Tiga hari berlalu sejak aku mengunjungi rumah Bagas. Aku membaca ratusan artikel berita di internet, tapi tidak ada yang membahas Bagas. Apa masalahnya sudah selesai secepat itu?
Sepulang dari rumah Bagas, aku memesan barang yang akan berperan penting untuk aksi berikutnya. Seharusnya barang itu sampai hari ini. Semoga saja. Barang itu cukup mahal dan aku minta Mama untuk membelikannya.
“Pakeeeeeeeeeet!”
Itu dia!
Aku buru-buru keluar rumah. Kurir paket berdiri di belakang pintu pagar rumah sambil membawa sebuah kardus. Aku menerima paket itu. Rupanya itu memang pesananku. Aku langsung masuk rumah karena di luar panas sekali.
Jantungku berdebar saat membuka paket itu. Di dalamnya masih ada lapisan bubble wrap tebal. Aku cukup kesulitan merobeknya. Setelah susah payah, akhirnya bubble wrap itu robek semua.
Aku angkat barang pesananku dari puing-puing bubble wrap. Ternyata barang itu agak berat, meski di Youtube tampaknya enteng sekali. Kuperhatikan baik-baik benda itu, siapa tahu ada cacat. Sejauh ini kondisinya bagus.
Sempurna!
“Mama tadi dengar suara di luar,” komentar Mama sambil mengintip dari pintu kamar.
Kutunjukkan benda itu ke Mama.
“Oh sudah sampai. Mainan pesawat-pesawatan kok mahal bener,” kata Mama.
“Ini bukan mainan biasa. Ini adalah drone,” kataku. “Bisa dikendalikan pakai remot, hape, atau laptop. Canggih bener nih.”
“Tetap aja mainan pesawat,” kata Mama.
“Besok Mama bakal segera tahu bedanya,” kataku sambil tersenyum.
Besoknya, kami sudah berada di terminal bus antar kota. Sepeda motor kutaruh di parkiran terminal bus yang teduh agar joknya tidak kepanasan. Kami berjalan dari parkiran sepeda motor ke terminal bus dengan jalan kaki.
Aku dan Mama mengenakan masker lebar dan topi sehingga wajah kami hampir tertutup. Drone dan beberapa pakaian kumasukkan ke dalam ransel besar yang terasa berat di punggungku. Rasanya ingin menyuruh Mama membawa ransel itu, tapi keseksian Mama bakal berkurang.
Semua orang mengamati kami, terutama para laki-laki. Wajar saja karena Mama memakai celana jeans pendek ketat yang menunjukkan seluruh kakinya. Celana itu melorot sampai ke bawah pinggang sehingga tali g-string hitamnya terlihat jelas.
Kalau orang-orang itu menatap Mama baik-baik, mereka akan melihat beberapa helai bulu jembut Mama yang mencuat keluar dari atas g-string.
Untuk atasan, Mama mengenakan kaus putih ketat yang bagian bawahnya dipotong sehingga memamerkan seluruh perutnya. Kedua pentilnya menyemplak di balik kausnya yang agak transparan karena Mama tidak memakai beha.
Orang-orang memandang Mama heran sekaligus takjub. Para laki-laki tertawa cekikikan, sementara para wanita memandang Mama risih lalu cepat-cepat pergi.
“Kamu gak bawa jaket ya?” tanya Mama. Meski sudah sering telanjang di depan umum, suaranya masih saja gugup. Sepertinya Mama selalu gugup di tempat baru.
Aku menggeleng. “Mama tenang aja. Sekarang Mama beli tiket bus dong. Aku lupa beli tiket online.”
Dulu selalu ada antrian panjang di depan loket, tapi sekarang cuma ada dua laki-laki yang mengantri. Sekarang tiket bus bisa dibeli lewat aplikasi, lalu dicetak di mesin tiket terdekat. Tapi loket tetap menerima pembelian tiket manual karena masih banyak orang yang tidak tahu cara membeli tiket online.
Dua laki-laki yang mengantri itu terkejut saat Mama mendekati mereka. Mereka tersenyum ke Mama, tapi mata mereka menatap bagian dada Mama.
“Kak ini tiketnya,” ujar petugas tiket di dalam loket. Wajahnya tampak kesal karena orang yang dipanggil tidak menoleh. “Kak ini tiketnya,” ulangnya lagi dengan nada nyaring.
“Eh iya,” ujar laki-laki itu sambil mengambil selembar tiket. Ia bergegas pergi, tapi matanya masih menatap Mama.
