah kenapa tuh?” tanya salah satu murid.
“Oh iya kamu gak ikut pas jalan santai kemarin ya? Katanya dia sakit kulit, jadi harus telanjang biar kena sinar matahari,” jelas murid satunya. Ia lalu cerita panjang lebar soal kejadian saat jalan santai.
Di ujung lorong, kami belok kiri. Langkah Mama berhenti karena ada Bu Ramadhan yang juga berjalan menuju kantor.
“Waduh Bu!” seru Bu Ramadhan saat melihat Mama. Berkas-berkas yang dipegangnya nyaris jatuh. Ia membetulkan posisi kacamatanya yang melorot sampai ke ujung hidung. “Ibu masih sakit kulit?”
“Iya,” jawab Mama singkat.
“Tapi gak gitu juga Bu.” Bu Ramadhan menggeleng.
“Maaf ya, saya buru-buru.” Mama kembali melaju menuju kantornya. Aku tersenyum ke arah Bu Ramadhan yang memandangku dengan tatapan aneh.
Beberapa langkah menuju kantor pun kami bertemu lagi dengan beberapa murid yang lagi duduk ngobrol. Mama tidak menyapa mereka, begitu pula dengan mereka. Murid-murid cuma memandang Mama dengan tatapan terkejut.
Sesampainya di kantor, Mama langsung menghempaskan dirinya ke kursi. “Wah gila! Jantung Mama rasanya mau copot!” teriaknya.
“Tapi asik kan?” kataku sambil memijat pundaknya. “Mama jujur aja deh. Mama enjoy gak telanjang di depan mereka?”
Mama bangkit dari kursinya. Ia memandangku penuh kebencian. “Mama sama sekali gak enjoy! Mama malu banget! Mama merasa udah gak ada harga dirinya sama sekali! Mama ini cewek murahan, malah jauh lebih murahan daripada pelacur!”
Usai teriak-teriak, Mama duduk kembali. Napasnya tersenggal-senggal. “Tapi ya sudahlah. Ini sudah terlanjur. Toh sudah banyak yang tahu soal ini.”
Aku baru saja mau menghiburnya, tapi terpotong karena ada seseorang yang mengetuk pintu. Aku membuka pintu. Rupanya Bu Ramadhan. Wajahnya terlihat cemas.
“Ada apa ya Bu?” tanyaku.
“Sebaiknya ibumu cepat-cepat berpakaian,” katanya. “Ada guru-guru dari sekolah lain yang datang kemari. Mereka katanya mau bertemu kepala sekolah.”
Wajah Mama mengerucut saat mendengar berita itu.
“Tapi mereka gak memberitahu bakal datang,” seru Mama tanpa bangkit dari tempat duduknya.
Bu Ramadhan melongok melewati pundakku. “Ibu pasti lupa. Ibu sudah setuju bertemu hari ini dari dua minggu yang lalu. Kata mereka begitu.”
Wanita itu menatapku. “Ibumu bawa pakaian ‘kan?”
Aku mengangkat pundak. “Yeah, bawa kayaknya.”
“Semoga kalian benar-benar bawa baju. Jangan sampai mereka melihat ibumu telanjang kayak gitu.”
Bu Ramadhan pamit pergi dan aku menutup pintu. Aku melempar senyum ke Mama. “Wah wah wah, gimana ini Ma?”
Meski ruangan itu cukup sejuk karena AC, aku bisa melihat bulir-bulir keringat mengalir di kening Mama.
Mama menyodorkan kunci mobilnya. “Kamu cepat ke rumah dan ambilkan baju Mama. Baju apa pun gak masalah.”
Kuangkat kedua tanganku. “Eits! Aku gak mau pulang ke rumah.”
Mama menatapku marah. “Ini bukan saatnya bercanda!” serunya. “Mama harus bertemu mereka sekarang. Masa Mama bertemu mereka sambil telanjang gini?”
“Memang itu yang kumau,” kataku. “Aku mau tahu gimana ekspresi mereka kalau melihat Mama. Aku juga mau tahu gimana Mama meladeni mereka.”
“Tapi nama baik Mama dipertaruhkan!” teriak Mama. “Nama sekolah ini juga. Kamu harus ambil baju Mama, sekarang!”
Kutatap Mama dalam-dalam. “Siapa bilang nama Mama masih baik? Nama Mama sudah jelek. Mama itu sudah jadi lonte di kampung ini.”
Mama terperanjat. Ia menghela napas panjang. “Jadi apa yang harus Mama lakukan?”
“Loh kenapa Mama masih nanya? Mama tetap harus menemui mereka, sambil telanjang kayak gitu.”
“Tapi mereka ini orang-orang penting!” teriak Mama.
Pintu diketuk lagi. Aku segera membukanya. Bu Ramadhan berdiri di depan pintu. Di belakangnya ada seorang pria dan wanita yang mengenakan seragam batik. Kedua orang asing itu tersenyum kepadaku, kecuali Bu Ramadhan.
“Ini Pak Hamzah dan Bu Sarni dari SMA 70,” ujar Bu Ramadhan mengenalkan kedua orang asing tersebut. “Saya rasa mereka harus cepat-cepat menemui Ibu Kepala Sekolah. Gak enak kalau mereka menunggu di luar.”
Sambil berbicara begitu, Bu Ramadhan mengintip ke dalam ruangan. Ia menarik napas terkejut saat menyadari kalau Mama belum mengenakan pakaian sehelai pun.
“Terserah kalian sajalah mau gimana.” Bu Ramadhan bergegas pergi.
Kedua tamu itu menatapku.
“Jadi apa kami bisa bertemu Kepala Sekolah?” tanya Pak Hamzah.
