Keesokan harinya seusai aku keliling kebun dengan kendaraan ATV sekitar jam 11 siang aku kembali ke markas, yang juga merupakan kantor dan rumahku sementara berada di kebun. Sebetulnya aku tidak ingat bahwa hari itu, Imah akan menunjukkan calon penggantinya.
Ketika aku naik ke atas rumah, yang merupakan tempat tinggalku. Imah dan seorang gadis menyambutku. Imah menyalamiku dengan mencium tanganku gadis yang bersama imah itu juga bertindak begitu.
Dia memperkenalkan namanya Maya. Aku terkesan, karena sosok anak ini tidak seperti yang kubayangkan. Tingginya lumayan mungkin sekitar 165, kulit putih bersih, wajah ayu, hidung agak mancung, rambut lurus sebahu dan bibirnya tipis.
Meski dia mengenakan kaus yang dibalut dengan sweater, tetapi tidak bisa menyembunyikan payudaranya yang kelihatan besarnya diatas rata-rata. Aku membatin, anak secantik ini tidak pantas, miskin.
Ada pertanyaan yang tidak aku lontarkan. Sebab tidak mungkin ada gadis desa yang secakep, bahkan wajahnya cenderung ada campuran bule.
Si Imah menceritakan bahwa Ibunya dulu bekerja sebagai TKW di Singapore. Konon dia bekerja di keluarga bule. Akibat keintimannya dengan majikan, akhirnya hamil. Istri si bule tahu sehingga akhirnya diusir pulang.
Di kampung Ibu Maya bertahan sampai melahirkan. Mereka dulu termasuk orang berada, karena ibu Maya mendapat bantuan dari si Bule. Setelah Maya berumur 2 tahun, ibunya kembali menjadi TKW, bukan ke Singapura, tetapi ke Taiwan.
Di Taiwan kecelakaan terjadi lagi, sehingga ibu Maya kembali membawa oleh-oleh di perutnya. Dari hasil menjadi TKW mereka di kampung sempat mempunyai warung. Namun karena ibunya terkena kanker, perlahan-lahan harta yang dikumpulkan habis bahkan warungnya pun tutup. Penyakit itu kemudian merengut nyawa ibu Maya. Pada saat itu hartanya sudah habis-habis.
Tragis juga cerita keluarga Maya. Saya baru mengerti sehingga pantaslah anak ini cantik tidak seperti anak desa pada umumnya. Tentunya berat untuk menolaknya.
Setelah aku bertanya beberapa hal, Maya lalu diajak Imah melihat sekeliling rumahku dan beberapa fasilitas yang ada. Imah dengan pedenya merasa bahwa aku sudah setuju menerima penggantinya. Tapi emang sih, aku tidak bisa nolak.
Kalau di Jakarta, anak secakep ini pasti aku buru meski pun minta bayaran mahal. Lha ini di tengah perkebunan yang sepi, aku malah disodori barang kelas ”Senayan City”. Maya terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras, ketika bersama neneknya.
Bahkan dia terbiasa membawa cucian piring atau baju ke kali di dekat rumahnya. Semua urusan rumah tangga sudah biasa ditangani. Untuk masalah mengurus rumah tangga aku tidak ragu kemampuannya, tetapi untuk aku keloni apakah dia ikhlas.
Ketika kami makan bertiga di meja makan, si Imah mulai nyerocos lagi. “May” sebutan Imah kepada Maya, “Kalau kamu kerja disini kamu harus bisa melayani makan bapak, masak membersihkan rumah dan kalau bapak cape kamu harus mijitin, ya” kata Imah. Maya yang lebih banyak menunduk hanya mengangguk menjawab arahan Imah.
“Iyalah mending kerja sama Bapak di sini. Bapak orangnya baik, gajinya lumayan, bisa belajar kerja kantoran lagi. Dari pada kawin kontrak sama si buncit itu, mana jelek. Kalau Bapak kan cakep, Iya enggak May, “ kata Imah. Si Maya hanya diam saja.
Imah memang aku gaji lumayan juga, karena sedikit di atas upah rata-rata kabupaten. Selain itu sering aku kasih uang jajan yang kalau di jumlah bisa melebihi gajinya.
Otak ku terus berproses mengenai apa yang bisa aku berikan kepadanya. Selain kerja rumah tangga, dia akan aku pekerjakan di kantor untuk mencatat pembukuan membantu bagian akunting. Pastinya kerja di kantor akan ada gaji juga nantinya.