Laki-laki satunya masih menoleh ke Mama, sedangkan tangannya mengeluarkan dompet untuk membayar tiket.
“Kak ini uangnya kebanyakan. Tiketnya Rp100.000. Uang Kakak kelebihan Rp200.000,” ujar petugas loket kesal.
“Oh maaf maaf.” Laki-laki itu memasukkan kembali kelebihan uangnya, lalu memberikan selembar uang ke petugas itu. Setelah urusannya beres, ia pun pergi dan masih menatap Mama seperti laki-laki sebelumnya.
Sekarang giliran Mama.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas loket. Meski wajahnya datar, tapi sepasang matanya terbelalak melihat Mama yang berdiri di depannya.
“Tiket untuk dua orang dewasa,” kata Mama.
“Tujuan?”
Mama menyebut kota tujuan.
“Rp200.000 ya kak,” ujar petugas loket. Mama memberikan dua lembar Rp100.000 ke petugas loket, mengambil dua tiket, lalu cepat-cepat pergi. Petugas itu melongo melihat kepergian Mama.
Mama menghampiriku. Meski ia memakai masker, aku bisa melihat wajahnya yang memerah karena malu. Ia menunjukkan dua tiket. “Udah dapat nih.”
“Bagus, sekarang kita naik bus,” kataku sambil menarik tali g-string Mama.
Dari loket, kami harus menunggu bus di ruang tunggu yang letaknya sekitar empat meter dari loket. Ruang tunggu itu adalah ruangan tanpa dinding yang diisi deretan kursi panjang.
Di hari libur, deretan kursi itu dipenuhi pengunjung yang ingin ke kota, bahkan biasanya ada yang sampai duduk bersila di lantai. Tapi karena ini hari biasa, jadi ruang tunggu itu cukup sepi. Cuma ada beberapa kursi yang diduduki, beberapa orang lebih suka berdiri sambil merokok.
Kami duduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong dan agak menyendiri dari kursi lain. Beberapa orang yang duduk di kursi lainnya mengamati kami. Mama menggeser-geser duduknya karena merasa risih.
“Santai aja Ma, toh mereka gak kenal kita,” kataku menenangkan.
Kuelus paha Mama yang mulus tapi agak lengket karena keringat. Perlahan-lahan birahiku naik. Ngocoks.com
“Mama jangan banyak gerak,” kataku. Kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku ke depan g-string Mama. Sebentar saja aku sudah menyentuh lubang memeknya yang hangat dan kasar karena jembutnya sudah panjang.
“Wah Mama harus cukup jembut lagi nih,” komentarku sambil mengelus-elus jembutnya.
Kumasukkan jari telunjukku ke memek Mama. Kedua paha Mama langsung mengejang. Tangan kanan Mama refleks menahan tanganku, tapi tenaganya kalah kuat. Jari telunjukku menerobos lubang memeknya semakin dalam.
“Aduh jangan di sini,” suara Mama tertahan.
“Biar Mama gak tegang,” kataku. Seluruh jari telunjukku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Mama.
Mama menggigit bibir bawahnya. Tangannya masih berusaha menahan tanganku agar tidak bertindak lebih jauh, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Aku bisa merasakan dinding memeknya berdenyut-denyut dan basah.
Kugerakkan ujung jariku. Mama tersentak. “Geli!” pekiknya.
Orang-orang semakin penasaran menatap kami. Mereka menggeser duduknya supaya bisa melihat kami lebih jelas.
Ujung jari telunjukku bergerak semakin cepat. Mama merintih menahan geli dan sakit. Memeknya semakin basah sampai aku bisa mendengar suara seperti cipratan air dari sela-sela g-string Mama.
“Ouh!” Mama menjerit nyaring. G-string Mama basah kuyup. Kutarik jari telunjukku yang kini dilumuri cairan bening kental.
“Wah wah Mama nikmatin juga,” kataku kagum.
Napas Mama tersenggal-senggal. Kedua tangannya menggantung lemas di sandaran kursi. Kedua kakinya terbuka lebar.
Aku baru saja mau mengelap jariku yang basah dengan tisu saat bus kami berhenti di depan ruang tunggu. Orang-orang yang punya tujuan sama dengan kami langsung bergegas masuk ke dalam bus.
Mama bangkit dari kursi, tapi langsung kutahan. “Tunggu sebentar.”
“Kenapa?”
Celana Mama kuturunkan lagi sampai ke pertengahan pahanya. G-string yang dikenakannya kini terlihat seluruhnya.
“Nah begini mantap. Yuk kita naik bus,” kataku sambil menampar pantat Mama.