Celine terlihat tidak terlalu berisik meringis jijik dan sebagainya. Dia ikut turun ke sawah yang katanya itu peninggalan dari mendiang ayah Abidzar.
Abidzar hanya akan mengosongkan sawah, kelak membangun rumah atau kontrakan. Rencana awalnya sebelum menikah begitu.
Tapi semenjak menikah, dia tidak bisa fokus mengurus rencananya hingga berakhir terabaikan dan semalam Celine bertanya, apa dia punya sawah atau tidak mengingat banyak orang pergi ke sawah. Jadi, Celine pikir semua orang punya termaksud Abidzar.
Abidzar pun menceritakan rencana yang terlupakan itu.
Dan pada akhirnya Celine ingin menanan buah-buahan, sayuran dan semacamnya. Tiba-tiba meminta hal itu.
Abidzar tidak bisa menolak. Apalagi itu kebaikan. Siapa sangka Celine yang mau duluan memiliki sawah dan turun ke sawah juga.
“Ini bener istrinya Abidzar?” tanya Abidzar menggoda Celine yang kesusahan mencangkul tanah dengan sekop kecil.
Celine menoleh. “Maaf, anda salah.” jawabnya lalu mendengus. Lucu. Dia berkeringat, terus mencokel tanah.
Abidzar tertawa pelan. “Nanti kalau kamu tanam di sini, setiap hari harus ke sawah, ga papa?” tanyanya lembut sekali.
Celine terdiam. “Ga masalah, gue tipe yang susah item kulitnya. Udah berjemur di pantai balik lagi kayak gini.” jawabnya.
“Bukan soal itu, nanti capek, kotor-kotoran terus.”
“Ga papa.” Celine menatap Abidzar. “Kan nanti lo yang mandiin,” lalu mengedipkan sebelah matanya nakal.
“Kamu bener.”
Keduanya tertawa pelan. Abidzar sampai tidak berkedip menatap Celine. Istrinya sungguh ingin memperbaiki hidupnya. Memiliki niat ingin berubah saja membuat Abidzar sangat senang.
“Celine.”
“Hm?” Celine menoleh sekilas sebelum fokus membuat lubang di tanah lagi.
“Kamu ga sendirian sekarang.”
Celine kembali menoleh, terdiam sejenak. Agak tersentuh mendengarnya.
“Iya tahu, kan ada suami yang tytydnya enak.” lagi-lagi mengedipkan sebelah mata genit dengan lidah terjulur menjilat bibirnya sendiri.
“Sstt! Nanti ada yang denger!” tegur Abidzar agak kaget namun diakhiri tawa pelan.
Dasar Celine-Celine!
***
Abidzar membersihkan gubug yang sering di pakai beberapa petani di sekitar sawahnya itu, sudah lama dia tidak duduk di sini.
7 tahun yang lalu mungkin. Sebelum ayahnya sakit-sakitan.
“Udah bersih, sini duduk.” ajak Abidzar. “Kita tunggu ibu bawa makan siang kita.” lanjutnya sambil menatap wajah Celine yang memerah.
Memang dasar bule. Terlihat jelas memerahnya, Abidzar yakin jika dirinya juga merah tapi tidak terlihat sejelas Celine.
“Panas ya,” Abidzar melepas topi Celine, memperlihatkan poninya basah sekali. Dia kipaskan topi itu.
“Haa.. Enak, Abi.” desahnya yang membuat Abidzar agak salting saking terdengar tak asing.
Abidzar mengulum senyum, dirinya sendiri sudah mulai tercemar.
“Ibu.” Celine tersenyum, berbinar dengan apa yang dibawa Mimah ke gubug di pinggir sawah mendiang ayah Abidzar itu.
“Udah nunggu lama?” Mimah segera naik dan mulai membuka tempat makanan bertingkat itu.
Celine merasa takjub dengan banyaknya makanan yang bisa ditampung di satu wadah itu.
“Engga, baru duduk, ibu.” jawab Celine.
Abidzar mengulum senyum. Sudah beberapa hari semenjak saat itu Celine menjadi bawel. Dia selalu menjawab, semakin akrab dengan ibunya.
Abidzar sungguh senang dengan perubahannya.
“Makan apa siang ini, bu?” Abidzar ikut masuk ke dalam obrolan dua perempuan yang paling ingin dia jaga itu.
“Tumis kangkung, tempe, tahu sama ini ada paha ayam buat mantu ibu, kamu ga kebagian!” tegasnya pura-pura lalu tertawa pelan.
