Celine duduk sendirian di depan rumah Abidzar yang masih belum modern itu. Berbahan kayu yang sederhana, bahkan yang dia duduki pun berbahan kayu.
Anak-anak kecil terlihat tertawa riang di ujung jalan sana, ada seperti pertunjukan sederhana dari monyet kecil yang dipakaikan pakaian dan payung.
Celine beranjak, berdiri menatap itu. Dia tidak salah lihatkan? Itu monyet. Tak hanya anak kecil, beberapa ibu-ibu juga menemani anak mereka.
Seruan dan tawa terdengar disetiap pergerakan monyet itu. Celine ingin melihatnya tapi dia tidak berani.
Dia pun kembali duduk, menunggu Abidzar yang mengantarkan Mimah menggunakan sepeda, entah sejauh apa. Yang jelas lama.
Celine merasa bosan menunggu di dalam rumah saja. Dan takut juga.
Tatapan Celine berpindah pada sawah di depan yang begitu luas. Di desa ini rumah memang belum penuh dan padat, tapi di samping rumah Abidzar semua rumah, di kiri kebun luas sampai ke belakang rumah.
Rumah itu berjajar di satu sisi jalan dan depannya disuguhkan sawah dan jika malam tiba, di depan sana itu gelap. Hanya cahaya lampu jalan yang menerangi.
Celine juga belum pernah keluar lebih dari jam 7 malam. Keluar pun sekali bersama Abidzar saat jajan di warung.
Apakah bulan menerangi desa yang belum tersentuh ponsel ini?
“Istrinya nak Abi, sedang apa?” tanya ibu-ibu yang sepertinya baru selesai dari kebun.
Celine tersenyum tipis agak canggung. “Nunggu Abi, b-bu.” jawabnya. Dia sungguh tidak biasa dengan keramahan itu.
“Oh gitu, mari.”
“Iya.” Celine jadi ikut mangut lalu menatap kepergiannya.
Mereka semua sungguh tidak membencinya? Hebat sekali, padahal masalah saat awal dia datang tidaklah masalah sepele.
“Abi!” seru Celine refleks berdiri dan berjalan ke pinggir jalanan. “ARHHH! BEBEK!” jerit Celine dengan tubuh tersentak kaget saat berpapasan dengan bebek dan anak-anaknya yang melenggang santai.
Abidzar tersenyum tipis, menyimpan sepedanya di pinggir lalu menghampiri Celine yang jelas melesat masuk ke dalam rumah.
“Udah lewat, ga ada.” Abidzar melepas jaketnya lalu mengamati wajah Celine. “Sejak kapan di luar? Cuaca lagi dingin,” dia sentuh kening lalu pipi Celine agak kaget.
Celine bagai hampir membeku. Tanpa menggunakan jaket dan celana panjang jelas saja akan dingin.
“Tangan kamu sampai dingin begini,” Abidzar menuju dapur, menuangkan segelas air hangat.
Celine mencoba menerima perhatian itu, mengabaikan perut dan ginjalnya yang berkedut agak geli, mana berdebar.
“Aku suruh di dalem, kenapa di luar,” suaranya mengalun lembut sambil membelitkan selimut tipis di tubuh Celine.
“Di dalem enak, maksudnya.. Ck! Cuma—”
“Abidzar!” panggil seseorang lalu mengetuk pintu.
“Sebentar.” Abidzar berjalan segera dan membuka pintu.
***
“Bantu bapak, nak. Pak Cepi bilang kamu sedang banyak uang, bahkan bagi-bagi—”
“Maaf memotong, pak. Abikan udah ga kerja lagi, ga banyak uang kok, tapi ya cukup. Pak Cepi waktu itu uang ganti rugi, uang yang harusnya untuk biaya beberapa bulan Abi dan istri,” Abidzar jelas tidak ingin Celine mendengar soal bagi-bagi uang itu.
Celine duduk santai dengan memeluk cemilan, dia menatap dan mengamati pria tua lusuh itu dengan terang-terangan.
Apa dia akan memanfaatkan kebaikan Abidzar? Lalu Celine menatap Abidzar. Apakah dia akan iya saja dan meminjamkan uang.
“Biaya yang pak Ali butuhkan berapa kalau boleh Abi tahu,”
“5 juta kurang lebih, nak. Bapak akan bayar jika hasil panen terjual, bantu bapak, nak..”
Abi melirik Celine. “Abi boleh diskusi sama istri dulu, pak? Nanti jika ada Abi antarkan,” lalu tersenyum.
Pak Ali pun tidak memaksa. Dia akan menunggu kabar dari Abidzar, semoga bisa dipinjamkan karena dia sungguh butuh, tidak seperti Cepi yang sebagian besarnya untuk judi ayam bersama anaknya.
***
“Gimana menurut kamu?” Abidzar menatap Celine.
Celine memberikan cemilannya pada Abidzar yang langsung meraih dan menyimpannya.
“Mana gue tahu, lo yang punya uang, kenal bapak tadi juga,” Celine meminum air beberapa teguk.
“Kasih jangan? Pak Ali sejauh ini aku kenal, dia baik. Ga mungkin manfaatin suami kamu,”
Celine berdehem. “Ya udah, kasih aja. Tapi bentar, lo kok punya banyak uang?” selidiknya, memicing curiga.
“Aku pernah kerja, berhenti karena nikahin kamu.” Abidzar beranjak sambil mengacak puncak rambut Celine gemas. “Nanti kalau kamu udah berubah, ga ada niat kabur aku kasih uang,” bisiknya sebelum pergi ke kamar.
Abidzar bergerak menuju tempat yang dia isi dengan uang dan beberapa berkas itu.