Setelah mendapat kepastian Maya aku terima bekerja di rumah ku di kebun, Imah lalu minta izin mengantar Maya ke kampung untuk mengambil baju ganti. Jarak kampung dengan rumahku sekitar 5 km. Kebun yang aku garap sampai ke pinggir kampung itu. Kedua mereka mengunakan sepeda motor milik Imah.
Aku sudah berpesan kepada Imah agar dia mendampingi Maya selama sebulan agar dia terbiasa dengan pekerjaan yang tadinya dipegang Imah.
Sejak kehadiran Maya, pergumulanku dengan Imah jadi terganggu. Masalahnya bukan karena Imah segan bergumul dengan ku , tetapi kalau malam, Maya tidak berani tidur sendiri. Sementara itu belum waktunya mengajak Maya bersatu dalam kamarku bersama Imah. Dia masih terlalu hijau.
Jadi kami sering melakukannya pada siang hari, ketika Maya sedang asyik belajar akunting di kantor di lantai bawah.
Semula aku tidak tahu bahwa Maya penakut. Karena memang Imah tidak menceritakan. Jika pada awal-awal dia tidak berani ditinggal sendiri di kamar, aku pikir suatu ketakutan yang wajar.
Rumah kebun ku ini memang jauh dari tetangga dan kalau malam sepi sekali. Meskipun begitu rumahku kalau malam dijaga 2 penjaga malam pensiunan tentara.
Setelah sebulan, Maya jadi terbiasa hidup bersamaku dan bekerja dikantor jika siang hari. Saatnya Imah berhenti dan mempersiapkan perkawinannya. Hari pertama, Maya ditinggal sendiri, dia kelihatan gelisah, terutama setelah jam kantor selesai.
Aku tidak memahami apa yang menyebabkan dia gelisah. Untuk bertanya aku menahan diri. Seperti biasa dia menyiapkan makan malamku. Kami sama-sama menikmati makan malam di meja. Aku lalu minta dibuatkan wedang jahe, yang diseduh dari saset yang memang sudah aku siapkan, jadi gak perlu susah cari jahe segala.
Aku merasa nikmat menyeruput air jahe sambil menonton TV. Maya ikut nimbrung. Sambil kami nonton aku ngobrol mengenai berbagai macam, untuk mencairkan kekakuan. Maya memang cepat akrab dan memanggilku ayah. Dia kusuruh memilih saluran TV yang dia senangi, tapi dia menolak, karena dia katakan mau ikut saja sama apa yang saya sukai.
Aku selalu memilih saluran berita atau film action, tapi kadang-kadang tertarik juga menikmati film dokumentasi yang ditayangkan Discovery atau National Geography. Sementara aku asyik menyimak tayangan dokumentasi ilmu pengetahuan, ternyata si Maya sudah terkantuk-kantuk.
Dia kusuruh tidur di kamarnya, bekas kamar si Imah. Dengan langkah berat dia menuju kamarnya yang letaknya agak kebelakang, yang hanya berselang satu kamar dengan kamarku. Kira-kira setengah jam kemudian aku pun diserang kantuk pula, lalu segera masuk kamar dan meredupkan lampu kamar.
Entah berapa lama aku kemudian sudah mulai agak tertidur, terbangun karena kamarku di ketuk. Antara sadar dan tidak aku bangun untuk melihat siapa sih yang ngetuk-ngetuk kamarku. Kukuak pintu, ternyata si Maya sambil memeluk bantalnya berdiri di depan pintu kamarku. “Ayah saya takut,” katanya sambil nunduk.
“Takut sama apa, “ tanyaku agak menyelidik.
“Takut tidur sendiri di kamar belakang,” katanya.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi rasa takutnya maka aku ajak dia tidur dalam kamarku. Dikamarku hanya ada satu kasur, meski cukup lebar. Mungkin rasa takutnya mengalahkan rasa segannya untuk tidur satu kasur denganku. Jadi dia langsung mengambil posisi tidur di bagian yang spreinya kelihatan masih rapi.
Dia tidak membawa selimut, hanya sarung. Padahal pada malam hari udara sangat dingin. Aku saja harus berselimut tebal. Dia tidur membelakangiku. “dingin?” tanyaku.
“Iya yah,” jawabnya.
Lalu dia kutawari masuk kedalam selimutku. Aku memang hanya punya satu selimut. Itu pun sebenarnya bukan selimut, tetapi bed cover.
Kantukku jadi hilang karena tidur berada dalam satu selimut dengan ABG yang cantik. Sampai pagi tidak terjadi insiden apa-apa. Padahal sejataku sudah standby terus. Tapi nafsuku kukalahkan dengan akal sehatku sendiri.
