Cerita Sex Investasi Perkebunan – Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Begitu bunyi peribahasa yang kuingat dari pelajaran ketika di SD pada masa lalu. Peribahasa itu sekarang menjadi kenyataan di dalam hidupku. Sejak aku berinvestasi di perkebunan singkong dengan areal yang lumayan luas, tidak hanya uang banyak yang kudapat, tetapi juga ke ria an sex aku peroleh.
Setiap akhir pekan aku berada di perkebunanku sambil mengawasi penanaman maupun panen. Sebetulnya mondar-mandir Jakarta ke perkebunan ini cukup melelahkan, karena letaknya cukup jauh.
Namun karena aku menyenangi pertanian untuk mengisi kegiatan di hari tua sehingga tidak terasa berat, malah menyenangkan. Berkebun jadi makin menyenangkan karena muncul berbagai macam wanita, yang menjadi hiburanku pada malam-malam sunyi.
Di usia menjelang 50 tahun, aku normal, tidak tergolong maniak sex. Olah raga juga tidak pernah aku lakukan, kecuali jalan pagi yang hampir setiap hari aku habiskan sekitar 1 jam.
Ngocoks Badan ku lumayan sehat, belum ada penyakit yang mengkhawatirkan, semua indikasi kesehatan menunjukkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, misalnya tidak diabetes, tidak darah tinggi, kolesterol normal, asam urat juga normal. Tinggi ku sekitar 170 berat 65.
Setiap aku general chek up tahunan, dokter selalu memuji bahwa kebugaranku prima, mereka malah menyebutkan kondisiku seperti 10 tahun lebih muda. Para dokter pasti kemudian menanyakan “Apa rahasianya ? Sebenarnya tidak ada rahasia.
Aku hanya membatasi makan, dengan makanan yang sehat dan makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang. Kalau kutaksir aku sudah mendapat asupan 2000 kalori, maka aku berhenti makan, hanya minum air putih saja sebanyak-banyaknya.
Kebiasaan itu sudah cukup lama. Tidak ada rahasia seperti yang ingin diketahui dokter, karena semua orang pasti tahu. Aku hanya berusaha mengendalikan diri dan harus menang dalam perang dengan diri sendiri.
Aku kira tidak ada yang belum tahu soal ini, tetapi yang menjalaninya mungkin hanya sedikit. Berkat sikap hidupku itu, tidak ada keinginanku yang tidak tercapai. Ini bukan menyombongkan diri, kan ada pepatah, “dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Pepatah seperti ini kan tidak membatasi kemauan apa atau keinginan apa.
Terlalu panjang menyombongkan diri nggak enak juga ya, tapi ya begitulah keadaanku, Jadi aku ingin menegaskan bahwa aku bukan superman, aku orang yang normal seperti kabanyakan orang.
Hasil tabungan, maupun hasil hobby main internet sambil trading, aku bisa mengumpulkan tabungan yang lumayan, sehingga bisa membangun villa serta mempunyai garapan dgn kerjasama dengan petani untuk lahan seluas sekitar 200 ha.
Baru 3 bulan rumah villaku rampung dibangun. Bentuknya memang eksotis dan sangat menyatu dengan alam perkebunan. Ini adalah vila ku, berada di dataran tinggi sehingga hawanya sejuk sepanjang hari, tetapi jika malam, bisa membuat menggigil.
Letak villaku bukan di Puncak atau di daerah-daerah mahal, tetapi jauh di pedalaman, di daerah pertanian yang kalau ditempuh dari Jakarta bisa sampai 6-8 jam.
Aku berada di villaku setiap minggu hanya hari Sabtu dan Minggu. Meski begitu, semua peralatan rumah sudah lengkap, sampai kamar mandi dengan air panas.Aku menginap di atas awalnya selalu ditemani istriku.
Maka dialah yang mengurus segala-galanya. Kadang-kadang anak ku ikut juga untuk refreshing katanya. Namun kemudian istriku malas ikut ke kebun, karena sepi katanya.
Maklum dia memang lahir dan besar di Jakarta, jadi tidak betah tinggal di alam yang sepi. Anakku pun sudah bosan ke kebun, dia lebih memilih nongkrong di mall dari pada jongkok di depan perapian di kebun sambil menunggu singkong bakarnya mateng.
Masalah mulai timbul, karena jika menginap, jadinya aku tidur sendirian dan tidak ada yang mengurus rumah ini. Salah seorang kepercayaanku di kebun ini menawarkan pembantu untuk memberesi rumahku.
Aku pikir sih oke-oke saja. Apalagi katanya yang ditawarkan itu adalah saudara istrinya. Pak Sudin demikian aku mengenalnya, memang lahir dan besar di daerah ini.
