Glen menatap potret anaknya yang tengah berada di sawah. Terlihat dekil namun cantik bagai mendiang sang istri. Senyum di bibir Glen terbit walau tipis.
Ingatannya kembali ke masa itu. Di mana dia kehilangan belahan jiwanya.
Glen tidak tahu caranya membesarkan anak perempuan. Dia terlalu sibuk bekerja sampai memilih mengirim Celine ke neneknya saking nakal di sini.
Hingga tak terasa, anaknya menjadi perempuan yang begitu tidak terkendali sampai ibunya menyerah dengan cucu perempuan satu-satunya itu.
Dan dari situ Glen mulai memikirkan masa depannya dengan serius. Celine sudah berada diusia yang pantas menikah. Jodoh pun sudah dia siapkan lama.
“Gustav,” panggilnya.
Gustav yang tengah membedah dokumen jelas menoleh pada ayahnya yang hanya duduk dengan segelas teh herbal kesukaannya.
“Kita nikahkan Celine, dia terlalu boros dan hidup dengan tidak beraturan di sana.”
“Jangan langsung, yah. Bawa dulu kesini, kita coba perlahan kasih dia arah, kalau susah diatur kita kirim ke jodohnya di desa itu.”
“Kamu bener.”
Keduanya terus membahas hingga mengadakan pertemuan dengan calon Celine dulu sebelum menjemput Celine pulang.
Gustav dan Glen pergi ke negara di mana Abidzar bekerja. Di sana pria baik itu menyambut hangat.
Gustav sebagai pria dan kakak dari Celine langsung merestui. Di matanya Abidzar baik, bisa di percaya. Instingnya mungkin juga berperan.
Setelah pertemuan hari itu, Abidzar menyetujui karena bagaimana pun mendiang ayahnya yang membuat perjodohan itu.
Tapi Abidzar meminta waktu untuk menghabiskan kontrak kerjanya dulu baru menikahi Celine dan akan menjaganya di desa.
Mendengar itu Glen lega. Tidak ada penolakan walau Glen maupun Gustav menjelaskan semua tingkah Celine setelah mendiang ibunya meninggal.
Adik perempuannya itu berubah sangat drastis bagai orang baru. Gustav berusaha mencari apa yang terlewatkan sampai Celine berubah.
Namun sampai Celine menikah, Gustav masih belum di buka ingatannya. Kenapa Celine sampai begitu.
Karena di sibukan pekerjaan membuat Gustav maupun Glen tidak bisa terlalu fokus pada Celine dibuatnya.
Hingga satu tahun lamanya Celine diurus Glen, dia menyerah bahkan Gustav yang mempekerjakan satu pengawal pun menyerah.
Pengawal itu sampai di rawat karena digoda adiknya lalu saat tergiur oleh sentuhan, adiknya itu memukul kepalanya dengan botol wine.
Gustav sungguh kecewa, adik kecil yang dia sayangi menjadi liar dan sebebas itu.
Dan Glen pun ke desa. Melihat bagaimana kehidupan mendiang sahabatnya di sana. Cukup sederhana dan sepertinya tempat yang bagus untuk Celine belajar banyak di sana bersama suaminya.
“Abi, ternyata sudah ada di sini?” Glen memeluk calon menantunya itu.
“Iya, yah. Baru seminggu, tadinya mau langsung ke tempat ayah tapikan harus rahasia dulu, jadi Abi tunggu di sini, maaf juga tidak telepon karena di sini susah sinyal, ke kota jauh dan Kebetulan Abi baru sembuh dari sakit,”
“Ayah maklum, sakit kelelahankah?” Abidzar mengangguk dengan senyum sopan. “Semoga selalu sehat,” Balas Glen lalu tersenyum pada Dewi. “Gimana kabarnya, wi?” tanyanya sambil bersalaman.
“Sehat, Glen. Sudah lama ya, terakhir itu kita bertemu saat pemakaman,” Dewi tersenyum dengan kedua mata sendu.
Dia akan selalu sedih melihat Glen. Sahabat suaminya. Mereka bagai anak kembar, bersahabat dari kecil dan terpisah saat besar karena cita-cita.
Glen juga di desa ini hanya pindahan saat itu. Dia cucu dari mendiang bu Wati yang menjadi orang terkaya di desa ini.
Malaikat bagi desa ini.
Makanya saat Celine datang, sekesal apapun mereka yang kenal dari generasi bu Wati jelas kembali merasa terbantu.
Dengan pupuk gratis yang diberi Glen, tak hanya soal pupuk. Glen berjanji akan selalu memberikan uang 50rb setiap minggu ke semua yang ada di desa sebagai upaya untuk menitipkan anak gadisnya yang pasti merepotkan mereka.
3 kali Glen datang ke desa itu, berusaha menitipkan Celine sekaligus menikahkannya dengan Abidzar yang hanya dihadiri keluarga terdekat tanpa adanya Celine. Semua rahasia karena jika Celine tahu, bisa kabur dia.
***
“Apa Celine akan baik-baik saja.” Glen mematap anaknya yang meronta di gendongan Abidzar suaminya.
