Meski AC mobil menyala, tubuh Mama berkeringat. Aku mengelap kening dan lehernya dengan tisu.
“Ma-mama takut sekali,” kata Mama.
“Mama udah aman sekarang,” kataku. Aku menepuk pundak Mama supaya dia lebih tenang. “Mama mau langsung pulang atau kita mampir beli makan dulu?”
“Langsung pulang aja. Mama gak nafsu makan,” jawab Mama.
“Ini masih jauh, mendingan Mama tidur bentar. Nanti aku bangunin kalau udah mau sampai,” kataku.
Mama memejamkan mata. Napasnya mulai teratur dan keringatnya perlahan-lahan berhenti. Kepalanya tersandar di kaca jendela mobil.
Kamera smartphone kunyalakan lagi. Kuarahkan ke wajah Mama, lalu turun ke kakinya. Begitu berulang-ulang sampai aku mendapat lima video Mama. Cukup sulit juga karena aku cuma bisa pakai tangan kiriku untuk merekam Mama, sementara tangan kananku memegang kemudi.
Sulit untuk fokus melihat jalan karena aku sesekali menoleh ke Mama. Tetek dan memeknya terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Ketika lagi memegang persneling, aku sengaja menempelkan siku tangan kiriku ke tetek Mama. Rasanya seperti menempel di bantalan karet. Kontolku semakin keras karena menyadari pentil Mama terjepit siku tanganku.
Sepertinya Mama tidak menggubris kenakalan tanganku. Kedua matanya masih terpejam.
Kami tiba di rumah. Aku bersyukur bisa sampai dengan selamat karena aku kurang jago mengendarai mobil.
Setelah memarkir mobil, aku turun untuk membuka pintu Mama.
“Gak ada tetangga ‘kan?” tanya Mama.
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Rumah tetangga sebelah terlihat kosong.
“Gak ada. Aman deh,” kataku.
Kupapah Mama sampai masuk ke rumah.
Mama langsung merebahkan diri di sofa. Sepertinya ia sudah merasa jauh lebih baik.
“Mama mau teh? Kopi?” tanyaku.
“Teh aja,” jawabnya.
Aku pergi ke dapur untuk merebus air. Sebentar kemudian, Mama masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar suara tangisannya.
Malang bener Mama! Tapi aku dapat banyak keuntungan dari kejadian tadi.
Suara tangisan Mama berhenti, lalu tergantikan suara guyuran air. Sepertinya Mama sedang Mandi.
Kutaruh gelas teh panas ke atas meja dapur.
“Teh Mama aku taruh di meja ya! Aku mau ganti baju dulu,” kataku sambil berjalan ke kamar.
Sampai di kamar, aku langsung membuka hasil rekaman di smartphone. Meski kamera sempat goyang beberapa kali, tapi hasilnya cukup jelas. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Bagas melihat ini!
Aku mengganti pakaian, lalu ke dapur.
Mama sedang duduk di kursi sambil melamun. Ia sudah berganti pakaian. Teh buatanku belum berkurang, pertanda belum disentuhnya.
“Mama udah enakan?” tanyaku.
Ia menggeleng. Air matanya kembali bercucuran. “Mama masih trauma gara-gara kejadian tadi. Kehormatan Mama hancur sudah.”
“Maaf, aku tadi kelamaan mencari jalan keluar sampai Mama dikerjain mereka. Coba kalau aku datang lebih cepat,” kataku dengan nada menyesal yang kubuat-buat.
Mama mengelus rambutku. “Ini bukan salah kamu. Mama justru berterima kasih karena kamu sudah gagah berani ngebela Mama.”
“Mama mendingan istirahat sekarang,” kataku.
“Badan Mama pegel-pegel. Kamu bisa mijetin Mama sebentar?”
Kesempatan memegang tubuh Mama lagi? Tentu saja aku langsung mengiyakan!
“Mama mau dipijet di kamar atau di ruang tamu?” tanyaku.
“Di kamar aja deh biar Mama langsung tidur,” jawab Mama.
Kami pindah ke kamar Mama. Ia langsung tidur tengkurap di kasur.
“Pakai minyak kayu putih di meja,” ujar Mama.
Aku mencari botol minyak kayu putih di antara botol-botol skincare Mama. Setelah dapat, aku naik ke kasur mendekati Mama.