Begitulah ceritanya untuk seterusnya dia tidur bareng aku dan sudah tidak ada lagi rasa canggung. Malah lucunya dia sering mengajak aku tidur (kayak istri aja) masalahnya jika dia masuk kamar duluan, sedang aku masih nonton TV, dia juga takut dikamar. Parah banget penakutnya.
Mulanya dia selalu tidur miring membelakangiku, setelah sekitar seminggu dia mulai tidur telentang. Nah kemarin malam dia kok tidur miring menghadapku. Aku masih tidak memberi reaksi. Pikiranku berkecamuk karena Maya ini lebih muda dari anak bungsuku. Jadi ya agak gimana lah gitu.
Malam ini kami masuk kamar sekitar jam 9 malam. Maya langsung mengatur posisi tidur miring menghadapku. Setengah jam kami diam karena tadi sudah puas ngobrol sambil nonton TV.
Aku pikir dia sudah tidur rupanya belum karena dia nyeletuk, “Yah malam ini dingin banget, boleh enggak Maya dipeluk ayah.”
Aku memang belum tidur jadi sulit juga menolak permintaannya. Maka aku peluklah dia. Aku pikir anak perempuan ini sedang merindukan sosok ayahnya. Maklum dia tidak sempat mengenal ayahnya. Bagaimana ya, seorang laki-laki normal memeluk perempuan cantik masih muda dalam satu selimut.
Ya otaknya langsung singit. Tapi aku tetap masih berusaha menjaga agar tidak singit. Aku hanya mencium keningnya dan menarik ke dalam pelukanku. Namun aku mendeteksi nafas Maya hembusannya keras dan terdengar seperti agak mendengus.
Sebagai pemain kawakan aku paham perempuan ini sedang dalam keadaan terangsang. Dia tidur menghimpitku di sisi kiriku. Lenganku terhimpit oleh susunya. Lenganku merasa bahwa dia tidak mengenakan bra, sehingga tetek lembutnya terasa menekan lenganku.
Pikiranku berkecamuk, antara Maya menginginkan keintiman yang lebih, atau hanya ingin dipeluk untuk memberi rasa perlindungan.
Sejauh ini aku belum berani berbuat tidak senonoh, jadi setelah mencium keningnya yang ternyata menimbulkan reaksi pada dirinya dengan makin rapat memelukku dan sepertinya dia memberikan wajahnya untuk aku cium lagi. Maka pipinya aku cium. Hembusan nafasnya makin deras. Aku mencium mulutnya yang masih tertutup.
Aroma pasta gigi terasa dari hembusan dari mulutnya. Mulanya dia terdiam dan bibirnya terkatup tetapi terasa agak bergetar. Tidak ada penolakan, mungkin karena dia belum pernah dicium laki-laki jadi masih bingung. Melalui mulutku aku mencoba membuka mulutnya dan melakukan ciuman french kiss.
Saat itu baru dia bereaksi dan membalas ciumanku dan lidahnya ikut bermain. Lama sekali kami saling berpagutan sampai dia terengah-engah seperti kehabisan nafas.
“Ayah, Maya sayang ayah, “ katanya sambil tenggelam dipelukanku
Aku membalas pelukannya dan membelai rambutnya. Untuk malam ini aku membatasi cumbuan sampai hanya pada ciuman.
Bukan malam itu saja sampai 2-3 malam berikutnya aku juga tidak bergerak lebih jauh dari hanya berciuman saja. Tetapi akhir-akhirnya dia tidak lagi mencium dan berciuman denganku di tempat tidur, tetapi dia sofa dia minta pangku duduk menghadapku dan menciumiku.
Penisku yang mengeras didudukinya dan rasanya berada tepat dibelahan selangkangannya. Tidak kuketahui pasti apakah penisku menekan memeknya atau belahan pantatnya. Tapi pasti dia merasa menduduki penisku yang mengeras.
Cumbuan kami teruskan di kamar, karena memang sudah malam. Kami berangkulan di dalam selimut. Udara memang cukup dingin. Aku tidak mampu bertahan terus menerus tidak menjamah tubuh montok Maya, apalagi dia sepertinya memang menginginkan aku bertindak lebih jauh menjamah tubuhnya.
Aku menciumi telinga, lalu turun kelehernya. Sementara itu tanganku mulai menggerayang ke dadanya. Terasa dibalik dasternya Maya tidak mengenakan BH, karena di balik kain itu aku merasa kekenyalan susunya.
Aku remas-remas dan mencari putingnya. Terasa agak keras di ujung payudaranya. Sementara itu Maya mendesis menikmati remasan lembut tanganku di teteknya.
