Celine keluar kamar dengan handuk membelit tubuhnya. Dengan langkah pelan saking bergetar dan lemasnya lutut. Bibir Celine tersenyum samar. Dia selalu puas dengan yang dimiliki Abidzar. Enak.
Abidzar membersihkan kamar mandi, menata sabunnya dan Celine kembali ke tempatnya.
“Abi,”
“Hm?” Abidzar tersenyum tipis, dia senang di panggil Abi oleh Celine. Rasanya lebih mendebarkan.
Abidzar membawa semua peralatan mandi dan keluar dari kamar mandi, menyimpan semuanya di tempatnya dan segera menghampiri Celine yang terduduk di lantai.
“Kenapa?”
“Lemes,” Celine tidak tahu akan selemas ini. Biasanya dia yang dominan, mungkin kali ini Abidzar juga aktif.
Abidzar tersenyum samar. Celine gayanya bagai wanita tangguh, tapi saat lawannya lebih aktif ternyata lemah juga.
Celine yang merasa cukup dan puas jelas akan mengakhirinya tidak peduli Abidzar sudah keluar atau belum.
Tapi kali ini mereka melakukannya hingga tuntas dan lama yang lebih utama.
Beberapa kali Abidzar memang pernah keluar di dalamnya, tapi itu durasinya sebentar. Kali ini entah kenapa begitu lama menikmatinya.
Abidzar mengulum senyum dan menggendongnya. Membawanya ke kamar dan menurunkannya.
“Mau minum?” Abidzar bergerak menarik koper Celine, membukakannya dan membiarkannya memilih sendiri.
“Iya.” jawab Celine singkat, dia segera memilih pakaian. Tubuhnya menggigil dingin karena terlalu lama di toilet.
Abidzar memakai dulu dalaman dan celananya, sedangkan kaos dia memakainya sambil berjalan keluar untuk mengambil minum.
***
Paginya Abidzar membantu pak Lukman dan lainnya untuk memasangkan lampu jalanan yang mati beberapa.
Tak hanya Abidzar, pemuda lainnya juga turun untuk membenarkannya.
“Semalam jadi gelap,” ujar Bimo— pemuda yang hanya dua tahun di bawah Abidzar.
“Iya, di sinikan dilewatin anak kecil yang pulang dari masjid.” timpal Anwar— seumuran Bimo.
“Mereka katanya pada lari, takut ular sama pocong,” Abidzar masuk ke dalam percakapan sambil mulai memutar lampu baru hingga berhasil menyala.
“Nah, udah semuanya ya?” Pak Lukman pun mematikan lampunya karena sekarang masih pagi.
Mereka berakhir duduk sambil menerima sarapan yang diberikan pak Lukman.
“Bang, istrinya ga bikin onar lagi?” Anwar terkekeh. “Padahal seru, biar hidup ga monoton.” lanjutnya.
“Iya, tadinya mau diajak gabung ke geng kita,” timpal Bimo
“Geng pembuat onar,” tambah pak Lukman sambil menampol pelan belakang kepala anaknya.
“Cuma nyuri mangga sekali,” gumam Bimo.
“Sebulan sekali, apa seminggu atau sehari sekali?!” kesal pak Lukman.
Membuat tawa terdengar di antara mereka. Abidzar bersyukur, mereka tidak membenci Celine karena tingkah nakalnya.
Abidzar makan sarapannya hingga jam 10 pagi barulah pulang. Tidak menyangka akan menjadi banyak orang dan berbincang lama.
Mereka semua bertanya tentang Celine, dan membahas hal lainnya juga.
***
“Hiks.. Gue benci! Hiks gue ga bisa diginiin!”
Abidzar menautkan alis, dia seperti mendengar tangis Celine. Benarkah? Kenapa menangis lagi, bukankah Celine sudah mulai menerima keadaannya di sini.
Bahkan sudah dua hari lulus ujian menuju lebih baik.
“Celine?” panggil Abidzar dengan lembutnya, dia membuka pintu kayu yang sebagian harus diperbaiki karena di makan rayap itu.
Celine menoleh dengan wajah memerah dan basah oleh air mata serta ingus akibat tangisnya.
Abidzar menatap wajah bule itu dengan menahan bibirnya yang berkedut.
Celine tengah mengupas bawang merah. Apakah ibunya yang menyuruh Celine? Kenapa bisa Celine mau dan dimana ibunya?
“Kamu ngapain?” tanyanya lembut sekali, berusaha menelan senyum gelinya. Takut Celine tantrum.
“Gue ga bisa diginiin, kenapa bawang perih ke mata? Gue benci mereka!” amuknya dengan isak dan mata merem melek perih. Tapi tangannya itu masih asyik mengupas bawang.
“Ibu yang suruh?”
Celine mengangguk tapi kemudian menggeleng. “Gue mau lulus hiks mau lulus lagi hari ini, gue pikir bantu ibu di dapur juga hal yang baik, ternyata senyebelin ini mereka bikin gue ga bisa buka mata hiks..” raungnya dengan jengkel. Kesabaran Celine sungguh setipis tissue.
