Cerita Sex Istri Nakal – Celine menggeleng keras kepala, dia memeluk jok mobil. Berusaha bertahan dengan tarikan dari ayah dan kakaknya.
“Hiks.. Apa setelah ibu meninggal kalian ga mau urus aku? Selama ini bahkan kalian simpen aku ke nenek di California! Oh shit!” Celine hampir tertarik dan melepaskan jeratan dari jok mobil.
“Astaga! Celine! Kamu terlalu nakal, ayah jelas sudah tidak sanggup mengatur kamu, mengarahkan kamu yang semakin urakan!” Glen memijat kening berusaha sabar dan tidak emosi.
Menghadapi Celine setahun ini sungguh menguras tenaga dan mentalnya. Dia begitu boros. Anak gadisnya itu terlalu nakal, susah diatur, selalu bermasalah dengan kepolisian.
Ngocoks Abidzar menatap tingkah laku istrinya itu. Pantas saja ayah dari gadis itu menyerah. Kini Abidzar yang meragu, apa dia bisa membimbing istrinya untuk menjadi lebih baik?
Di desanya yang kecil, jauh dari kata modern.
Abidzar pernah tinggal di kota, dia tahu betapa bedanya di sana dan dengan desa yang menjadi tempat dia lahir.
“Aduh pakaiannya..” gumam Abidzar saat melihat pakaian yang dikenakan istrinya.
Jeans panjang dengan pakaian atas yang tidak menutupi perut bahkan lengannya. Tunggu, itu bra? Kaget Abidzar untung sudah menjadi istrinya.
Halal Abidzar lihat.
“Ga mauuuu!” jerit Celine yang kini berhasil turun dari mobil, diangkat oleh kakak laki-lakinya.
“Argh! Ga bisa diem!” omel Gustav kesal.
Celine melirik Abidzar dengan panik. Diakan suaminya itu?
“Ga mau! Mau ikut pulang lagi, ga kenal sama mereka!” teriaknya sambil terus berusaha menerobos Gustav yang menahannya agar tidak kembali ke mobil.
Glen memilih berbincang dengan besannya, membiarkan anak tertuanya mengurus dan menjinakan Celine.
Abidzar meraih Celine yang kini menjerat kakaknya, tidak ingin lepas dan berpindah pada suami asingnya itu.
“Engga! Lepas! Fu*k! Argh! Ga mau!”
Abidzar merem melek mencoba menghindar dari kerandoman tangan Celine hingga berhasil dia gendong.
“Lepas!” bentak Celine lalu menggeliat namun sialnya suaminya itu sama kuat dengan ayah dan kakaknya.
“Ayahhhh!” jerit Celine saat ayahnya dan kakaknya segera masuk ke mobil dan menjius meninggalkannya.
Celine terus berteriak bagai bocah, disertai tangis tidak terima ditinggalkan di tempat asing yang begitu aneh baginya.
Tidak ada lantai kinclong, hanya tanah becek bekas hujan.
Mobil mereka benar-benar hilang.
Celine terus menangis tanpa peduli dilihat tetangga Abidzar.
“Bawa masuk, nak.”
“Baik, bu.”
Celine hanya menangis dengan lemas. Dia didudukan di kursi kayu yang keras. Membuat tangisnya semakin pecah.
“Sini, ibu—”
“GA!” bentak Celine dengan tidak sopan lalu memeluk tasnya. Semua barangnya tidak ingin disentuh orang asing.
“Yang sopan dia—”
Celine menatapnya begitu benci sampai Abidzar urung melanjutkan ucapannya. Bukan takut tapi karena melihat wajahnya pucat, pasti syok.
“Celine!” pekik Mimah— ibu Abidzar.
Abidzar segera menangkapnya, menggendongnya yang pingsan.
***
Celine terus terisak, duduk di pinggiran kasur di kamar yang katanya kamar suaminya itu. Begitu aneh, tempatnya seperti gubug tidak ada dinding marmer seperti rumahnya.
Dia merasa dibuang lagi.
Abidzar membelitkan jaket, cuaca di sini dingin dan Celine hanya memakai pakaian bagai bra itu. Entahlah, Abidzar kurang tahu apa yang di pakai istrinya. Yang jelas kurang bahan.
“Mau makan?”
“Ga!” ketusnya sambil menyeka air mata.
“Kalau mau makan bilang aja.” Abidzar menyimpan koper Celine ke samping lemari. Biar Celine yang menata sendiri, dia sepertinya tidak suka barangnya di sentuh orang lain.
“Gue maunya pulang!” ketus Celine. “Lo malah nahan gue di sini!” teriaknya marah.
“Suaranya kecilin, kita ga lagi di kota. Di sini rumah dempetan dan bu—”
“GUE GA PEDULI! LO ANTERIN GUE—mmpph!”
Abidzar membekapnya hingga Celine terdorong dan rebahan di kasur. “Tidur, di sini ada hantu kalau malem berisik.” lalu melepas bekapan dan menyelimutinya.
Celine terdiam. Hantu adalah kelemahannya.
Abidzar akhirnya tahu kelemahan istri dadakannya itu. Dia memilih keluar untuk menenangkan ibunya yang cukup terkejut dengan istri pilihan mendiang ayahnya.
“Kemana?!” teriak Celine yang membuat Abidzar urung membuka pintu kamarnya yang berbahan papan kayu tipis.
“Ke ibu—”
“Katanya ada hantu!” semprot Celine. “Lo harusnya juga diem!” tambahnya.
Celine mendudukan tubuhnya, menatap selimut tipis itu. “Ini selimut gue?” kagetnya.
Abidzar urung keluar, ibunya pasti maklum. Besok saja dia menenangkannya. Celine akan berisik, lebih baik utamakan dia agar tidak mengundang tetangga.
