Dua puluh menit kemudian, kami sudah berdiri di depan pintu kelas X. Mama memegang sebuah mangkok kaca sebesar telapak tangannya yang aku ambil diam-diam dari UKS.
Badan Mama bergetar saat tangannya menyentuh gagang pintu. Ia menarik tangannya, lalu menoleh kepadaku. “Ini sudah keterlaluan Nak.”
“Dari kemarin kita sudah keterlaluan,” aku mendengus kesal. “Mama jangan banyak alasan. Buka pintunya.”
Mama meraih gagang pintu, lalu mendorongnya. Pintu terbuka. Seluruh murid kelas X termasuk Bu Endang yang lagi mengajar, langsung menoleh ke Mama.
“Ada apa ya Bu?” tanya Bu Endang. Walau terkejut melihat Mama muncul di depan kelas, suaranya terdengar datar.
“Saya mau mempraktikkan sesuatu ke mereka,” ujar Mama.
Bu Endang memandang mangkok kaca di tangan Mama dengan curiga. “Praktik apa ya Bu?”
“Pemerintah mau mengambil sampel dari murid-murid untuk diteliti kesehatannya,” ujar Mama berbohong.
“Saya baru dengar ada program itu.”
“Saya juga baru tahu tadi pagi dan pemerintah mau saya mengambil sampel secepatnya.”
“Apa harus Anda yang mengambil sampelnya? Apa Anda butuh bantuan?”
“Saya akan bilang kalau butuh bantuan,” sahut Mama. “Tapi saya mau mengambilnya sendiri untuk memastikan kesehatan murid-murid di sekolah ini.”
Bu Endang mengedarkan pandang ke murid-muridnya. “Oke, kalau begitu silakan ambil sampel mereka.”
“Saya mau Bu Endang keluar sebentar selagi saya mengambil sampel mereka,” ujar Mama.
“Loh saya gak bakal mengganggu Anda. Kenapa saya harus keluar?” Wanita itu kebingungan.
“Saya grogi kalau kerja dilihatin orang lain. Saya mau Anda keluar sebentar kira-kira setengah jam. Nanti saya beritahu kalau sudah selesai,” kata Mama.
Meski masih bingung, Bu Endang menuruti kata-kata Mama. Sebelum pergi, ia memandang Mama yang telanjang di depan murid-murid, lalu menggelengkan kepala. Sekilas aku mendengarnya berbisik: “Dasar wanita murahan.”
Kukunci pintu kelas biar tidak ada orang yang mengganggu dari luar.
Mama tersenyum ke murid-murid yang terdiri dari sepuluh laki-laki dan lima perempuan. “Seperti yang kalian dengar tadi. Ibu mau mengambil sampel dari kalian buat diteliti pemerintah.”
“Sampel apa sih Bu?” tanya murid perempuan yang duduk di depan.
“Sampel sperma dari cowok,” ujar Mama. Suaranya parau saat mengatakan “sperma”.
Para murid itu berbisik-bisik. Seorang murid laki-laki berbadan kecil mengangkat tangannya. “Cara ngambilnya gimana tuh?”
Mama terdiam sebentar, kemudian melanjutkan. “Khusus untuk laki-laki, keluarkan penis kalian.”
Seluruh penghuni kelas X langsung ribut seketika. Beberapa murid laki-laki segera mengeluarkan kontol mereka, sebagian lainnya tampak ragu-ragu, sementara murid perempuan berteriak histeris saat melihat kontol-kontol itu menjuntai di hadapan mereka.
Mama sadar ia melakukan kesalahan. “Tenang! Tenang! Murid perempuan lebih baik keluar saja.”
Murid-murid perempuan segera lari berhamburan keluar begitu pintu kubuka. Tinggal aku, Mama, dan sepuluh murid laki-laki.
“Ayo, ayo buka keluarin penis kalian!” seru Mama sambil bertepuk tangan.
Murid-murid yang tadinya ragu mulai menurunkan celana. Kontol mereka menjuntai keluar dari karet sempak mereka yang melorot. Ada yang sudah mengeras, ada juga yang masih loyo. Beberapa murid mengejek kontol temannya.
“Yah kecil amat punyamu!” ejek seorang murid ke teman di sebelahnya.
“Punyamu hitam bener kayak arang.”
“Hahahahaha jembutmu ketebelan tuh!”
“Kalian berhenti mengejek,” ujar Mama berusaha menenangkan. “Sekarang angkat kursi kalian berjejer di depan. Nah begitu bagus. Kalian duduk yang manis ya.”
Sepuluh murid itu duduk berjejer di depan seperti kemauan Mama. Mereka menatap tubuh Mama yang masih licin karena pelembab dengan kagum.
Mama mendekati murid yang duduk di paling ujung. Murid itu terlihat gugup. Hidungnya kembang kempis saat Mama berjongkok dan menggenggam kontolnya.
“Ibu mau memerah penis kamu,” kata Mama. Tangannya bergerak naik turun, menelusuri batang kontol murid itu.