“Daster Mama dinaikin aja,” kata Mama. Ia sedikit menaikan badannya supaya aku lebih mudah menyibak dasternya.
Sesuai kemauan Mama, dasternya kunaikan sampai melewati punggungnya. Ia tidak memakai beha, tapi masih memakai sempak.
Celanaku terasa sempit lagi.
Kubalurkan minyak kayu putih ke punggungnya yang cokelat. Kutekan jempolku pelan-pelan di punggungnya.
“Gimana Ma?” tanyaku.
“Enak banget. Kamu jago mijet kayak Papa,” kata Mama sambil memejamkan mata.
Setelah semua area punggungnya kupijat, aku pindah ke pundak Mama. Pundak Mama terasa keras. Mama sering cerita kalau di masa kecil dan remajanya, ia sudah membantu orangtuanya bekerja di ladang.
“Sakit gak?” tanyaku saat menekan pundaknya.
Mama membisu. Tak lama kemudian, ia mendengkur. Badannya sampai bergetar setiap kali ia mendengkur.
Hari ini benar-benar hari keberuntunganku!
Pijatanku bergerak turun ke pantatnya. Aku merasa kasihan melihat sempak Mama yang kecil dan sempit harus menahan bongkahan pantat Mama yang setebal bantal. Kupegang karet sempaknya, lalu kutarik turun sampai seluruh pantatnya keluar.
Aku menggosok tanganku karena tegang. Jika Mama terbangun, aku bisa beralasan memijat pantatnya.
Agar tidak mengganggu, sempak Mama kuturunkan sampai melewati ujung kakinya. Sempak itu kutaruh di kursi.
Pelan-pelan kedua paha Mama kulebarkan. Belahan pantatnya ikut melebar mengikuti pahanya.
Kudekatkan hidungku ke belahan pantatnya. Ah, aku rindu aroma keringat bercampur pesing ini.
Mama menggumam saat belahan pantatnya kubuka sedikit, lalu lanjut mendengkur. Pelan-pelan tapi pasti, anusnya mulai terlihat. Belahan pantatnya terus kulebarkan sampai aku bisa melihat rongga anusnya yang gelap.
Lidahku terjulur keluar mendekati anusnya. Rasa asin menjalar saat ujung lidahku menyentuh pinggiran anus Mama.
Anus Mama kujilati sampai pinggiran anusnya basah terkena air ludahku. Jilatanku turun ke belahan memeknya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu jembut kecil.
Sayangnya aku cuma bisa menjilati ujung belakang memek Mama. Kalau saja posisi Mama terlentang, aku bisa saja menjilati seluruh memeknya.
“Ahmmmmm…,” gumam Mama.
Jilatanku berhenti. Keringat dingin membasahi keningku. Pantat Mama bergerak sebentar, lalu diam. Mungkin ia agak terganggu jilatanku.
Aku tidak tahan lagi. Kontolku perlu ditenangkan. Kukeluarkan kontolku. Kepala kontolku memerah dan siap meledak kapan saja.
Anus Mama tetap kubuka dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku sibuk mengocok kontol yang bergerak menuju anus Mama.
Ketika ujung kepala kontolku menyentuh anus Mama, rasanya sulit dijelaskan. Belahan pantatnya begitu hangat. Pantat Mama begitu besar sehingga kontolku terjepit di belahannya.
Pikiranku melayang. Mataku terpejam. Akhirnya aku bisa mencicipi pantatnya!
Kepala kontolku bergerak maju mundur menyentuh anus Mama. Ingin sekali menyodok anusnya sampai dalam, tapi Mama jelas bakal terbangun.
Kontolku semakin membesar. Aku buru-buru mencabut kontolku dari pantat Mama, lalu kukocok di bongkahan pantatnya.
Sebentar saja, kontolku menyemburkan banyak sekali pejuh. Cairah putih itu memenuhi pantat Mama.
“Nak?” Mama membuka matanya.
Aku buru-buru memijat pantat Mama. Kupakai pejuhku sebagai pengganti minyak kayu putih.
“Mama gak keberatan kalau pantatnya kupijat ‘kan?” tanyaku sambil memijat pantatnya. Pantatnya berkilauan karena dilumuri pejuh.
Mama menggeleng. “Enak gini kenapa harus keberatan? Eh, jarimu jangan diselipin di situ. Geli.”
“Bercanda aja Ma,” kataku sambil mencabut jariku dari belahan pantatnya. “Bagian depan Mama dipijet juga?”