Abidzar tahu hanya bercanda, masih ada dua paha ayam goreng lagi yang pastinya untuk dia dan Mimah.
“Makasih, bu.” Celine menerima piringnya dan makan semuanya. Tidak memikirkan kalori, nasi dan semuanya enak.
Ini namanya menikmati hidup. Tidak peduli apa yang dipakainya jadi jelek, toh Abidzar akan menerimanya.
“Pelan makannya.” Abidzar menyeka satu biji nasi di pipi Celine.
“Hehe, lapar.” cengirnya dengan mulut penuh. Dia mengunyah hingga habis lalu menunjuk ke sawah. “Tuh, gue beresin sebesar itu sendirian loh. Tenaga berasa abis,” keluhnya lebay lalu menggigit daging ayam yang rasanya enak sekali. Berbeda dengan ayam yang sering dia makan.
Abidzar akan bicarakan saat mereka berdua nanti. Soal lo-gue yang terkesan kurang sopan terdengarnya.
***
“Semangat! Nanti dikasih jat— ups!” hampir keceplosan mana di sawah samping ada petani juga.
Abidzar menggeleng samar. Ada-ada saja tingkahnya itu. Dia terus menyingkirkan rumpit liar. Demi sang istri yang tiba-tiba ingin bertani.
Lucu sekali. Dia menjadi petani yang paling cantik selama Abidzar hidup. Membuatnya berdebar saja.
“Ibu, apa Abidzar pernah punya pacar?” tanyanya sambil menatap Mimah yang mengusap-usap lengannya dan kadang memijatnya.
Padahal Celine tidak memintanya, dia hanya mengeluh lengan pegal.
“Ibu kurang tahu, Abi ga pernah pulang bawa perempun. Deket pun sama Jasmin waktu kecil, mungkin Abi juga udah tahu ada jodoh, udah tahu dijodohin sama kamu,”
“Abi tahu? Apa dari lama perjodohannya?”
Mimah mengangguk. “Dari Abi sd kelas 3 udah ngobrol walau diselingi candaan, tapi kayaknya setelah besar dia tahu itu serius.” jelasnya.
“Lagi apa sih? Bisik-bisik, aku ga di ajak?” tanya Abidzar dengan senyuman lembutnya yang khas.
“Sorry, kita ga satu geng ya.. Huss..”
Mimah hanya tersenyum hangat, menatap perubahan Celine dengan sama senangnya. Ke depannya pasti akan baik-baik saja.
***
“Ayo, mandiin!” seru Celine.
Abidzar sontak mencari keberadaan ibunya yang belum menyusul ke rumah. Paling masih ngobrol dengan ibu-ibu yang berpapasan.
“Sst.. Ga baik, nanti ibu denger.” tegurnya lembut.
“Emangnya salah? Udah suami istri juga..” dumelnya sambil melepas celana begitu saja.
“Di dalem bukanya, Celine.” tegur Abidzar sambil menyeretnya lembut ke dalam toilet. Agak sedikit mengangkatnya.
“Bukain!” Celine mengangkat kedua tangannya.
Abidzar membantunya tanpa berdebat, menanggalkan semuanya. Telinganya kembali merah, tidak pernah tidak memerah. Ngocoks.com
“Giliran.” Celine mendekat, melepaskan semua yang melekat di Abidzar.
“Celine,”
“Hm?”
“Aku kamu ya, jangan lo-gue biar didengernya sopan di depan ibu,” Abidzar usap rambut Celine sekilas.
“Ga mau!”
Abidzar tidak mendebat, dan tidak membahas lagi. Dia sibuk memandikan bayi besarnya yang nakal balas grepe-grepe dan tidak bisa diam itu.
Hingga percintaan pun tidak terlewatkan.
“Kencengin, lo kurang kenceng,” pinta Celine pelan nan lirih gelisah.
“Aku-kamu dulu, coba ya?” bisiknya sambil sengaja semakin pelan. Padahal dia tahu, Celine sepertinya akan sampai.
“Ga mau.”
Abidzar tidak menjawab lagi, dia hanya terus memelankannya.
“Ck! Iya, aku mau. Pelan-pelan nanti biasain!” kesal Celine berbisik. “Kencengin, Abi.” mohonnya dengan lirih seksi.
“Nanti kamu sakit,”
“Ga papa.”
Ternyata tanam menanam bersama Abi enak. Batin Celine. Di sawah atau di saat melakukan itu tetap diperhatikan, penuh kasih sayang.
Bersambung…