“Sakit gak ya?” tanya murid itu.
“Gak bakal sakit. Tapi kamu harus bilang kalau sakit,” kata Mama.
Tangan kanan Mama mengocok kontol murid itu, sementara tangan kirinya meremas kedua buah zakarnya. Mata murid itu merem melek. Ia jelas menikmati rangsangan di kontolnya.
“Aduh aduh!” serunya tertahan.
“Sakit?” tanya Mama. Ia berhenti mengocok kontol murid itu.
“Nggak. Malah enak. Susah jelasinnya. Terusin dong Bu,” pinta murid itu.
Mama mengocok kontol murid itu sedikit lebih cepat. Murid-murid lainnya menonton dari tempat duduknya masing-masing.
“Enak banget Bu!” seru murid itu. Pejuh bermuncratan dari lubang kontolnya. Mama buru-buru menampung pejuh itu ke mangkok kaca.
“Udah selesai,” kata Mama. Dipandanginya pejuh murid itu yang menggenang sedikit di dasar mangkok kaca. “Sekarang gantian yang lain.”
“Yaaaah kok udahan,” murid itu mendengus kecewa. “Lagi dong Bu.”
Mama tidak menggubris permintaan murid itu. Ia berjongkok di depan murid sebelahnya yang sudah tidak sabar kontolnya digenggam Mama.
“Mau pelan, mau kasar, terserah Ibu,” kata murid itu.
“Kamu sudah sering ngocok sendiri ya?” tanya Mama sambil menggenggam kontol murid tersebut.
“Sering dong. Apalagi kalau abis ngelihat Ibu,” kata murid itu sambil mengedipkan mata.
Mama mulai mengocok kontol murid tersebut. Kontolnya lebih kecil dari murid sebelumnya, tapi lebih keras dan kepala kontolnya sudah memerah begitu Mama mengocoknya.
“Udah mau keluar nih!” seru murid itu.
“Yah lemah. Masa segitu aja udah mau keluar,” ejek murid di sebelahnya.
Tak lama kemudian pejuh bermuncratan dari kontolnya. Mama menampung semua pejuh di mangkok kaca. Murid itu terduduk lemas di kursi. Wajahnya terlihat puas, meski teman-teman di sebelahnya terus mengejeknya.
Murid ketiga lebih siap lagi menghadapi Mama. Ia sudah mengocok kontolnya sebelum Mama menyentuhnya.
“Biar enak dipegang,” ujar murid ketiga.
Mama menggenggam batang kontol yang sudah mengeras itu, lalu mengocoknya. Murid itu tersenyum-senyum saat kocokan Mama semakin cepat. “Ibu rupanya jago ngocok kontol ya,” komentarnya.
“Cepetin keluarnya, aku juga mau,” seru murid di sebelahnya tidak sabaran.
Lima menit berlalu dan pejuh murid itu tidak juga keluar. Mama sudah mencoba merangsangnya dengan memijat-mijat pelan buah zakarnya, tapi belum ada tanda-tanda pejuh bakal keluar.
“Kok gak keluar-keluar nih?” Mama kebingungan.
Murid ketiga itu cekikikan. “Coba Ibu isep deh, siapa tahu keluar.”
Murid ketiga itu melebarkan selangkangannya. Kontolnya menjulang tinggi seperti menara di tengah lapangan. Ia tersenyum lebar saat mulut Mama mendekati kontolnya.
“Ibu nakal juga ya,” komentarnya.
Mama terlihat ragu-ragu. Bibirnya sudah menempel ke kepala kontol anak itu.
“Ibu harus isep kalau mau aku cepet keluar,” kata murid itu sambil mengelus rambut Mama.
Mulut Mama terbuka, lalu melahap kontol murid tersebut. Kaki murid itu langsung mengejang.
“Ouh geli!” pekiknya.
Lidah Mama bergerilya di batang kontol murid itu sampai air liurnya berceceran di lantai. Ia menyedot batang kontol tersebut sampai pipinya cekung.
“A-aku mau keluar!” teriak murid itu.
Otot-otot paha murid itu mengejang. Cairan putih kental merembes keluar dari sudut bibir Mama. Otot-ototnya lalu mengendur kembali. Napasnya terengah-engah.
“Wah gila. Nyawaku kayak lepas,” ujarnya.
Mama mengelap pejuh yang meleleh di sudut bibirnya dengan tangan. Ia menelan pejuh murid itu sampai habis.
“Ibu kayak orang berbeda,” komentar murid itu terheran-heran melihat kebinalan Mama. “Tapi gak apa-apa deh, yang penting asik.”
“Cepetan! Duh udah gak tahan nih!” seru murid-murid lain. Mereka bangkit dari tempat duduk dan mengerumuni Mama.
“Sabar, semua pasti kebagian kok,” ujar Mama.
“Bodo amat!” seru salah satu murid. Ia menerjang Mama. Badan gempal Mama terbanting ke lantai dengan murid itu berada di atasnya.