“Gak usah. Kasihan kamu capek.”
“Gak masalah Ma. Yang penting Mama senang.”
Mama membalikkan badan. Punggung dan pantatnya kini tergantikan tetek dan memeknya. Aku menahan napas melihat tetek Mama yang bergerak naik turun mengikuti napas Mama.
Kugosok perut Mama dengan minyak kayu putih. Telapak tanganku meluncur santai di permukaan kulitnya yang halus.
Kuputar tanganku di sekitar udel Mama. Ia tersenyum saat jariku menyentuh udelnya. “Geli.”
“Tetek Mama mau kupijat juga?”
“Pijet aja. Kenapa harus minta izin?”
“Nanti Mama marah kalau teteknya kusentuh,” kataku sambil menuang minyak kayu putih di belahan teteknya.
“Cuma pijet doang. Kecuali kamu orang asing, baru Mama marah.”
Kuremas kedua tetek Mama. Meski sudah agak turun, tapi tetek Mama masih kencang. Kontolku yang tadinya sudah tenang, kini menegang kembali.
“Aduh, pelan-pelan.,” Mama mengernyitkan dahi. Jariku menyentuh memar bekas remasan orang-orang di pasar. Aku langsung memijat area yang lain.
“Apa Papa perlu tahu soal ini?” tanyaku.
Mama menggeleng. “Gak perlu. Mama gak mau ngerepotin Papa. Dia bakal lapor polisi dan Mama gak mau kasus ini jadi makin panjang. Apalagi Mama konyol karena gak pakai celana di pasar.”
Aku menundukkan kepala supaya terlihat sedih. “Itu semua salahku. Aku yang ngusulin itu ke Mama.”
“Udah, bukan salah kamu kok. Mama gak pernah salahin anak Mama,” katanya lembut sambil mengelus rambutku.
“Moga-moga beritanya gak nyebar,” kataku.
“Iya, reputasi Mama bisa hancur nanti. Eh jangan tetek Mama melulu yang dipijet. Bagian lain juga dong.”
“Oke, Ma.” Aku langsung memijat perut Mama.
“Omong-omong celana kamu kenapa tuh?” Mama menunjuk ke tengah celanaku yang menonjol.
“Penisku lagi tegang Ma,” jawabku gelagapan.
“Tegang kenapa?” Mama melirik ke teteknya. “Tegang karena lihat tetek Mama?”
“Abisnya Mama seksi banget,” jawabku seadanya.
Mama menatap tonjolan di celanaku. “Apa iya segede itu?”
“Gede apanya Ma?”
“Penis kamu.”
“Gede dong,” jawabku sombong. “Mama boleh lihat kalau gak percaya.”
“Coba Mama lihat,” kata Mama.
Jantungku seolah berhenti mendengar jawaban tak terduga itu.
“Li-lihat apa?”
“Lihat penismu.”
“Bo-boleh Ma.”
Mama tercengang saat kukeluarkan kontolku yang berdiri tegak.
“Gede bener!” serunya.
Ia memintaku memasukkan kembali kontolku ke celana. Aku kecewa karena aku ingin menunjukkan kontolku lebih lama.
Kami lanjut mengobrol sampai tiba waktunya Mama rapat di Zoom. Mama mengganti pakaiannya dengan kemeja dan rambutnya ditutupi jilbab. Sekejap saja ia sudah berubah jadi Mama si Kepala Sekolah.
Aku kagum melihat Mama berusaha tampil normal, padahal baru saja nyaris diperkosa banyak orang.
Selagi Mama bersiap rapat di Zoom, aku balik ke kamarku untuk menonton ulang rekaman-rekaman yang kubuat.
Kontolku menegang lagi. Sial!
Di sekolah, Mama tampil normal seperti biasa. Ia mengobrol dengan para guru, memarahi siswa-siswa yang tertangkap bolos sekolah, dan meminta tolong aku untuk membawakan berkas-berkasnya. Seolah-olah kemarin tidak terjadi apa-apa.
Aku dan Mama sepakat untuk tidak menceritakan kejadian kemarin ke Papa. Biarlah cuma orang-orang pasar yang tahu.
Sepulang sekolah, aku bilang ke Mama untuk pulang duluan karena mau nongkrong sampai sore. Indra mengantarku sampai ke rumah, lalu aku naik sepeda motorku sendiri ke rumah Bagas. Aku ingin minta pendapatnya soal kejadian kemarin.
