Celine memainkan jambang tipis yang agak kasar itu. “Lo ini sering dicukur?” tanyanya anteng masih rebahan di atas Abidar yang merem melek mulai ngantuk.
“Hm.” jawabnya pelan lembut khasnya.
Abidzar terlihat sayu, menatap Celine yang masih segar. Mengusap rahang atau bibir atasnya.
“Alis lo tebel banget,” komentar Celine sambil menyentuhnya oleh telunjuk. “Sama kayak yang di bawah, lo ga pernah cukur?” lanjutnya santai.
Abidzar tersenyum samar sambil terpejam sejenak. Bisa-bisanya Celine membahas begituan.
“Lo mau bantu cukurin punya gue ga? Udah mulai tumbuh, nusuk-nusukan?”
Astaga Celine. Abidzar masih belum terbiasa dengan segala tingkah Celine yang frontal. Kenapa begitu mudah bagi Celine yang baru mengenalnya belum menyentuh tahun itu.
“Besok ya? Alat cukurnya di koper ada.” Celine menyisir poni Abidzar yang agak lembab bekas suaminya itu cuci muka.
Abidzar yang tengah menatap kesantaian Celine terpejam lagi sesaat. Mencukurnya? Sejauh ini Abidzar hanya berani melihat dan menyentuh sesekali.
Jika mencukur bukankah akan fokus— sudahlah, pikirkan itu nanti. Di pikirkan sekarang hanya membuatnya mengeras.
“Lo juga gue cukur ya?” Celine tersenyum nakal. “Di bawah keras lagi ya?” usilnya.
Bule cantik satu itu! Ck, Abidzar jadi tidak ngantuk lagi dibuatnya. Tapi tidak memaksa untuk lagi. Dia hanya diam, membiarkan Celine memilih.
Lanjut atau berhenti.
“Kamu ga ngantuk?” Abidzar menyelipkan rambut ke telinga Celine, mengusap sisi wajah kirinya sekilas.
Celine menghangat mendengar suara lembutnya itu. Selalu membuatnya nyaman dan di sayang.
Celine merebahkan pipinya ke dada Abidzar, memeluk tubuh besarnya. “Ga, belum.” jawabnya pelan.
Abidzar mengusap rambut pirang Celine yang berantakan di punggung kurusnya.
“Jangan gerak,” Abdizar menahan setiap sisi pinggang Celine. Usil sekali memang. “Ah..” lenguh Abidzar.
Celine malah menenggelamkannya, begitu meremas kuat, ketat dan hangat. Istri nakalnya bergerak pelan.
“Jangan ditahan, cepetin keluarnya.” bisik Celine.
Abidzar peluk semakin erat, mengendus wangi leher dan rambutnya. Celine meraih bibir Abidzar dan melahapnya hingga bengkak basah.
Keduanya menuntaskannya dengan cepat.
“Usap-usap, biar nganguk.” Celine kembali rebahan nyaman tetap di atas tubuh hangat Abidzar.
Abidzar tanpa kata mengabulkannya dan perlahan memindahkannya setelah dipastikan sudah terlelap. Lumayan, pegal juga.
Abidzar mencoba mengalihkan pikiran, menekan gairahnya hingga berhasil dan terlelap.
***
Abidzar menatap Celine yang pagi-pagi kembali tantrum. Dia menyimpan semua barang yang dia beli pesanan Celine dari warung kemarin.
“Kenapa?” Abidzar menarik Celine agar tidak menunjuk-nunjuk orang tua dengan emosi yang meledak begitu.
“Itu, nak Abi. Istri—”
“Dia ngada-ngada, Abi! Jangan didengerin, dia cuma mau uang! Gue ga rusak apapun, ini kaki kotor pun karena gue nolong kucing yang di lempar anak kecil itu,” tunjuk Celine pada segerombolan anak kecil yang tengah bermain di pinggir kali.
Kucingnya bahkan ada di kebun belakang rumah Abidzar. Celine amankan karena anak-anak itu nakal, melemparnya ke lumpur basah.
“Ga sopan ya potong ucapan orang tua!” bentak pak Cepi.
“Kamu masuk,” Abidzar menahan Celine yang akan meledak lagi itu.
“Engga! Dia bohong abi! Dia cuma mau uang aja,”
“SEMBARANGAN! Tuduh orang tua—”
“Orang tua apa! Tipu-tipu!” amuk Celine terus berteriak dan Abidzar terus mendorong lembut Celine untuk masuk.
“Sabar, pak.” Dean menahan ayahnya yang terlihat emosi.
“Abi, gue—”
“Masuk, Celine.” potong Abidzar dengan tetap saja lembut.
Celine terlihat kesal. Kebaikan Abidzar pasti sudah sering dimanfaatkan orangkan?
“Abi!” kesal Celine.
“Aku beresin sama mereka, aku percaya kamu 100 %. Jangan mengundang tetangga, nanti mereka tetep aja pikir kamu yang buat ulah,” jelasnya lembut penuh bius.
