Celine pagi-pagi cemberut, rambutnya dibiarkan kusut. Dia anteng memberi anak kucing itu daging ayam yang dia pinta dari Mimah yang kini tengah memasak sewir ayam kesukaan Celine.
“Meng, gimana ya?” gumamnya pelan, terus mengangsurkan sedikit demi sedikit daging itu pada kucing yang mulai kembali segar tidak menggigil dingin karena basah seperti kemarin.
Celine tengah menimang. Apa dia harus mengacaukan sawah pak Cepi atau tidak. Tapi jika tidak dia terus saja kesal, merasa tidak adil.
Pria tua dan anaknya yang terlihat sama-sama penipu itu telah mengambil uang Abidzar sebesar 10 juta.
Celine penasaran, di sawahnya ada apa sampai semahal itu ganti ruginya.
“Argh! Ga bisa!” gumam Celine kesal. Dia masih tetap membantu kucing kecil itu makan.
Celine menggigit bibir bawahnya, dia sudah tidak bisa menahan kesalnya. Hari ini tidak lulus pun dia tidak peduli.
Yang terpenting kesalnya terlampiaskan dan rasa adilnya pun terpuaskan.
“Lagi apa?” Abidzar ikut berjongkok, sebelum menyentuh kucing, dia rapihkan rambut Celine yang sangat berantakan. “Udah cuci muka, sikat gigi, belum?” tanyanya mengalun lembut penuh perhatian.
Celine meliriknya kesal. Dia tidak menjawab, mogok bicara. Dia ingin ngamuk jika membuka mulut.
Abidzar tahu, Celine masih marah soal kemarin. Dia sungguh tidak ingin Celine terlibat masalah.
“Mau jajan?”
Celine terus mengabaikannya. Membuat Abidzar tersiksa ternyata, lebih baik ngamuk dari pada diam.
“Selesai, saatnya tidur.” Celine memasukan kucing itu ke kardus yang sudah di beri kain, lebih tepatnya kaos Abidzar yang dengan pasrah Abidzar tidak larang saat dengan santainya Celine meraih dan menggunakannya tanpa izin.
Celine beranjak, mengabaikan Abidzar seolah suaminya itu tidak ada.
“Baru ibu mau panggil, makan dulu.” ajak Mimah dengan tersenyum senang karena Celine mendekatinya tanpa menolak.
Abidzar menarik kursi untuk Celine namun Celine segera meraih yang dekat Mimah dan duduk.
Mimah melirik Abidzar yang menatap Celine dengan kululuman senyum geli. Sepertinya Celine tengah marah, tapi kenapa dengan senyum Abidzar? Batinnya.
“Makan yang banyak.” Mimah mengusap sekilas kepala Celine.
Membuat Celine menghangat, dia menunduk dan mengangguk pelan. Sungguh tidak melirik Abidzar.
“Ga takut gendut?” celetuk Abidzar setelah melihat anggukan Celine.
Celine tetap diam, benar-benar tidak menganggap Abidzar ada.
***
“Mau ke balai desa?” tanya Celine dengan senyum cerah yang ramah.
Abidzar mengangguk, berhenti mengeringkan rambutnya. Menatap Celine terheran.
Entah kenapa Celine bagai cuaca yang menipu. Cuaca cerah yang tak lama dari itu tiba-tiba badai datang.
Itu hanya perasaannya sajakan?
Bukankah Celine marah? Mogok bicara? Tapi kenapa tiba-tiba tersenyum begitu cerah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa? Mau ikut?” Abidzar jelas mendekat, duduk di sampingnya.
Celine langsung menabraknya, memeluk dan mencium bibirnya. Bermain main di pipi Abidzar sesuka hati, menjilati rahang dan lehernya.
“Celine?” Abidzar memanggilnya lembut, pasrah saja di serang tiba-tiba.
Celine meraih handuk dan mengambil alih untuk mengeringkan rambut Abidzar. “Engga mau. Pulangnya beliin obat gatel yang waktu itu ya, habis.” pintanya.
“Yang di warung bu Hanum?”
“Iya.” Celine terus menggosok rambut Abidzar yang halus. Rambutnya bagus bagai terawat, tidak kering seperti dirinya. Mungkin karena di warnai.