“Kenapa? Kurang tebel?”
“Iyalah! Dan kasur ini, kita berdua—” Celine meliriknya canggung.
“Iya, muat kok.” Abidzar sebenarnya bisa memodernkan rumah penuh sejarah ini.
Tapi dia memilih tidak mengubah apapun kecuali roboh atau rusak. Dia ingin menjaga tempatnya tanpa ingin mengubah.
Di desa ini sungguh masih serba tradisional. Membuatnya terasa hangat penuh kekeluargaan, anak kecil bermain bersama tidak sibuk dengan ponsel.
“Gue janji ga nakal, pulangin gue plis..” Celine turun dari kasur. “Jadi istri yang baik, kalau mau jatah di kasih deh.. Tapi kirim gue ke kota lagi.” mohonnya sambil mendekati Abidzar.
“Ga bisa, ayah udah titip kamu di sini. Tergantung perubahan kamu, kalau baik kita bisa pindah ke kota.”
Celine yang gagal membujuk kembali memasang wajah garangnya. “Liat aja, gue ga akan baik kayak mau kalian. Gue akan bikin kalian buang gue lagi!” suaranya bergetar lirih diakhir lalu kembali naik ke kasur dan menangis.
Celine akan mengacau di desa ini sampai ayah dan kakaknya itu malu dan membawanya lagi. Dia ingin kembali ke tempat neneknya saja.
***
Abidzar melotot saat melihat Celine hanya menggunakan celana dalam dan branya saja keluar dari kamar.
“Di mana tempat man—” Celine mengerjap kaget saat tubuhnya diseret kembali ke dalam kamar.
“Lo ap—”
“Di sini masih ada ibu! Kenapa ga pakai— Ha..” Abidzar menatap langit-langit kamarnya sejenak lalu menatap tepat dikedua matanya.
“Di pantai udah biasa kayak gini, kenapa heboh dan juga ibu lo juga punya ga akan iri!”
“Di sini bukan pantai. Jadi, jangan pakai bikini. Jangan mengundang kejahatan.” Abidzar meraih handuk dan membelitkannya.
“Ini bukan handuk gue!” Celine melepaskannya lagi.
Abidzar memejamkan mata sejenak. Dia harus melatih kesabaran. Dia harus lebih luluh agar Celine tidak semakin tantrum.
Abidzar menatap istrinya yang melenggang dengan celana dalam tipis yang hanya menutupi bagian depannya saja itu.
“Semakin kamu bikin masalah, semakin lama kamu di sini.”
“Bodo amat! Gue cuma nunggu dibuang lagi aja, gue ga akan turutin mau kalian!” tekad Celine lalu membawa kaos kebesaran dan memakainya.
***
“Celine kemana, bu?” panik Abidzar lalu menoleh pada pintu yang diketuk.
“Bu Mimah, nak Abi..” panggil tetangganya dari luar rumah.
Abidzar segera membukakan pintu. “Bu Dewi, ada apa?” tanyanya.
“Itu, nak.. Istrimu, mengacau di sawahnya pak Solihin.. Semua bawang daunnya dicabut, pokoknya berantakan.”
Abidzar segera menuju tempat Celine berada. Dia tengah meringis menatap lumpur yang penuh di kedua kaki, tangan bahkan muka juga terkena cipratan.
Tak hanya bawang daun, padi yang baru ditanam pun Celine cabut hingga berantakan. Para petani yang menjadi tetangga Abidzar di sini terlihat menahanbkesal.
Celine bodo amat. Dia sungguh penuh tekad untuk memberontak.
“Celine,” Abidzar begitu sabar, suaranya tidak meninggi sama sekali. Dia berjongkok di depan Celine, tidak peduli dengan kedua kakinya yang ikut kotor.
“Kamu rugiin banyak orang, mereka udah tua apa kamu ga kasihan? Mereka harus ngulang lagi,” suaranya begitu lembut. Abidzar mengusap lumpur di sudut mata Celine yang bisa saja masuk ke matanya.
“Ga! Ga ada yang kasihan sama gue juga! Gue mau pulang! Gue ga suka di sini!” bentaknya dengan keras kepala.
Yang melihat itu langsung berbisik-bisik, menyayangkan Abidzar kenapa harus berjodoh dengan istri seperti itu. Lebih baik dengan Jasmin yang lemah, lembut dan kembang desa yang baik.
“Ayo mandi, kotor.” Abidzar membantunya berdiri tapi Celine tidak mau berdiri.
Abidzar menghela nafas sabar. Dia gendong walau malu dengan tetangganya.
“Yang sabar ya, nak Abi.” Ngocoks.com
Semua memandang ke arah keduanya. Membuat Abidzar malu dan tak enak hati. Dia akan ganti rugi jelas saja.
“What? Fu*k!” ketus Celine saat melihat beberapa orang yang sedang bertani itu menatap kearahnya.
“Shhhtt..” tegur Abidzar.
***
Abidzar menatap Celine yang memakai celana pendek jeans bagai celana dalam itu, dengan atasan kaos lengan pendek dengan pusar terpampang nyata.
“Di sini banyak remaja laki-laki, banyak—”
“Terus urusannya sama gue apa?!” potong Celine kesal.
Mimah menatap menantunya dengan sedih. Entah apa yang dipikirkan oleh mendiang suaminya. Kasihan Abidzar hanya dipersulit sampai malu oleh tetangga dan harus keluar uang banyak untuk mengganti rugi apa yang dirusak Celine.
“Celine mau makan apa?” tanya Mimah mencoba sabar.
Celine melirik Mimah, dia mendadak bisu. Mungkin karena kangen dengan mendiang ibunya yang sering menanyakan pertanyaan itu.
Bersambung…