Sampai di rumah Bagas, aku tidak menemukan siapa-siapa. Aku mengetuk pintunya beberapa kali dan menunggu, tapi tetap tidak ada yang datang.
Aku mengelilingi halaman rumahnya. Di bagian belakang rumahnya terdapat pagar tembok yang rusak. Pagar itu sepertinya sudah ada di situ jauh lebih dulu daripada rumah Bagas. Pagar tembok itu terbentang cukup panjang di pinggir jalan dan ujungnya tertutup semak belukar. Di seberang pagar juga terdapat semak belukar yang sama tingginya dengan di ujung pagar.
Ketika aku hendak menyeberang jalan, semak-semak di depanku bergoyang. Aku melangkah mundur karena khawatir ada biawak atau hewan buas lainnya yang bersembunyi di balik semak-semak.
Terdengar suara bisikan dari arah semak-semak. “Sssst… cepat ke sini.”
Aku mengenalnya sebagai suara Bagas.
“Kamu ngapain di situ?” tanyaku.
“Nanti kamu tahu sendiri. Cepet ke sini,” bisik Bagas.
Kusibak semak-semak itu. Bagas sedang duduk di belakang pohon. Matanya bergerak ke arah lain.
“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.
“Lihat itu.” Bagas menunjuk ke ujung pagar tembok.
Di dekat ujung pagar yang tertutup semak, ada bagian pagar yang berlubang besar di tengah. Aku kaget melihat ada pantat dan kaki telanjang manusia yang menyembul di lubang itu.
“Ibumu?”
“Siapa lagi,” ujar Bagas dengan nada bangga. “Aku suruh dia menjepitkan diri ke lubang itu. Kita lihat reaksi orang-orang yang lewat.”
Aku memandang posisi Romlah yang menungging di lubang pagar. Bagas memang rada gila, tapi aku pun sama gilanya.
Tok! Tok! Tok!
Di kejauhan, terdengar suara tongkat kayu dipukul berkali-kali. Aku menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. Sekitar sepuluh meter dari kami, ada gerobak yang didorong.
“Ah penjual bakso yang beruntung,” kata Bagas. “Nah, ayo kita lihat apa yang akan terjadi.”
Suara gerobak semakin mendekat. Perasaan tegang, cemas, dan penasaran menguasai pikiranku. Bagas mungkin merasakan hal yang sama, tapi wajahnya terlihat tenang.
Gerobak bakso itu berhenti sebentar. Penjual bakso melongok ke Romlah. Ia memarkir gerobaknya ke samping jalan, lalu berjalan mendekati Romlah.
Penjual bakso itu tampak tertegun melihat pantat Romlah. Ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang melihat. Kemudian ia menampar pantat Romlah keras-keras.
PLAK!
Di sebelah pagar satunya terdengar suara Romlah mengerang kesakitan. Kedua kakinya bergerak-gerak.
PLAK! PLAK! PLAK!
Penjual bakso itu menampar berulang kali. Pantat Romlah sampai memerah.
Setelah puas, penjual bakso itu berjongkok tepat di belakang Romlah. Ia membuka belahan pantat Romlah, lalu membenamkan wajahnya ke belahan pantat. Aku bisa mendengar suara napas si penjual bakso yang memburu.
Penjual bakso itu berdiri. Ia melirik ke kiri dan kanan lagi. Tangannya masuk ke dalam celana, lalu ia mengeluarkan kontolnya yang sudah berdiri.
Pantat Romlah dibuka lebar-lebar, lalu anus dan memeknya diludahi.
“Aduh!” jerit Romlah saat kontol penjual bakso itu menerobos memeknya.
Pinggang si penjual bakso bergerak maju mundur. Ia menekan pinggangnya dalam-dalam sampai seluruh kontolnya masuk ke memek Romlah.
“Punya ibu yang serba nurut memang seru,” bisik Bagas sambil cekikikan.
Penjual bakso itu mencengkeram pantat Romlah. Kedua kakinya mengejang, lalu lemas. Ia mencabut kontolnya dari memek Romlah. Pejuhnya berhamburan keluar dari dalam memek Romlah. Ia memijat batang kontolnya sampai sisa-sisa pejuhnya keluar dan menetes di pantat Romlah.