Celine merapihkan rambutnya, mendengus lalu mengulum senyum samar. Kenapa membuatnya ingin senyum ya? Lagi-lagi berdebar.
Abidzar menyiapkan uang itu, lebih dulu makan karena lapar sambil menyuapi Celine lalu ke toilet.
Tak lama Abidzar kembali keluar. “Mau ikut? Pakai jaket sama celana panjang, di luar dingin.” perintahnya lembut.
Celine mengangguk dan segera mempersiapkan diri lalu duduk santai dengan Abidzar menggoes sepeda.
“Pak Ali tadi rumahnya jauh?” tanya Celine sambil sesekali melihat beberapa ayam dan bebek yang mereka lewati.
“Lumayan,”
“Dia jalan kaki, kasihan.” ceplosnya tanpa sadar.
Abidzar tersenyum mendengarnya. Celine mulai ada simpati. Tidak egois, itu bagus. Perlahan Celine pasti akan menunjukan diri aslinya.
Celine hanya terbungkus duri dari lukanya, sebenarnya dia baik. Entah pergaulan atau luka yang membuatnya begitu. Abidzar yakin, pilihan ayahnya pasti akan baik untuknya kelak.
“Abi, padahal beli kendaraan, terus jadiin uang, bukannya jauh ya dari sini ke kota, lumayan.” ujar Celine asal ceplos lagi, dia anteng menikmati terpaan dingin yang sejuk, melewati beberapa kebun, lalu kembali melihat rumah warga.
Celine beberapa bulan di sini sungguh dimanjakan dengan warna hijau alam.
“Iya, nanti kalau kamu udah ga ada niat kabur.”
Celine mendengus menanggapinya, dia melihat anak kecil yang main di lapangan luas itu. Terlihat bebas dan seru.
Ini yang kedua kalinya dia melihat itu. Hingga laju sepeda membawanya ke tempat baru, begitu berbelok dan jalannya hanya bisa dilewati sepeda motor maksimal.
Celine hanya memasang senyum, Abidzar yang begitu ramah membalas sapaan mereka tanpa menghentikan laju, hanya memelankannya saja.
“Social butterfly,” gumam Celine.
“Hm?” sahut Abidzar tidak terlalu mendengar.
Celine mendongak, mengusap sekilas rahang Abidzar. “Engga.” lalu kembali menatap depan.
Mendapatkan perlakuan selembut barusan membuat Abidzar melebarkan senyuman. Dia kini dibuat berdebar lagi. Perasaannya menghangat.
***
“Gila, udaranya.” Celine sampai bisa melihat asap keluar dari mulutnya.
Mungkin karena langit mulai gelap.
“Abi,”
“Hm?” Abidzar menghentikan goesannya dan menepi di warung yang bukan warung bu Hanum.
“Pak Ayub.” sapa Abidzar lalu menatap Celine. “Turun dulu, beli yang anget.” ujarnya sambil membantu Celine turun.
“Ini istrinya nak Abi, cantik sekali. Bule ternyata,”
Celine tersenyum tipis. Dia bukan bule, hanya penampilannya saja. Batin Celine. Namun menahannya, demi menjadi lebih baik dan sopan. Di depannya orang tua.
“Celine, pak. Celine ini pak Ayub,”
Setelah itu Abidzar memesan teh hangat manis dan beberapa pisang goreng, tempe goreng.
“Apa masih jauh?” Celine memepet Abidzar saat melihat ada ayam di ujung warung yang bisa saja ke sini.
Abidzar mengangkat sedikit Celine agar duduk di kursi panjang berbahan kayu agak tinggi itu.
“Angkat kakinya, ayam ga akan naik.”
Celine menatap Abidzar, ternyata peka juga..
“Rumahnya ga terlalu jauh dari sini, kita angetin badan dulu.” Abidzar menarik resleting hingga leher Celine tertutup.
***
“Ini pisang goreng, makan aja. Satu ga bikin kamu gemuk,” Abidzar menatap keraguan dari wajah Celine.
Abidzar heran, kenapa harus sekurus itu. Istrinya itu bukan model juga. Ngocoks.com
Celine menggigit kecil, enak juga. Segigit lagi dan pada akhirnya memakan dua. Celine langsung melamun.
Abidzar tertawa pelan. “Kenapa? Ga papa, pinter abisin dua.” diusap kepala Celine. “Minum tehnya,” dia angsurkan.
Celine meminumnya, merem melek nikmat. Hangat sekali, tangannya yang kebas mulai menghangat.
Abidzar juga asyik memakan sisa gorengan dan teh manis hangatnya. Dia menyapa beberapa kenalan dan mengenalkan Celine.
Celine menatap sekitar, semakin malam udara memang dingin, tapi mereka banyak yang keluar dan menyapa atau berbincang hangat.
Celine anteng mengamati kesederhanaan itu, mereka tidak memakai tas mewah, memamerkan kekayaan, jabatan, hanya bercanda ria menikmati secangkir teh manis hangat dan bermacam makanan goreng.
Anak kecil hingga orang tua berbaur, duduk di kursi luas di samping Celine. Dia kadang ikut tertawa dengan celetukan lucu.
“Senyum kamu cantik.”
Celine sontak menatap Abidzar lalu menekuk kesal agak salah tingkah. “Ayo! Saatnya lanjut!” sebalnya.
Di jalanan yang gelap, Abidzar terkejut sampai menepikan sepeda. Celine mengecup bibirnya sekilas.
“Bikin aku kaget,” Abidzar tersenyum dan melanjutkan goesannya.
Celine bersandar pada Abidzar. “Jalan-jalannya jadi romantis.” celetuknya.
Ternyata tidak buruk. Ini pertama kalinya merasakan perasaan ini. Rasanya jadi indah.
Bersambung…