Celine menangkap perhatian di dalamnya. Abidzar ada benarnya. Citranya di sinikan buruk.
“Tunggu ya, kalau berhasil ga keluar. Hari ini kamu lulus juga karena patuh sama suami.” dengan lembut dia usap kepala Celine sekilas dan kembali keluar.
Celine menatap punggung Abidzar yang menjauh. Dia terisak kesal, mungkin karena emosi tidak tersalurkan.
Celine yakin, dua manusia itu warga yang tidak baik. Apa mereka akan mengarang cerita dan memeras Abidzar.
Celine tidak akan biarkan itu.
Dia gagal lulus pun tidak peduli. Jika mereka menerima uang, Celine akan cari sawahnya dan benar-benar mengacaknya.
***
Celine menguping dengan kesal. Benar dugaannya. Si tua dan anaknya yang terlihat berantakan itu menipu Abidzar yang dengan mudahnya akan mengganti rugi.
Celine murka!
Untung Mimah sedang di tempat bu Dewi.
“Nak, ada masalah apa?”
Celine tersentak kaget, baru saja dipikirkan. Mimah kini muncul dan masuk ke dalam kamarnya.
“Ibu,” Celine beranjak. “Jangan percaya mereka, mereka ngarang cerita. Ada anak kucing di belakang, di bekas kardus. Itu buktinya,” jelasnya.
“Sebenarnya, pak Cepi memang kurang baik, ibu percaya kamu. Tapi pak Cepi tidak memukul mantu ibukan? Dia terkenal kasar,” bisiknya.
Manusia sampah itu! Ternyata ada yang lebih sampah darinya. Pikir Celine semakin emosi. Dia harus melampiaskannya.
“Dia tuduh berantakin sawahnya, emangnya sawah dia yang mana, bu? Kucing itu di lempar ke sawah yang sebrang rumah kuning di depan sana.” tunjuknya sambil berbisik.
“Sawahnya yang dekat warung, pinggir warung sekali.”
“Warung bu Hanum?”
“Kamu tahu? Oh iya, kemarin pergi bareng Abidzar ya.”
Celine tidak mendengarkan celotehan Mimah lagi. Dia tersenyum samar. Besok habis sawahnya itu. Tekadnya.
“Bu, masalah selesai.” Abidzar melepas jaketnya.
Mimah dan Celine yang duduk di pinggiran kasur menoleh pada Abidzar yang masuk.
“Aku mau bicara sama Celine dulu,”
“Hm, ibu mau ke tempat bu Dewi lagi. Ibu harus jelasin fakta sebenarnya, jangan sampai semua warga lebih percaya pak Cepi dan anaknya.” Mimah terlihat serius dan beranjak pergi untuk melindungi mantunya.
Mimah sudah senang dengan perubahan Celine dan kini mantunya itu di tuduh.
Celine jadi ragu dengan niat buruknya. Mengabaikan Abidzar yang mengamati tubuhnya.
“Ga kena pukulkan? Celine? Celine?”
Celine menatap Abidzar. “Ha?” sahutnya polos lalu berubah kesal saat sadar Abidzar sudah di sampingnya duduk. “Lo kasih dia uang?!” amuknya.
“Yang penting—” Ngocoks.com
“GUE GA LAKUIN ITU! Gue marah sama lo!” dorongnya lalu beranjak pergi.
Abidzar segera mencekalnya. “Maaf aku salah, mau kemana?” tanyanya lembut.
Celine manatap tatapan hangat dan wajah lembut tanpa emosi itu. “Gue ga lakuin!” bibirnya bergetar dengan kedua mata basah. Celine terlihat kesal sekali.
“Aku percaya, tapi mereka bahaya. Lebih baik ngalah aja, uang yang aku—” Abidzar urung menjelaskannya.
Bisa-bisa Celine menduga buruk ketulusan dia, ibunya dan beberapa warga yang memang baik pada Celine.
“Gue ga takut!” bentaknya berderai air mata.
“Tapi aku takut. Takut mereka nekad sakitin kamu,”
Celine yang berdebar mendengarnya memilih memukuli Abidzar sebagai pelampiasan. Bisa-bisanya dia gombal di saat yang tidak tepat.
Padahal Abidzar serius. Dia tidak ingin menikah lagi, tidak ingin menjadi duda dengan cepat.
Dia sungguh tidak ingin ada penghalang di saat Celine hendak menjadi lebih baik.
“Sakit, Celine.” ucapnya lirih, mencoba menangkis tanpa menyakitinya.
“Lo bego! Lo gampang di manfaatin apa lo sadar?!” bentaknya kesal.
“Selagi bermanfaat—”
“Tolol!” amuknya.
“Ga sopan—”
Abidzar memeluk Celine yang terisak kesal itu. Mengusapnya sampai tenang.
Bersambung…