Setelah pejuhnya habis, penjual bakso itu memakai celananya kembali. Ia balik ke gerobaknya, lalu cepat-cepat menjauhi Romlah.
Begitu penjual bakso menjauh, aku dan Bagas keluar dari persembunyian.
“Gimana? Keren gak?” tanya Bagas.
“Keren banget! Tapi kamu gak sakit hati ngelihat ibumu dikentot orang lain?”
Bagas menggeleng. “Nggak sama sekali. Aku malah senang lihat dia dikentot banyak orang.”
Kupandangi pantat Romlah yang masih menungging. Pejuh si penjual bakso masih berceceran di pantatnya.
Bagas menepuk pantat ibunya. “Mau coba ibuku?”
“Sekarang?”
Bagas mengangguk. “Iya sekarang.”
“Di sini?”
Ia mengangguk lagi.
“Kalau ada orang lewat gimana?” tanyaku.
“Kalau cowok, kita ajak dia ikut mengentot ibuku. Kalau cewek, biarin saja dia nonton,” jawab Bagas. Ia menampar pantat ibunya. “Yuk, cepetan kentot ibuku. Abis itu kita ngobrol-ngobrol.”
Di satu sisi, aku kasihan melihat Romlah. Tapi di sisi lain, aku ingin mencicipi tubuhnya yang montok.
“Tapi aku masih perjaka,” aku mengakui.
“Lalu?” Bagas memandangku heran. “Kalau gitu biarkan ibuku jadi wanita pertama yang kamu cicipi.”
Kupandangi pantat Romlah yang berkeringat karena terpapar sinar matahari. Celanaku mulai menyempit.
“Oke,” kataku sambil berdiri di belakang Romlah. “Kau gak ikut?”
Bagas mengangkat bahu. “Aku sudah bosan mengentotnya. Aku mau nonton saja.”
Pantat Romlah mengeras saat aku mencengkeram pantatnya. Bekas-bekas tamparan si penjual bakso masih tampak jelas. Rasanya pasti menyakitkan.
Celanaku melorot begitu ikat pinggangnya kulepas. Batang kontolku tegak berdiri menantang pantat Romlah di depannya. Belahan pantatnya kubuka, lalu kugesek batang kontolku di antara belahan pantatnya. Belahan pantatnya terasa licin karena terlumasi keringat. Rasanya seperti mengocok kontol pakai sabun.
Setelah puas pemanasan, kuarahkan kontolku ke memeknya. Rupanya melakukan gaya doggy style tidak semudah di film-film bokep. Pantat Romlah begitu besar sehingga kontolku sulit mencapai memeknya. Aku harus menekan kontolku semaksimal mungkin sampai kepala kontolku berhasil masuk ke memeknya.
Romlah menjerit pelan saat kontolku bergerak maju mundur di memeknya. Akhirnya aku lepas perjaka juga meskipun di memek ibu orang lain.
Punggung Romlah penuh lecet karena tergesek pinggiran lubang tembok yang tajam. AKu usap punggungnya supaya bersih dari debu-debu tembok. Aku baru menyadari kalau Romlah dan Mama punya banyak kemiripan. Tetek mereka sebesar pepaya, tubuh gempal, ukuran pantat sebesar bantal, dan kulit mereka sama-sama berwarna cokelat. Aku merasa seperti mengentot Mama.
“Oh Mama,” desahku.
Memek Romlah semakin licin sehingga kontolku lebih mudah bergerak. Suara gesekan kontolku terdengar seperti suara kaki yang menginjak lumpur.
Kontolku semakin mengeras, diikuti memek Romlah yang semakin menjepit. Pikiranku melayang. Jari-jari tanganku semakin keras mencengkeram pantat Romlah. Gerakan pinggulku semakin cepat.
Detik kemudian, kontolku memompa pejuh ke dalam memek Romlah.
“Enaknya!” jeritku.
Setelah pengiriman pejuh berhasil, kucabut kontolku dari memeknya. Pejuhku merembes keluar dari dalam memek Romlah. Kuambil pejuh yang merembes itu dengan jari telunjuk, lalu aku oles ke anus Romlah.
Bagas bertepuk tangan. “Wah gila! Kamu baru pertama kali mengentot, tapi sudah liar begitu.”
Kupakai celanaku. “Jujur saja, rasanya luar biasa.”
