Celine menatap sepeda di depannya dengan ragu. Sepeda jadul agak berkarat, warna di jok dan bagian lainnya luntur. Apa bisa digunakan?
“Ada kursi anak kecil, mau pakai itu?” awalnya Abidzar becanda, tapi saat di coba kenapa bisa muat. Apa Celine setipis itu?
Abidzar sampai geleng-geleng kepala. Ini sih dia bagai bawa main balita.
“Ketawa aja ga usah ditahan!” ketus Celine sambil mendongak ke belakang, di mana Abidzar tengah duduk mengayuh sepeda.
“Lucu aja, itu kursi kenapa bisa muat. Jangan terus diet, mau sekecil apa, hm? Udah cukup segini, kamu cantik.”
Suara lembut itu lagi. Celine memalingkan wajahnya yang samar merona.
“Gue emang cantik,” Celine kibaskan rambut pirangnya yang wangi karena sudah keramas itu.
“Hm, kamu cantik,”
Celine memilih diam dari pada membuat jantungnya semakin menyebalkan. Untuk apa berdebar sekencang itu coba!
Fokus agar terus lolos dan banyak berbuat baik demi pindah ke kota!
Selama perjalanan, Celine melihat anak-anak kecil usia 5 tahun tengah bermain. Entah apa, yang jelas berlari lalu berjongkok saat hendak di sentuh oleh teman yang mengejarnya.
Suara tawa yang riang.
Saat dia kecil, dia tidak pernah tertawa begitu bahagia bersama teman. Bahkan hingga besar. Hidupnya yang terlahir dari keluarga kaya sungguh membebaninya.
Dia di tuntut untuk sempurna, padahalkan tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Celine melihat para ibu-ibu yang duduk berbincang dengan tawa. Suasana sore yang terbias warna senja terasa begitu hangat.
Udara yang sejuk tanpa polusi.
Celine bagai masuk ke dunia lain. Tidak ada kemewahan di sini, tapi tawa mereka bagi Celine rasanya mahal. Tidak bisa dia beli dengan kemewahan.
Abidzar melirik Celine yang begitu anteng, melihat sekelilingnya. Dia sengaja melakukannya, dia ingin Celine melihat sisi baik dari kesederhanaan.
“Jalan-jalan nak Abi?”
“Iya, bu.”
“Halo, nak Celine.” sapa mereka.
Celine tersenyum walau agak canggung.
Sepeda itu terus melaju pelan, membawa keduanya keliling desa.
“Wih, bulenya kak Abi!” seru remaja laki-laki yang sibuk melambai lalu diikuti kehebohan temannya yang lain.
Celine membeku dengan pipi merona melihat sekumpulan orang itu begitu bahagia bagai menyambut pemimpin negara.
“Dasar kalian, genit!” balas Abidzar dengan tawa pelan tanpa menghentikan goesannya.
Celine mengulum senyum. Dia merasa berdebar dengan suasananya. Siapa pun yang melintas menyapa, tidak mengabaikannya juga. Padahal dia pengacau saat datang ke sini.
Abidzar melihat senyum cantik itu. Misinya berhasil. Itu senyum paling tulus yang dia lihat selama Celine di sini. Bahkan mungkin senyuman pertama yang dia lihat dari Celine.
Biasanya senyum sinis, senyum remeh dan sebagainya.
“Suka?” bisik Abidzar mengalun lembut bagai gelitikan yang sampai ke jantungnya.
Celine mengangguk, menoleh pada Abi dengan senyuman. “Ternyata luas ya,” balasnya.
“Hm, mau jajan?”
“Ha? Emangnya ada warung?” Celine pikir tidak ada.
“Ada, cuma agak jauh aja.” Abidzar membawa sepedanya ke jalan pintas dan sampailah di warung mini serba ada.
Celine menekuk wajahnya saat turun. “Tahu gitu gue bisa beli mie ga tahan lapar waktu itu!” amuknya.
Abidzar mengusap kepala Celine. “Stt.. Jangan sampai ga lulus. Gih beli yang kamu mau, ke sini jauh jadi beli yang banyak ga papa.” lalu Abidzar dorong pelan bahunya agar masuk.
“Bener ya?” serunya senang.
“Iya.” Abidzar tersenyum lembut.
“Ini istrinya nak Abi, cantiknya. Kenalin, ibu Hanum. Mamanya Bimo,” ramahnya.
“O-oh iya, Celine bu,” canggungnya.
Celine merasa seperti bukan dirinya karena bisa membalas sapaanya. Kalau biasanya pasti Celine akan menjawab. Ga usah so akrab dan ramah sama gue!
Abidzar tersenyum lebar mendengar balasan yang mencicit itu. Terdengar bukan Celine. Lucu.
***
Celine memeluk jajanannya. Semua cemilan dan mie. Tidak ada mie kesukaannya tapi tak masalah. Lumayan sedikit mengobati rindunya.