Suatu siang ketika sedang istirahat siang, Pak Sudin memperkenalkan seorang gadis, yang ternyata janda. Abis kelihatannya masih muda, lumayan cakep, meski penampilan desanya masih kental.
Dia menyalamiku dan menyebut namanya Imah. Otak jahatku mengipas agar aku menerima saja gadis, eh janda itu untuk bekerja dirumah ku.
Siapa tahu bisa memberi layanan plus, kan lumayan, jadi tambah betah. Kuakui bahwa di usia senja ini vitalitasku untuk urusan selangkangan masih normal, hanya istriku yang lebih muda setahun dari ku setelah manupause, dia seperti kehilangan selera.
Jadi sering menolak “ajakan” ku. Jadi terbayang gimana ya pria yang punya istri lebih tua, istrinya pasti lebih cepat kedaluwarsa dari dia. Jadi otak jahatku ada ngarep dot com pada Imah.
Sebaliknya otak baikku mencegah jangan sampai terjadi affair gila itu, karena risikonya lebih besar dari rasa nikmatnya. Betul juga sih. Apalagi sampai ketauan istri, tau pula Pak Sudin yang hormatnya kepadaku kadang berlebihan. Ah yang penting rumahku rapi dan terurus, itu sajalah targetnya, kata hatiku yang lurus.
Sampai 3 bulan Imah tinggal bersama ku, situasi aman-aman saja. Tetapi aku tidak berani berterus-terang menceritakan ke istriku bahwa aku sudah punya pembantu, si Imah aku fungsikan sebagai pesuruh kantor, jika ada istriku datang menginap. Jadi waktunya banyak dihabiskan di bawah.
Tapi istriku sekarang sudah sama sekali ogah ke kebun, tapi duitnya demen. Dia pun ketika melihat Imah tidak curiga, lha wong dia bekerja melayani kebutuhan kerja pegawai di bawah, seolah-olah memberesi rumahku hanya kerja sambilan. Padahal sih sebaliknya.
Imah cukup rajin bekerja, sikapnya baik bisa menyesuaikan diri dengan semua orang, sangat menghormatiku, meski kadang-kadang aku menangkap pandangan matanya yang agak nakal kepadaku.
Tapi aku pikir perempuan Jawa Barat memang suka begitu kalau memandang laki-laki, karena aku sering menangkap sorot mata seperti itu di banyak tempat di Jawa Barat. Mungkin juga itu bagian dari keramahan.
Semakin hari Imah semakin akrab denganku, meskipun dia memanggilku Bapak, tetapi tidak terlihat jarak antara majikan dan pekerja. Aku memang sengaja menciptakan suasana yang begitu, kan katanya sudah era demokratis.
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, tiarap beda posisi, begitu kan.Kami kalau makan satu meja, menonton TV duduk di sofa yang sama. Tinggal tidur yang belum satu kasur. Dua UR yang sudah, yaitu Satu Dapur, Satu Sumur, tapi belum Satu Kasur.
Sejujurnya aku sudah tidak tahan ingin menerkam si Imah, tapi gimana caranya, aku belum dapat. Aku tidak mau ada pemaksaan. Inginnya sih biarlah dia yang memulai baru aku menanggapi.
Jadi aku selama ini bersikap biasa-biasa saja tidak berusaha memancing di air keruh. Bisa saja dia kuajak nonton video porno, sebab kalau sudah malam di atas tinggal kami berdua.
Tapi rasanya taktik seperti itu, belum tentu cocok untuk wanita desa. Bisa-bisa dia malah malu dan kabur masuk kamarnya. Yah mungkin nanti akan tiba juga saatnya. Aku percaya pada pepatah Jawa “Tresno jalaran kulino”. Gak usah diterjemahkan lah, kalau gak tau ya skip aja.
Akhirnya tiba saatnya. Suatu malam Imah nyeletuk ketika kami sedang santai menonton TV. Jam di dinding baru menunjuk pukul 7 malam. Diluar gerimis dan sesekali ada petir dan kilat yang cahayanya membersit masuk .
“Pak mau saya pijat ?”
Aku agak terkejut mendengar tawaran itu, karena badanku memang lelah dan duduk di kursi dengan posisi bersandar agak rebah.
Selama ini aku segan bertindak yang mengarah ke arah “keliru” terhadap Imah, karena dia bekerja di sini sebagai pengurus rumah tangga Tentunya aku malu jika berusaha bertindak tidak senonoh ke Imah lalu dia melapor ke Pak Sudin.