Abidzar sesekali menatap wajah cerah Celine, membuatnya merasa tak enak hati tapi memilih mengabaikannya.
Mungkin Celine sadar dan ingin lulus lagi hari ini.
Celine mengecup sekilas bibir Abidzar. “Sisir aja, nanti di perjalanan kering.” dia beranjak meraih sisirnya, bukan sisir Abidzar.
Abidzar diam saja ditata rambutnya, bahkan kaosnya pun harus diganti karena warnanya tidak cocok dengan celana. Bertabrakan katanya.
Abidzar mengulum senyum samar. Celine tengah berperan jadi istrinya.
Bahkan mengantarnya hingga pintu depan, tersenyum dengan hangatnya. “Dahh.. Jangan lupa ya,” ujarnya.
Abidzar mengangguk, mengayunkan langkahnya ragu. Sesekali menoleh menatap Celine yang langsung melambai.
“Mungkin hanya perasaan.”
Senyum Celine yang cerah berubah jadi senyum miring. Dia harus memiliki sekutu di desa ini. Tapi pikirkan itu nanti saja. Ngocoks.com
Celine akan fokus bersiap untuk misinya menghancurkan sawah pak Cepi.
Sesampainya di sawah itu, Celine memijat sesekali kakinya yang pegal. Ternyata jalan jauh, dan juga untung saja tidak berpapasan dengan yang kenal atau yang pernah berurusan dengannya.
“Cih! Apaan, tanah sebesar ini, nanam cuma apa nih?” Celine mencabutnya dan menatap buah di bawah daun itu. “Bawang? Sama apa tuh, sayur apa ya itu?” gumamnya.
Celine menggeram kesal. Mereka sungguh menipu! Lihat saja, akan dia hancurkan semuanya.
***
“Bimo, mba.”
“Celine.”
Keduanya bersalaman, saling melempar senyum. Seolah keduanya tengah sepakat bekerja sama.
Celine merasa semesta mempermudahnya. Dia tidak sendirian untuk mengacau di sawah yang cukup luas itu.
“Pakai maskernya! Jangan sampai ada orang tahu,” perintah Celine.
“Siap, mba!” serunya dengan pipi merona. Dia berdebar melihat Celine. Begitu cantik bercahaya. Andai saja dia tidak memiliki suami.
Bimo sungguh terbius oleh kecantikannya sampai mau saja menjadi sekutu. Entah mungkin dia memang nakal juga di desa ini.
“Satu.. Dua.. Tiga…” Celine dengan riang gembira penuh kepuasan mencabuti semuanya, bahkan ada beberapa padi yang di tanam pun dia cabuti.
Kata Bimo itu sawah pak Cepi juga.
Untung sawahnya berada di belakang warung bu Hanum, di belakang rumah warga juga. Sungguh semesta baik membuatnya bisa balas dendam.
Hingga lelah membuat keduanya duduk berteduh dengan penuh lumpur, begitu lusuh.
Bimo kembali terpana, Celine bagai dewi portuna. Tidak ada lusuh-lusuhnya sama sekali di matanya.
Celine melirik bocil pendek yang membantunya itu. Dia tersenyum senang, akhirnya punya sekutu yang sejalan di desa ini.
Jika kelak ada yang meremehkan Abi, Celine akan bertindak meminta bantuannya.
Tapi, tunggu! Kenapa dia melakukan ini?
Celine panik, dia menyudahi minumnya. Dia bergeras membersihkan diri di air terjun kecil itu dan pamit.
“Gue gila kayaknya!” gumam Celine selama perjalanan.
“Dari mana?”
“ARGH!” jerit Celine saat tiba-tiba suara Abidzar menyapanya, baru saja masuk ke dalam pintu rumah.
Abidzar menatap dari atas ke bawah. Perasaannya tidak enak, saat pulang Celine tidak ada dan kebetulan Celine datang. Ternyata benar, Celine baru selesai melakukan sesuatu.
“Kamu rusak sawah pak Cepi?” tebak Abidzar, tetap mengusap wajah Celine yang ada setitik lumpur kering.
Abidzar dengan tenang dan tatapan lembutnya, membuat Celine merasa tak enak. Merasa bersalah walau puas dengan apa yang dilakukannya. Entahlah, semua campur aduk.
Bersambung…