“Suasana malam di sini dingin.” Abidzar jelas sudah mempersiapkannya.
Dia memakai jaket tipis dua dan satu tebal. Yang tebal dia berikan pada Celine tentu saja. Untuk Abidzar dia sudah biasa dengan dinginnya di sini.
“Iya,” Celine bisa melihat asap dingin keluar dari mulutnya. Celine merasa beruntung menuruti Abidzar untuk memakai pakaian serba panjang.
“Dari mana, bi?” teriak Rustan— teman seangkatan Abidzar yang tengah duduk bersama remaja dan para bapak-bapak di serbang sana.
Abidzar menghentikan sepedanya. Celine menatap mereka semua lalu tersenyum tipis. Dia selalu ingat apa yang Abidzar suruh. Untuk tersenyum jika tidak ingin menyapa.
“Eh, ini nganter istri ke warung. Sejak kapan di sini, Rus?” Abidzar bertos ria saat Rustan mendekatinya.
Abidzar hanya menyapa yang lain dan lanjut ngobrol sambil menikmati kopi hangat itu.
Celine melirik teman Abidzar yang melirik ke arahnya beberapa kali itu. Celine memalingkan wajahnya ke depan. Dia menekuk wajahnya risih.
Apa rambut pirang dan kulit putihnya mengundang perhatian seintens itu? Di sini juga ada ibu-ibu berkulit putih!
“Celine, dia Rustan. Teman seangkatan aku, seumuran.”
Celine kembali tersenyum formal, menatap pria yang terlihat tertarik itu. Bukannya geer, Celine sering mengalaminya dan terbukti benar.
Awas saja dia jika macam-macam. Celine tidak akan tergoda. Di sini Abi yang paling baik. Serunya dalam hati dengan sangat yakin.
“Hai, aku denger cuma dari cerita-cerita tetangga.”
“Soal gue pengacau?”
Abidzar mengusap sebelah pinggang Celine, menegurnya dalam diam.
“Iya, katanya lucu desa jadi ramai.”
Celine hanya tersenyum tipis dan tidak merespon lagi. Dia patuh dengan kode Abidzar hingga akhirnya mereka selesai berbincang setelah sekian lama tidak bertemu.
“Kenapa ga ramah lagi?” tanya Abidzar. “Ketus loh tadi kamu,” suara lembut itu terdengar di atas kepala Celine.
Celine mendongak, menatap Abidzar yang masih fokus pada jalanan.
“Jelalatan, lirik-lirik gitu. Risih!”
Abidzar juga sadar dan agak kesal. Makanya dia tidak berbincang lama.
“Dia salah satu yang bahaya di sini, jadi kamu jangan pake pakaian seksi.”
“Terus kalau mau pake gimana?”
“Di kamar aja.”
“Cie buat lo aja gitu?”
“Harusnya emang gitu.”
“Oke, pak suami.” seru Celine dengan usilnya.
Abidzar mengulum senyum. “Peluk cemilannya. Aku kencengin, biar cepet sampe. Dingin.” bisiknya.
“Ntar gue angetin.” Celine kembali mendongak, mengecup dagu Abidzar lalu mengeratkan pegangannya pada cemilan.
“Iya.”
“Maukan? Semua cowok sama aja! Sukanya tuh kehangatan selangkangan cewek-cewek.” gumamnya yang masih Abidzar dengar.
“Aku beda, maunya cuma sama kamu. Istri aku.”
Celine sontak diam. Dia merasa kembali berdebar. Membuatnya menekuk wajah karena jengkel dengan yang terjadi di jantungnya. Ngocoks.com
Abidzar melirik Celine yang diam. Kenapa tidak ada sahutan lagi?
***
“Hari ini kamu lulus lagi.”
Mendengar itu Celine tersenyum senang. Ternyata tidak buruk.
Keduanya masih bertindihan di bawah selimut. Dengan Celine di atasnya.
Celine merebahkan pipinya ke dada bidang Abidzar, menggerakan telunjuknya memutar di kulit Abdizar.
“Sampai kapan?” tanya Celine akhirnya bisa disuarakan.
“Nanti aku kasih tahu.” Abidzar mengusap punggung dan belakang kepala Celine.
Celine selalu menyukainya.
Celine kembali mengangkat tubuhnya dan bergerak lagi.
Abidzar menatapnya lekat. Wajah seksi dan tubuh indahnya itu. Sungguh Abidzar merasa gila.
“Pelan.” Abidzar tidak ingin suara derit kasur dan desah Celine terdengar keluar.
Celine kembali rebahan, Abidzar yang mengambil alih. Memeluknya erat dan bergerak perlahan.
“Udah anget?” bisik Celine.
“Belum.”
“Cih! Mulai doyan!” gumam Celine di sela desah pelannya.
Bersambung…