“Sampe.” Abidzar membantu Celine turun dulu lalu memarkirkan sepeda. Dia dekati Celine lagi, membenarkan jaketnya. “Yuk.” ajaknya sambil membukakan gerbang dari kayu itu.
Celine masuk ke dalam pekarangan rumah yang berbahan kayu itu. Terlihat tua namun tanah yang dipijaknya bersih, terlihat seperti selalu di bersihkan. Tidak ada daun kering satu pun.
“Nak Abi?!” pak Ali membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dia berharap kabar baik yang Abidzar bawa.
Dia kali ini sungguh butuh.
“Iya, pak. Ini Abi, udah selesai ngobrol dan istri kasih izin, jadi kemari.”
Celine menatap Abidzar. Padahal dia tidak sepenuhnya berpengaruh, itu hak Abidzar yang memiliki uangnya.
“Terima kasih, nak Celine.” pak Ali segera meraih sebelah tangan Celine yang dingin. “Terima kasih, nak.” ulangnya.
“Ayo. Masuk.” tambah pak Ali saat merasakan jemari Celine dingin.
Celine merasa lega pria tua itu hanya menyentuh tangannya tidak lama. membuatnya tidak nyaman.
“Ayo, ga papa.” Abidzar menatap jemari tangannya yang di genggam Celine.
“Jan lama!” kesalnya.
“Iya.” jawabnya lembut sambil menahan pintu kayu yang berderit saat dibuka itu.
Celine melepas sandal guccinya yang lusuh. Dia menatap isi rumah sederhana ini, sungguh pengalaman baru. Rumahnya seperti akan roboh.
Ternyata rumah Abidzar yang baginya sederhana ada yang lebih sederhana lagi, lantainya masih tanah tanpa semen, tapi anehnya di dalam hangat.
Apa karena lampu-lampu yang bagai lilin itu?
“Rumahnya tidak bagus, maaf juga cuma bisa menyuguhkan air putih,” ujar ibu-ibu kurus yang lemah lembut namun cantik. Positif sekali auranya.
“Ga papa, bu.” Abidzar tersenyum hangat sambil menuntun Celine untuk duduk dengan lembut.
Celine memilih bungkam, dia tidak ingin salah bicara. Dia cukup pedas dan jujur jiga bersuara. Rumah ini sungguh tidak pernah Celine bayangkan ada.
Langit-langitnya ada yang sobek.
Celine ternyata salah menilai. Dia pikir pak Ali sama jahat seperti pak Cepi. Ternyata pak Ali memang perlu dibantu.
Abidzar berbincang sebentar lalu menyerahkan uang yang dibutuhkan pak Ali. Kedua pasang suami istri yang berumur itu begitu terharu.
Terus berterima kasih tak henti dengan kedua mata memerah, bahkan istrinya menangis merasa terbantu.
“Jangan sungkan, nak. Datang jika ingin jagung, singkong,”
Celine tersenyum tipis. Merasa canggung tapi juga ada setitik rasa bangga pada dirinya entah kenapa. Padahal dia hanya berkata ya dengan asal. Tidak tahu reaksi mereka seperti itu.
Keputusannya membawa kebahagiaan bagi mereka.
Celine menoleh saat kepalanya di usap. “Ayo, kita pulang udah mulai malam.” ajaknya.
***
Celine masih diam di bonceng Abidzar melewati jalan-jalan gelap hingga terang. Mereka akan pulang.
Celine menggigil pelan. Cuacanya sungguh dingin. Padahal punggungnya sudah persandar pada Abidzar.
“Dingin?” Abidzar memelankan goesannya. Dia mulai mencari warung untuk menghangatkan badan.
“Hm.” Celine menatap warung di depan sana. “Ternyata cukup banyak warung, tapi jauh.” gumamnya.
“Hm? Apa?”
“Ga.” Celine mengusap wajahnya yang terasa dingin sekali.
Abidzar menepikan sepedanya. “Tadi apa?” tanyanya lembut, mengintip wajah Celine.
Celine balas menatap. “Ternyata banyak warung tapi jauh, budeg!” jawabnya.
Abidzar mencubit bibirnya sekilas. “Ga boleh gitu, ayo turun.” setiap sisi jemari Abidzar berada di ketiak Celine, mengangkatnya hingga berhasil turun.
“Pengantin baru mau kemana malam-malam,”
“Dari rumah pak Ali, pak mau pulang. Pesan teh manis hangat ya pak,”
“Sama goreng pisang.” celetuk Celine yang membuat keduanya menoleh menatapnya, membuat Celine gelagapan. “Kenapa? Ga boleh?!” kesal Celine pada Abidzar.
“Boleh dong,” kata pak Azis.
“Boleh.” Abidzar tersenyum, membalas genggaman tangan Celine. Ternyata Celine itu menyukai sentuhan. Pantas berani dari awal memulai.