“Sekarang bantu aku mengeluarkan ibuku dari lubang ini,” kata Bagas. Ia memanjat pagar tembok itu dan turun di sisi lainnya. “Aku dorong ibuku dari sini, kamu tarik dia dari sana ya.”
Bagas memberi aba-aba supaya aku bersiap. Di hitungan ketiga, kutarik pinggang Romlah. Lubang itu cukup sempit sehingga agak sulit mengeluarkan Romlah. Setelah beberapa menit, kami berhasil mengeluarkan Romlah dari lubang.
Romlah cuma memakai kaos, sementara seluruh bagian bawah tubuhnya telanjang. Ia menepuk paha dan perutnya untuk mengusir debu. Bagas ikut membersihkan punggung ibunya. Ia menyuruh ibunya mandi. Romlah menuruti perkataan anaknya tanpa bertanya.
“Ibumu benar-benar seperti robot,” komentarku sambil memandang Romlah yang berbelok ke arah rumahnya. “Apa dia gak pernah menolak?”
“Awalnya sih dia sering nolak, tapi lama-lama pasrah juga,” kata Bagas. “Dia malu kasih lihat teteknya ke orang lain karena dia gak pernah begitu. Tapi karena sering kusuruh kasih lihat teteknya, dia jadi terbiasa. Katanya sih dia masih malu, tapi gak malu-malu banget kayak dulu.”
“Jadi ini cuma soal kebiasaan,” kataku.
Kami berjalan di pinggir sawah. Seekor kerbau mengamati kami seolah-olah kami adalah makhluk asing.
“Gimana perkembanganmu sama ibumu?” tanya Bagas.
Aku menepuk jidat. Nyaris saja aku lupa tujuanku ke sini. Kuceritakan pengalaman-pengalamanku ke Bagas. Ia menatapku dengan takjub.
“Seriusan? Kamu suka melihat ibumu digrepe-grepe banyak orang?”
Aku mengangguk.
“Berarti kita punya banyak kesamaan,” ujar Bagas. “Coba lihat rekamannya?”
Kuberikan smartphone-ku ke Bagas. Kami menonton rekaman kejadian-kejadian kemarin. Bagas bersiul. “Luar biasa. Ini keren bener!” Ngocoks.com
“Jadi gimana? Apa ini sudah cukup buat mengancam ibuku?” tanyaku.
Bagas mengangguk. “Ini sudah lebih dari cukup! Kamu gak perlu menjalankan rencanamu saat jalan santai nanti. Pakai saja video-video ini buat ngancam ibumu.”
“Terus menurutmu enaknya gimana cara ngancem ibuku?”
“Aku cuma bisa memikirkan dua cara,” kata Bagas. “Kamu bisa menunjukkannya ke ibumu langsung seperti caraku. Bisa juga kamu menyamar jadi orang lain, terus kamu ancam bakal mengirim video-video ini ke saudara-saudaramu.
Cara pertama bakal mengundang kemarahan ibumu, tapi dia bisa langsung nurut saat itu juga. Cara kedua lebih aman karena dia gak tahu kalau kamu pelakunya, tapi kamu harus menjaga identitasmu biar gak ketahuan ibumu.”
Aku berpikir keras. Kedua-duanya butuh keberanian besar untuk dilakukan.
“Aku mau coba cara pertama,” kataku. “Aku mau terang-terangan memperbudak ibuku.”
Kerbau di depan kami melenguh seolah setuju denganku.
“Ya terserah kamu, tapi inget risikonya,” kata Bagas. “Jadi kamu mau langsung tunjukin video itu ke ibumu atau gimana?”
Sebuah ide terlintas di benakku. Kukatakan ide itu ke Bagas. Matanya berbinar-binar.
“Wah kamu memang keren. Aku kira kamu mau pakai cara yang sama sepertiku,” ia memujiku.
“Aku ingin menikmati reaksi ibuku ketika tahu kelakuan anaknya,” kataku. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras lagi.
“Oke, berarti kita coret rencanamu sebelumnya. Cara baru ini lebih keren. Aku gak kepikiran ada cara ini, meski agak ribet,” kata Bagas. “Kapan kamu mau lakukan?”
“Secepatnya,” jawabku.
Aku pamit pulang. Di sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan rencana yang bakal aku lakukan besok. Entah hasilnya bagaimana, tapi aku sudah terlanjur masuk sejauh ini.
Tunggu saja, pikirku.
Bersambung…