“Kamu bikin ulah di mana?” Abidzar meraih jemari Celine dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.
“Aku, main aja. Beli ini.” Celine mengangkat satu botol minuman yang habis setengahnya itu.
“Uang dari mana?” Abidar tahu, Celine tidak dibekali uang, kartu dan semuanya disita agar Celine tidak kabur.
Celine kicep sejenak.
“Kenapa tanya-tanya sih! Kepo, udah ah minggir!” kesalnya sambil menyingkirkan Abidzar agar tidak menghalanginya.
“Kamu jadi kasar lagi, hari ini—”
“Gagal? Bodo amat!” potongnya ketus.
Alis Abidzar menyatu samar, kenapa Celine kembali seperti saat pertama bertemu.
“Celine,” panggil Abidzar lembut, mengekorinya yang ke kamar.
Celine mencoba menghindar, dia membuka koper. “Mau mandi, cukurin!” putusnya sebagai peralihan.
“Cukur?” dan Abidzar pun ngeh. Mereka pernah membahas itu. “Tapi—”
“Mau bantu ga?!” nada suara Celine kembali meninggi. Sebenarnya Celine panik Abidzar membahas lagi dari mana dia keluar tadi.
“Suaranya, Celine.” tegurnya lembut, tangannya terulur mengusap kepala Celine sama lembut.
Celine menepisnya pelan. “Maaf.” ucapnya singkat lalu beranjak dengan handuk dan dalaman.
“Ga papa,” Abidzar tersenyum tipis, tatapannya yang penuh kelembutan kembali membuat Celine agak aneh.
“Eh lupa, alat cukurnya.” Celine kembali berjongkok. “Apa di sini aja cukurinnya?” dia mendongak menatap Abidzar.
Abidzar terdiam sebentar. Telinganya begitu merah. Dia mengusap tengkuknya sekilas, agak gimana ya. Dia memang pernah melihat dan menyentuhnya tapi mencukurnya?
Oh astaga. Bagai rindunya Dilan, Berat.
“Terserah kamu.” Abidzar mengalah saja, tidak ingin Celine kembali mogok bicara.
***
Abidzar menyeka peluhnya, mungkin ini siang bolong. Ibunya bahkan belum pulang dari acara kumpulan ibu-ibu desa yang memang diadakan sebulan sekali itu.
Abidzar kembali fokus, mencukurnya perlahan sekali. Telinganya seperti akan meledak rasanya.
Celine begitu cantik.
Abidzar mengoleskan obat bening itu lagi dan kembali mendekatkan alat cukur. Dia terlihat fokus di antara kaki Celine yang terbuka.
Celine bagai bocah tidak punya malu hanya makan cemilan, rebahan santai di atas kasur.
Abidzar membenarkan plastik yang menjadi penampung hasil dari cukuran itu. “Angkat sedikit.” perintahnya.
Celine mengabulkannya, membiarkan Abidzar membenarkan penghalang agar tidak mengenai kasur itu.
“Udah.”
Celine kembali asyik, suara kriuk-kriuk mengisi keheningan. Dia sesekali melirik Abidzar yang begitu serius.
“Mau jilat?” tanya Celine usil dengan mulut penuh cemilan, menatap Abidzar menggodanya.
“Aku lagi fokus, pisau cukurnya tajam.” Abidzar bersuara pelan, terlihat kembali fokus hingga selesai.
“Gantian,” Celine menjilati jemarinya yang penuh bumbu cemilan itu.
Abidzar menatapnya lekat, apa Celine sengaja bertingkah begitu? Itu bahaya jika laki-laki lain melihatnya.
“Ga usah, aku—”
“Mau! Jangan nolak!” tegas Celine agak terdengar sedikit merengek.
“Iya.” Abidzar kembali mengalah.
Lihat? Celine sungguh kesal. Abidzar memang mudah dimanfaatkan. Mending oleh dirinya, istrinya. Lah si pak tua itu orang lain!
Abidzar menurunkan celananya lalu memejamkan mata pasrah. Celine melihat betapa keras miliknya.
“Wuuu.. Keras kayak kehidupan!”
Abidzar terkekeh pelan mendengar seruan istri nakalnya itu. Sungguh tidak menyangka akan melakukan hal itu.
“Abi.”
“hm?”
Celine begitu kecil, kedua kaki Abidzar sampai bisa memeluknya yang tengah anteng dengan tugasnya mencukur itu.
“Ga jadi.” Celine tadinya akan jujur soal sawah pak Cepi. Tapi nanti juga Abidzar pasti akan tahu sendiri.
Celine akan menikmati moment ini dulu.
“Mau apa?” tanya Abidzar sambil menatap Celine yang menunduk fokus itu.
“Pulanglah! Ke kota!” semprotnya.
Abidzar tersenyum. “Kamunya udah baik belum? Hari ini malah rusakin sawah pak Cepi.” balasnya.
Celine berhenti mengolesi obat cukur agar tidak iritasi itu. Dia mendongak menatap Abidzar.
“Tahu dari mana?”
Senyum Abidzar lenyap. “Padahal aku cuma tebak aja.” jawabnya lembut lalu duduk hingga berhadapan dengan Celine.
Mati gue!
Celine pikir memang tahu. Pada akhirnya dia sendiri yang memberitahu.