“Istrinya ajak duduk di sebelah, nak Abi, ada api unggun kecil biar hangat.” ujar bu Isna— istri pak Azis yang tengah membuat beberapa gorengan hangat.
“Baik, bu. Warungnya tutup jam 10 ya sekarang, ga 24 jam lagi?”
“Udah ga sanggup, nak. Udah tua.” pak Azis terkekeh.
***
“Mau lagi!” Celine juga merasa aneh kenapa jadi lapar terus, mungkin karena dingin?
“Yang mana?” tanya Abidzar lembut, tatapannya berbinar senang melihat Celine tidak pemilih.
“Mau yang kedelai,”
Abidzar menahan kedut di bibirnya. Mungkin maksud Celine itu gorengan tempe. Abidzar juga suka, apalagi hangat.
“Siap.” Abidzar mengusap minyak di bibir bawah Celine lalu beranjak.
Celine melanjutkan sisa makanannya, dia tidak peduli lagi tentang diet, gemuk dan apapun itu. Perutnya akan berubah menjadi karet yang bisa menampung apapun.
Tak lama Abidzar datang. Celine tersenyum cerah, ternyata begini rasanya menikmati makanan tanpa berpikir kalori.
Abidzar sampai terpesona melihat senyum tulus yang terkesan polos itu. Celine mulai melepas topeng angkuhnya.
“Mau yang pisang,”
“Katanya kedelai,” Abidzar rasanya kenyang melihat Celine makan. “Suka pisang ternyata,” lanjutnya.
Celine mendekatkan wajahnya ke wajah Abidzar sampai Abidzar menjauh kaget. “Suka punya lo juga.” lalu tersenyum menyebalkan dan segera makan lagi dengan kepanasan. “Huaa.. Hanas..” Celine merasa bodoh karena terlalu semangat menumpuk lemak.
Abidzar segera memasukan dua jemari mulut Celine, mengeluarkan pisang goreng panas itu.
“Ihh! Ngapain?!” amuk Celine.
“Stt.. Udah malem,” tegur Abidzar lalu meniup gorengan bekas gigitan Celine.
“Jorok! Ga mau!” Celine pun meniup pisang goreng di atas kertas polos itu, mulai menggigitnya lagi.
Abidzar memasukannya ke dalam mulut lalu mengunyahnya santai. Celine berhenti mengunyah melihat itu.
“Ga jijik?”
Abidzar hanya tersenyum lembut disela kunyahannya.
***
Abidzar menatap Celine yang memeluk dan terus merapat padanya. Tidur Celine begitu nyenyak.
“Apa dingin?” gumam Abidzra sambil membenarkan selimut di kaki Celine hingga atasnya lalu kembali memeluknya lagi.
Hangatnya punya istri. Apalagi hari ini Celine mulai menunjukan rasa nyaman tinggal di sini, mulai akrab dengan Mimah bagai ibu dan anak.
Mimah tidak selayu saat awal-awal Celine datang. Abidzar senang.
Dia pun memilih tidur.
Hingga pagi tiba, Abidzar mengernyit dan membuka matanya. Celine tidak ada di samping tapi di bawah sana seperti dihisap.
Abidzar membuka selimut dan Celine tengah anteng menikmati lolipopnya di pagi hari yang bahkan matahari belum muncul. Ngocoks.com
“Gue bosen.”
Abidzar tertawa pelan sekali sambil mengusap wajah. Sudah tidak terkejut lagi, jika Celine bosan pasti akan ke arah sana. Tapi, dia suka.
“Jadi mau apa?” tanya Abidzar lembut nan serak khas bangun tidur.
Celine merangkak hingga duduk di perut Abidzar. Tanpa memakai apapun.
“Kenapa ga pake apa-apa?” Abidzar bertanya pelan walau agak kaget. Pemandangan yang sungguh indah.
“Mau mandi tapi airnya kayak air es.” Celine mendekatkan bukitnya ke mulut Abidzar, menekan-nekannya.
Abidzar merem melek menerima keempukannya yang sesekali menindih wajahnya.
Hingga hap, Abidzar menangkap puncaknya dan segera menghisapnya.
“Ah..”
“Stt..”
Celine memberengut sebal. “Jarinya mainin!” dia raih pergelangan tangan Abidzar hingga telapaknya nemplok di sebelah bukitnya.
Abidzar tentu saja tidak keberatan menanggapi Celine yang selalu memulai dan mau. Itu lebih nyaman dibanding dia yang mulai tapi Celine tidak nyaman.
Abidzar terkejut samar melihat Celine setengah duduk di wajahnya, memperlihatkannya. Ini posisi yang panas sekali.
Celine pernah melakukannya dulu tanpa perasaan, tapi entah kenapa kini pipinya merona melihat wajah Abidzar yang sedikit kaget itu. Membuatnya berdebar.
Bersambung…