Aku mengangguk. “Silakan masuk. Jangan kaget saat melihatnya ya.”
Meski sudah kuperingatkan, kedua tamu itu tetap kaget melihat Mama yang berdiri nyaris tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Aku menutup pintu cepat-cepat supaya bisa melihat reaksi mereka selanjutnya.
“Si-silakan duduk,” ujar Mama terbata-bata. Badannya basah kuyup oleh keringat.
Kedua tamunya duduk di sofa dengan sikap kaku. Aku duduk di kursi sebelah Mama. Posisi yang enak untuk menonton drama nyata ini.
“Oh, saya lupa mengenalkan kalau dia adalah anak saya,” kata Mama mengenalkanku.
Hamzah bangkit dari sofa. “Itu gak penting!” serunya. “Kenapa Anda telanjang begitu?”
“Bu Ramadhan belum ngomong? Saya ada penyakit kulit, harus kena matahari biar gak gatal-gatal,” suara Mama dibuat setenang mungkin.
“Saya belum pernah denger ada penyakit kulit kayak gitu,” ujar Hamzah. “Apa nama penyakitnya?”
Mama menggaruk dagunya. “Waduh saya lupa. Namanya susah dieja. Itu jenis penyakit langka. Saya belum tentu sembuh dari penyakit itu.”
“Sudahlah, kita ke sini mau ngomongin soal sekolah, bukan soal penyakitnya,” ujar Sarni berusaha menenangkan.
“Tapi ini gak wajar sih.” Hamzah duduk lagi. Meski tampak marah, matanya terus menatap tetek Mama. Aku tertawa dalam hati. Jelas ia tidak bisa membohongi pandangannya.
“Mendingan kita langsung bahas intinya saja,” kata Sarni. Hamzah terbatuk-batuk kecil. Mereka pun membuka topik soal alasan mereka datang kemari. Ngocoks.com
Aku tidak peduli dengan obrolan mereka karena terdengar membosankan, jadi aku merekam kejadian di ruangan itu sambil berpura-pura main game smartphone.
Di sepanjang rapat, Mama terlihat gelisah. Ia terus menggerak-gerakkan badannya seakan-akan mau bersembunyi di bawah meja. Meski begitu, ia tetap menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari Sarni dan Hamzah.
Hamzah lebih gelisah dari Mama, walaupun tidak sampai menggerak-gerakkan badan. Namun, pandangan matanya terus bergerak mengikuti arah tetek Mama. Ia lebih banyak diam dan menjawab pertanyaan Mama dengan menggumam.
Mataku menangkap sebuah botol pelembab kulit milik Mama yang tergeletak di sudut lemari. Botol itu nyaris tidak terlihat karena terhalangi berkas-berkas yang memenuhi rak lemari.
Seketika aku punya ide.
“Ma, sudah waktunya badan Mama dioles pelembab,” kataku sambil mengambil botol pelembab di lemari. Sesuai dugaanku, botol itu masih ada isinya meski tinggal sedikit.
“Eh, iya, saya harus pakai pelembab biar kulit saya gak gatal,” kata Mama. Tampaknya ia masih bingung dengan ucapanku.
Botol pelembab kulit itu kukocok untuk melumerkan isinya. Kutuang sedikit isinya ke telapak tanganku, lalu aku berjalan mendekati Mama. “Nah, biar badan Mama gak gatel.”
Kugosok telapak tanganku ke punggung Mama. Kulitnya langsung berkilau saat teroles krim pelembab di tanganku. Setelah seluruh punggungnya kugosok, tanganku bergerak menggosok bagian depan tubuhnya. Kedua bongkahan teteknya bergelayutan saat tanganku melintasi belahan teteknya. Begitu krim di tanganku habis, kutuang lagi, lalu kugosok lagi teteknya sampai kedua sumber susu itu berkilauan seperti keramik yang baru dipoles.
Kedua tamu itu melihatku dengan mata melotot. Mereka terpaku di tempat duduk tanpa berkomentar apa-apa.
Usai mengoles udel Mama, kutepuk pundaknya. “Nah Mama berdiri dong. Pantatnya juga harus dioles biar gak gatal. Balikin badan, nah bener begitu.”
Mama berdiri membelakangi kedua tamunya. Bagian pantatnya terlihat kontras dengan punggungnya yang licin karena pelembab. Sekarang aku harus meratakan penampilannya.
Belahan pantat Mama kubuka lebar-lebar sampai lubang anusnya menganga.
“Wah ini juga harus dikasih pelembab biar gak gatel. Mana gelap pula.” Kuselipkan jari telunjukku yang sudah teroles krim ke tengah-tengah belahan pantat Mama yang hangat. Pelan-pelan ujung jari telunjukku menelusup ke dalam anusnya. Gerakan pelan tapi tidak terduga itu membuat kedua kaki Mama menjinjit karena kaget.
“Nak, gak usah sampai sebegitunya,” bisik Mama.
Aku pura-pura tidak mendengar. Kugosok anus Mama dengan jari telunjukku. Mama menjerit tertahan setiap kali jariku masuk terlalu dalam.
“Kayaknya kita harus pulang sekarang,” ujar Hamzah. “Saya gak menyangka kelakuan kepala sekolah di sini begitu gak pantas dilihat orang-orang.”
Kali ini Sarni tidak mendebat temannya. Wanita itu meraih tasnya, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan. Sebelum keluar, Hamzah melirik kami lalu membanting pintu.
“Mereka pergi!” seru Mama.
“Biarin saja Ma,” kataku sambil terus menggosok anusnya. “Aku punya tugas yang jauh lebih penting buat Mama.”
Bersambung…