“Maaf.” refleks Celine lalu mengecup pelan bibir Abidzar. “Gue kesel, biar adil aja. Dia udah terima uangnya,” lalu menggerutu kesal.
Abidzar mengusap kepala Celine, tidak marah sama sekali. “Semoga ga akan terjadi apa-apa. Ke depannya jangan pergi sendirian, takutnya anak pak Cepi nekad ajak orang buat jahatin kamu.” jelasnya begitu penuh perhatian. “Aku cuma mau kita hidup damai, ibu sama kamu ga ada yang ganggu.” lanjutnya kian lembut.
Bagai suami yang sangat sayang pada istrinya.
“Abi,” panggil Celine pelan sekali. Tatapannya berkilat menyesal. Dia melihat kilat cemas di kedua mata Abidzar. Terlihat tulus dan baru pertama kalinya semenjak ibunya tiada.
“Hm?”
Celine segera menyadarkan dirinya. Dia tidak ingin terhanyut dengan suara lembut penuh perhatian itu. Dia takut seperti kejadian ibunya. Dia terluka parah setelah ditinggalkan.
“Berhenti bahas lagi. Tiduran, cepet!” dorongnya hingga Abidzar terlentang lagi.
Celine menekuk wajahnya. Dia tidak menyesal, dia puas dengan apa yang dilakukannya. Terus saja menepis.
“Aku seneng kamu berubah dan beberapa hari lulus, tapi kenapa hari ini kamu ga bisa tahan. Padahal kamu boleh marah atau pukul aku sebagai pelampiasan.”
Celine kembali merasa terganggu. Dia memilih menyelesaikannya tanpa usil mengocok atau mengulumnya.
Celine membersihkan alat itu dengan tissue lalu mendorong Abidzar yang hendak bangun karena tahu selesai.
“Eh?” Abidzar menahan tubuh Celine yang secepat kilat mengukungnya. “Kenapa nangis?” tanyanya.
“Gue kesel! Gue bilang ga lakuin hal itu, dengan lo kasih mereka uang tandanya lo lebih percaya mereka, emang setakut apa mereka sampai—”
“Celine.” panggil Abidzar lembut, membuat emosinya terjeda.
Celine sungguh tidak peka dan paham. Bagaimana ya dia harus menjelaskannya.
“Gue kesel lo kenapa baik sih? Lo kenapa mau dimanfaatin? Kenapa lo ga pernah emosi? Bikin gue jengkel!” raungnya kesal dengan berderai air mata. “Gue udah bikin kalian malu! Kenapa malah bikin gue ga nyaman karena respon kalian!” amuknya lagi.
“Celine.” Abidzar membalik Celine dengan lembut, dia yang kini mengukungnya. “Kalau kita baik, kita harap kamu juga berbuat baik ke kita. Itu harapan kita.” jawabnya.
“Terus kalau engga kunjung baik?” tanyanya kesal dengan masih saja bercucuran air mata saking kesal.
“Kita percaya, suatu hari nanti itu pasti ada. Di mana kamu bisa lebih baik lagi, menghargai hal-hal kecil,—” Abidzar begitu lembut menjelaskannya.
Sampai Celine tidak bisa menyela atau mendebatnya.
“Gue juga mau, lo jangan cuma iya-iya aja! Lo harus bisa nolak!”
“Aku usahain,”
“Ga mau! Harus iya,”
“Iya.”
“Tuhkan! Iya lagi!” amuk Celine lalu menggigit bibir bawah Abidzar sampai mengaduh.
“Aduhh shh..” Abidzar mengusap kepala Celine, membiarkan bibirnya itu digigit-gigit kesal.
Celine menjilat bekas gigitannya lalu memasukan lidahnya dan mengabsen jajaran gigi Abidzar yang rapih.
“Shh..” Ngocoks.com
“Abi,” panggil Celine setelah menghentikan kenakalan lidahnya. “Mau,” lalu menatap kedua mata lembut Abidzar.
“Siang-siang gini?”
Celine mengangguk, membelitkan lengannya di leher Abidzar sampai tubuh keduanya bertindihan rapat.
“Iya, ayo.” Abidzar tersenyum.
“Tuhkan iya lagi!”
“Soal ini mana bisa aku nolak,” bisik Abidzar membuat hidung mereka bersentuhan.
Celine mendengus. “Bukain dulu,” dia tidak nyaman jika masih ada kain yang melekat.
Abidzar pun menurutinya, membukanya penuh perhatian tanpa tergesa oleh dorongan yang sudah dia tahan itu.
Abidzar tersenyum, mengecup perut ratanya sekali lalu memeluknya lagi. Keduanya mulai berciuman. Sama aktif.
***
Abidzar menyelimuti Celine setelah memakaikannya celana. Dia tidak mengganggu Celine untuk lanjut istirahat.
Abidzar memutuskan keluar, ibunya masih belum pulang dan langkahnya terus terayun hingga menatap luar rumah.
Abidzar menunggu orang yang dekat dengan warung bu Hanum, berharap orang itu memberitahu apakah pak Cepi mengeluh sawahnya rusak.
“Bim, Bimo!” panggil Abidzar pada Bimo yang tengah bersepeda. “Sini sebentar.” lanjutnya.
Bersambung…