“Yaudah, ga usah. Sini,” Abidzar tidak tega melihatnya.
“Ga! Gue mau lulus lagi hari ini. Mau cepet ke kota lagi hiks.. Kenapa susah banget buka mata,”
“Udah.” Abidzar mengusap wajah Celine, menyeka air mata dan menyeka ingusnya dengan kaosnya.
“Kenapa?” Mimah menyimpan sayuran yang dia titip di bu Dewi. “Celine kenapa? Eh, kenapa semuanya dikupas?” paniknya.
“Kan ibu bilang kupas bawang, ini semua bawang.” Celine merem melek susah membuka matanya yang masih agak perih.
Abidzar menatap lembut Celine yang berani memanggil ibunya ibu tanpa ragu lagi.
“Maksud ibu, bawang yang di mejanya, ga sama semua yang di plastik.” Mimah mengulum senyum, menantunya lucu sekali.
Mimah tidak marah, dia justru merasa senang karena Celine yang menawarkan diri untuk membantunya.
“Udah ga papa, cuci tangannya. Sampai nangis gini mantu ibu,” Mimah usap kepala Celine sekilas. “Gih cuci.”
Abidzar menatap kepergian Celine dengan senyum namun senyumnya luntur saat melihat Celine hanya memakai kaos kebesarannya tanpa celana.
Aduh Celine!
“Celine, aku tunggu di kamar. Ada yang mau aku obrolin.”
***
“Kenapa?” Celine mendekati Abidzar dengan santai, menyeka sisa cuci muka dengan handuk kecil pink miliknya.
Abidzar yang duduk di ujung kasur menatapnya. Celine begitu bercahaya, pantas saja saat kumpulan tadi mereka memuji Celine dan mereka mengatakan bahwa dirinya beruntung.
Mengesampingkan nakalnya Celine. Dia merasa memang beruntung.
“Aku udah pernah bilang,” Abidzar menatap Celine yang berdiri dihadapannya. Dia usap paha yang terpangpang itu. “Jangan ngumbar ini, meski pun di rumah. Bisa aja ada tamu laki-laki yang dateng siapa pun itu.” nasehatnya lembut sekali.
Celine malah tersenyum miring dengan cantik, tatapannya berubah nakal. “Kan biar gampang,” Celine mengangkat kaosnya lalu memunggungi Abidzar.
Dia bergoyang seksi di pangkuan Abidzar dengan nakalnya.
Abidzar menggeleng pelan, menahan pinggang Celine untuk berhenti menggesekannya.
Tangan Abidzar naik, meremas isi dalam bra itu sekilas dengan beraninya. “Istri nakal.” bisiknya lalu mendudukan Celine di sampingnya.
“Aku serius.”
“Gue juga.”
“Celine.” tegurnya lembut.
“Iya, maaf.” balasnya malas.
“Mau lulus lagikan hari ini?” Ngocoks.com
Celine mengangguk sambil menggerayangi perut Abidzar dari dalam kaos. Tidak bisa diam, sungguh nakal.
“Mau main nanti sore?”
Celine mengangguk lalu mengendus leher Abidzar. Mengecupinya. Ini salah satu hiburannya.
“Bantu ibu lagi sana, aku seneng tanpa di suruh kamu mau bantu itu.” Abidzar menghentikan grepean Celine.
Masih siang, diluar ramai dan di rumah ada ibu. Tidak lucu dia atau Celine melakukan itu. Kadang desah kelepasan. Bahaya.
“Ga mau.” Celine sudah terpancing oleh ulahnya sendiri. Dia naik ke pangkuan Abidzar lagi.
“Yaudah, kamu gagal.” bisik lembut Abidzar yang berhasil membuat Celine menjauh dengan kesal.
“Gue acak-acak lagi sawah mereka, gue— gue bantu ibu dulu.” cicitnya di akhir. Dia sungguh ingin berubah dan pindah ke kota.
Oke, sabar dan tahan. Lakukan semuanya dengan tulus.
“Mau cium?” tawar Abidzar pelan dengan tatapan lembutnya.
Celine sontak berlari dan melompat sampai Abidzar terdorong dan terlentang di kasur. Celine menciumnya, meliarkan lidahnya hingga membasahi bibir Abidzar.
Abidzar terkekeh pelan di sela ciuman rakus itu. Celinenya yang liar. Mengobok-obok mulutnya dengan lidah dan decapannya.
Abidzar membiarkannya sesuka hati, dia usap kepala dan punggungnya lembut. Hingga Celine menyudahinya sendiri.
Celine memang tidak punya malu, dan Abidzar yang canggung, kaku, agak gugup pun mulai menerimanya.
Keduanya sama-sama tidak malu sekarang.
Ternyata tidak butuh waktu lama untuk keduanya untuk sampai sejauh itu. Mungkin karena sudah menikah juga?
Bersambung…