“Udah dari kemarin aku sange ngelihat Ibu begini,” ujar murid itu dengan napas memburu. Ia melebarkan kedua paha Mama, lalu menusuk batang kontolnya yang mengeras ke memek Mama dalam-dalam.
Mama menjerit tertahan. Kedua kakinya mengangkang ke atas sehingga memek dan anusnya terbuka lebar. Sementara murid itu menggenjot memek Mama, murid-murid lain berebutan mencolok anus Mama dengan jari telunjuk mereka.
“Wih bisa berdenyut gitu!” seru mereka takjub melihat anus Mama yang bergerak menyedot ke dalam.
Murid yang menindih Mama rupanya tidak bertahan lama. Sebentar saja kontolnya sudah memompa pejuh ke memek Mama. Cairan pejuhnya berlumeran keluar dari memek Mama. Ngocoks.com
“Enak banget!” seru murid itu sambil merebahkan badan ke samping Mama.
“Sekarang aku!” ujar murid lainnya ganti menindih Mama. Kedua tangan dan kaki Mama dipegang erat-erat oleh murid-murid yang sabar menunggu. Badan Mama mengejang sebentar saat kontol murid itu menelusup ke memeknya.
“Bu Kepala Sekolah memeknya mantep bener!” erang murid itu.
Mama hendak mengerang, tapi seorang murid melumat bibirnya sampai ia susah bernapas.
“Bibir lonte nih,” komentar murid itu sambil terus mencium bibir Mama.
Begitu ciuman berhenti, Mama menarik napas panjang. Sekujur tubuhnya berkilauan karena keringat. Murid-murid kini tidak cuma mencolok anusnya, tapi juga menampar pantatnya sampai memerah.
Kejadian itu berlalu cepat sampai aku tidak menyadari kalau semua murid sudah mengentot Mama. Semua murid berdiri mengeliling Mama sambil mengocok kontol mereka yang masih basah.
“Makan nih pejuh,” komentar salah satu murid sambil cekikikan.
Beberapa menit kemudian, kontol mereka menyemprotkan pejuh di saat hampir bersamaan. Sekujur tubuh Mama basah kuyup oleh pejuh bercampur keringat.
Murid-murid itu memakai seragamnya kembali. Beberapa langsung duduk lemas di kursinya, beberapa lagi masih mengamati tubuh telanjang Mama yang tergeletak di lantai. Tangan-tangan mereka terus memelintir pentil Mama yang mengencang. Mama cuma diam, tidak sanggup melawan karena kehabisan tenaga.
Aku buru-buru membantu Mama berdiri dan segera meninggalkan kelas. Sebenarnya aku masih ingin Mama bertahan beberapa ronde lagi, tapi sepertinya ia tidak sanggup.
Sampai di kantor, Mama berbaring di sofa panjang. Keringat di badannya perlahan-lahan mengering terpapar udara sejuk AC.
Mama menutup wajahnya dengan lengan kanan. Tampaknya ia masih kaget dengan kejadian barusan. Napas yang tadinya tersenggal-senggal, kini mulai beraturan. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap.
Aku biarkan Mama beristirahat. Sekarang aku ingin ke rumah Bagas untuk melaporkan perkembangan Mama.
Rumah Bagas tutupan. Sudah sepuluh kali aku mengetuk, tapi tidak ada yang menyahut. Aku mengelilingi rumahnya. Semua pintu dan jendela terkunci dari dalam. Aku mencari celah mengintip, tapi terhalang gorden. Semua lampu terasnya pun dalam keadaan mati.
Kemana anak itu?
Tanaman-tanaman di halaman depan rumahnya menguning dan tanahnya sedikit retak. Aku bisa menebak kalau tanaman-tanaman itu tidak pernah disiram lagi dalam seminggu ini.
“Nyari siapa?”
Aku menoleh ke belakang.
Seorang bocah laki-laki memandangku dengan rasa ingin tahu. Tangan kanannya memegang sebuah layangan, sementara tangan kirinya memegang kaleng yang penuh gulungan benang.
“Ke mana penghuni rumah ini?” tanyaku.
“Oh Mas Bagas. Mereka pergi,” jawab anak itu.
“Pergi ke mana?”
Bocah itu mengangkat bahu. “Entahlah.”
Aku mengeluarkan dompet dan memberikan selembar dua puluh ribu rupiah ke bocah itu. Ia tersenyum lebar saat tangannya menyentuh uang itu.
“Aku kasih kamu dua puluh ribu lagi kalau kamu kasih tahu kenapa mereka pergi.”
“Aku gak tahu mereka pergi ke mana, tapi katanya mereka kabur dari polisi,” jawab anak itu polos. “Katanya gara-gara video itu.”
Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu video yang dimaksud. Lama-lama kelakuan Bagas pasti tercium juga karena videonya sudah tersebar. Aku merinding membayangkan kalau hal yang sama terjadi kepadaku.
Sesuai janji, aku berikan selembar dua puluh ribu lagi ke bocah itu, lalu beranjak pergi.
Bersambung…