Padahal Imah, merupakan sosok yang lumayan menarik. Usianya sekitar 24 tahun, janda tanpa anak, kulitnya putih seperti umumnya orang Jawa Barat badannya lumayan montok, tinggi lumayan tinggi untuk rata-rata perempuan di sini yakni sekitar 155 cm. Wajahnya ya lumayanlah, rambutnya agak panjang dan selalu digelung.
“Emang Imah bisa mijet,” tanyaku sambil bersikap biasa saja.
” Ya bisa lah atuh Pak,”
“Ya udah kamu beresi dulu kamar saya, saya mau mandi dulu rasanya badan agak lengket bekas berkeringat,” kataku, lalu bangkit ke kamar mandi.
Air hangat memancur dari shower. Tanpa air hangat, aku tidak kuat mandi di daerah ini karena hawa dingin di daerah dengan ketinggian sekitar 700 dpl.
Selesai mandi, rasanya segar sekali. Aku hanya mengenakan celana dalam dan kaus oblong putih lalu mengenakan sarung. Itu memang pakaian tidurku jika aku berada di sini.
Selama mandi aku membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi selama pemijatan, apakah aku akan mendapat layanan plus, bagaimana memulainya karena sesungguhnya aku sedang berhasrat, setelah sekian lama tidak dilayani istri.
Dengan pikiran itu, kemaluanku jadi agak menegang. “Ah bagaimana nantilah, sebab risikonya juga besar,” batinku. Aku keluar dari kamar mandi yang ada di kamarku. Ruangan kamar cahayanya sudah ditemaramkan.
Aku memang memasang lampu yang remang selama aku tidur. Kasur ukuran 180 cm aku hampar di lantai papan, gaya rumah Jepang.Di situ sudah bersiap Imah sedang duduk bersimpuh.
Dia mengenakan sarung juga dan bagian atasnya kelihatannya kaus lengan panjang. Aku tidak terlalu jelas melihat karena dari cahaya terang di luar masuk ke dalam yang remang-remang mataku belum menyesuaikan dengan penerangan yang minim.
“Gimana nih telentang atau telungkup,” tanyaku ke Imah.
“Sok terserah bapak, gimana enaknya,” jawabnya.
Aku kemudian memilih posisi telungkup, karena ingin punggungku dipijat dulu. Aku di Jakarta sering juga ke panti pijat, sehingga aku hafal ritual pijat dimulai dari mana berakhir dimana,.
Imah rupanya bukan alumni panti pijat di Jakarta, karena dia bukan memulai memijat dari kaki, tetapi memulai dari punggung. Pijatannya memang lumayan nikmat juga. Cengkeraman dan tekanan tangannya nikmat sesuai dengan tingkat yang kuinginkan.
Dia rupanya sudah menyiapkan minyak urut yang dibuat dari minyak kelapa dicampur bawang merah. Baunya memang kurang enak, tapi orang desa jamak menggunakan minyak urut seperti ini.
Imah minta izin membuka kaus oblongku untuk mengoles minyak di punggungku. Aku setuju saja sambil menunggu aksi berikutnya.
Kuat betul si Imah sudah sekitar sejam dia masih berkutat di sekitar punggung dan tangan ku. Rasanya memang enak dan sepertinya badanku jadi ringan. Setelah punggung Imah beralih ke kaki.
Mulanya sarungku dinaikkan sampai sebatas lutut. Dia menggarap kaki kiri dan kananku sebatas lutut. Untuk memijat bagian paha dia meminta aku melepas sarung. Aku setuju saja dan dia menarik sarungku ke bawah. Aku jadi tinggal mengenakan celana boxer saja yang pendek.
Penisku sudah menegang dari tadi. Jika dalam posisi tengkurap begini sih tidak ada masalah, tapi kalau nanti telentang dia bakal menonjol mendorong celana dalamku. Ngocoks.com
Aku pasrah saja akan apa yang terjadi nanti, rasanya sih manusiawi seorang laki-laki akan terangsang jika berdua dengan perempuan apalagi dalam situasi memijat begini dan dalam ruangan remang-remang.
Aku sama sekali tidak menyiapkan skenario apa pun, kecuali mengikuti arus saja. Imah memintaku berbalik posisi. Entah terlihat jelas atau tidak dalam cahaya remang begini. Ah aku abai saja.
Aku rasa yang memang wajar, sebagai laki-laki kalau penisnya tegang karena berduaan dengan wanita. Apa lagi terus menerus di jamah tubuhnya,
Pahaku mulai dipijatnya. Mengurutannya entah disengaja atau memang prosedurnya begitu, tetapi jarinya sering menyentuh kantong zakarku. Awalnya aku diam tidak bereaksi, padahal sentuhan itu memberi kenikmatan dan rangsangan.
Bersambung…