Setelah tidak ada penolakan susunya aku remas, aku makin menggila dan berani memasukkan tanganku ke balik dasternya. Dasternya aku tarik keatas sampai tanganku menjamah gundukan payudaranya.
Gundukan daging itu lebih besar dari lebarnya tanganku. Dagingnya terasa mengkal. Aku tidak meremas terlalu keras, tetapi meremas perlahan-lahan dan memlintir putingnya yang masih kecil. Rasanya putingnya sudah menegang.
Mulutku berpindah menyusu ke pentilnya dan menjilatinya. Maya menggeliat-geliat sambil terus mendesis. Kedua susunya aku kenyot bergantian dan aku jilati. Gerakan tubuhnya seperti menyodorkan teteknya untuk terus aku jilati dan kenyot.
Diantara kesibukan mengenyot, tanganku bergerak ke bawah mencari gundukan di selangkangan. Terjamah gundukan yang masih terbungkus celana. Aku menjejaki celah belahan kemaluannya. Terasa belahan itu di jari tengahku. Terasa celananya seperti basah. Maya sudah sangat terangsang sehingga cairan vaginanya meleleh keluar membasahi celananya.
Celah celana dalamnya tidak terlalu ketat, sehingga bisa aku pinggirkan untuk memberi ruang jariku menemukan celah vagina. Celah vaginanya terasa berlendir. Tidak ada penolakan Maya. Dia pasrah tubuhnya aku jelajahi.
Maya malah mengangkat bokongnya ketika aku melepas celana dalamnya. Memeknya cembung dengan jembut yang masih sangat sedikit. Maya menggelinjang ketika jariku menyapu celah memeknya yang sudah banjir.
Jariku segera menemukan letak clitorisnya lalu aku sapu dengan gerakan halus. Pusat birahinya terbelai oleh jariku membuat Maya tanpa sadar mengerang nikmat. Dia sudah tidak ingat apa-apa karena tingginya rangsangan.
Aku merangsang itilnya dengan gerakan halus memutar sambil sedikit menekan. Cairan dari celah vaginanya aku gunakan untuk melicinkan agar gerakan di itilnya jadi lancar. Ngocoks.com
Sekitar 10 menit aku mainkan itilnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme. Dia mengerang sambil menjepit tanganku dan terasa memeknya makin banjir dan berkedut-kedut.
“Ayah enak banget ayah, Maya makin sayang ama ayah,” katanya sambil memelukku. Aku menjawab dengan mengucup mulutnya. Selimut sudah terbuka sehingga kedua tubuh kami terpapar dengan udara dingin. Tapi anehnya aku dan mungkin juga Maya tidak merasa dingin. Badan kami malah berkeringat.
Aku bangkit, lalu pindah ke posisi diantara kedua kakinya aku mengoral memek Maya. Mulanya Maya bertanya apa yang akan aku lakukan. Pertanyaannya tidak aku jawab tetapi langsung membekapkan mulutku ke memeknya yang banjir dengan lendir. Tidak tercium bau yang mengganggu.
Dengan lidahku aku menjilati belahan memeknya dan lidahku langsung menemukan titik clitorisnya. Maya merintih, “ aduuuhh ayaahhh, maya dia apain, enak banget. Aduh memek maya rasanya enak banget, aduuuuuuh ayaaaah.”
Mulutnya tidak henti-hentinya merintih sampai akhirnya dia kembali mencapai orgasme, yang katanya luar biasa enaknya. Setelah orgasme itu aku merasa sudah cukuplah, karena kalau dilanjutkan bisa jebol segelnya.
Aku mengambil celananya dan berusaha memakaikan dari kaki. Tapi Maya malah menolak. Ayah Maya ingin tidur gak pakai baju biar meluk ayah bisa langsung kena kulit. Maya bangkit sambil duduk dia melepas dasternya.
Setelah dia bugil dia lalu memintaku untuk juga membuka kaus oblong, sarung dan celana dalamku. Dia yang membuka. Akut turuti saja apa yang dia maui nanti.
Setelah kami berdua bugil dia menarik selimut dan kami berpelukan di dalam selimut. Kulit kami memang saling menempel. Tapi cilakanya penisku tidak bisa ditidurkan. Posisinya mengeras sehingga menarik perhatian Maya.
Tangannya meremas-remas penisku yang mengeras sempurna. Sambil tidur dia terus memainkan penisku. Aku tidak mengajarkan apa-apa, kecuali membiarkan nalurinya menuntun tindakan apa yang dilakukannya.
Bersambung…