Dia selalu merasa gagal, dorongan semangat entah apapun itu rasanya tidak masuk pada Celine. Semakin di nasehati, semakin liar dia.
Padahal Glen tidak maksud membandingkannya dengan Gustav. Niatnya hanya ingin Celine semakin semangat, tidak malas dan hanya sibuk belanja hal sia-sia.
Entahlah, dia hanya orang tua yang penuh dengan kesalahan. Dia akui itu. Celine begitu juga pasti karena ulahnya yang entah apa, terlalu banyak kesalahan.
Glen hanya berdoa agar anaknya sehat dan bahagia. Mungkin hidup anaknya akan lebih baik dengan suaminya, tidak dengannya atau kakaknya.
“Abidzar akan bikin Celine kembali, ayah. Aku yakin, kerasnya Celine pasti akan luluh oleh kelembutan Abidzar.”
Glen terisak tanpa suara. Dia salah, dia sangat mengakui itu. Dia gagal menepati janjinya untuk menjaga anaknya. Dia salah mendidik Celine.
Gustav pura-pura tidak melihat itu. Dia hanya diam menatap jalanan yang hanya dipenuhi kebun itu.
Sambil mengenang mendiang ibunya. Jika lelah Gustav hanya butuh pelukan ibunya, tapi sekarang tidak bisa dia dapatkan.
***
“Dia keterlaluan,” Gustav menatap potret dari hasil jepretan orang suruhan yang setiap minggu haru melapor itu.
Kekacauan yang Celine buat. Gustav sampai heran dengan informasi yang dia dapat soal Abidzar.
Bagaimana bisa dia sesabar itu. Jika Gustav ada di posiai Abidzar, dia akan segera memulangkannya Celine.
“Kabar Celine?” Gustav muncul, meraih satu persatu semua foto yang ada di meja kerja miliknya yang kini di pakai Gustav.
“Masih jadi biang masalah, yah.”
Glen menghela nafas panjang. “Kirimkan beberapa kebutuhan pertanian, beri mereka uang juga. Minggu ini belum,” perintahnya.
Gustav mengangguk kecil, terlihat lelah oleh pekerjaan yang tidak ada habisnya. Dia harap Celine segera paham, tidak membuatnya mengeluarkan uang banyak untuk hidupnya.
“Mantu ayah memang baik,”
“Dia obat buat kerasnya Celine, kita ga akan sanggup. Yang ada hanya bertengkar setiap hari,”
“Kita masih belum bisa berkunjung?” tanya Glen.
“Ga akan bisa, yah. Dia pasti benci kita, nanti aja. Tunggu Celine bisa paham tentang banyak hal. Saat ini Abidzar lagi berusaha soal itu.”
***
“Jadi strawberry yang manis ya, gue udah puji kalian!” Celine tengah asyik di lahan kecil yang dia minta untuk menanam strawberry.
Abidzar mengulum senyum. Celine begitu patuh. Dia bilang pada istrinya itu, jika menanam sesuatu harus pakai perasaan. Tumbuhan juga bisa mendengar. Jadi kalau mau subur puji terus.
“Dah anak-anak,” Celine beranjak walau penuh keluhan karena kesemutan.
Abidzar ikut berdiri dengan mengulum senyum geli. Bahkan kini benih itu menjadi anak-anaknya? Dasar lucu.
“Mau makan dulu atau lanjut tanam tomat?”
“Lanjut dong, gue masih semangat!” Celine membentuk lengannya yang kurus seolah berotot.
“Keren,” puji Abidzar sambil mengusap punggung Celine sekilas dan meraih cangkul.
“Mba Celine!” sapa Bimo yang kini menepi dengan sepedanya itu.
“Haiiii, Bim!” seru Celine.
“Kalian kenal?” Abidzar memicing jenaka kearah keduanya. Padahal sudah tahu, mereka itu pelaku dari rusaknya sawah pak Cepi.
“O-oh.. Kita, yess.. Kenal, ketemu di depan rumah, dia baik jadi kenalan,” jelas Celine heboh agak salah tingkah yang membuat Bimo lega. Ngocoks.com
Kalau Abidzar tahu dan melapor pada ayahnya jelas berabe. Bisa di potong uang bulanannya.
“Jangan terlalu deket ya kalian, aku cemburu.” Abidzar mengulum senyum saat mendengar Bimo berseru merinding dan Celine menganga agak geli menggelitik di ginjalnya.
“Aku serius.” bisik Abidzar di depan wajah Celine, begitu lembut.
Membuat Celine menahan nafas, perutnya kenapa geli.
“Mau di toilet atau kamar?” bisik Celine sebagai balasan. Sebagai bujukan agar tidak cemburu?
Abidzar tertawa pelan, lalu mengulum senyum. “Kamar aja,” bisiknya.
“Oke, tahu enak aja. Tenang aja.”
Abidzar menggigit bibir bawahnya, dia ingin memeluk Celine gemas tapi dia sedang berada di luar dan banyak orang juga yang tengah di sawah.
***
“Eh?” Abidzar agak terkesiap saat menutup pintu kamar, Celine begitu lahap melahap bibirnya. “Tunggu, sabar.” dia menjauhkan wajahnya.
“Nanti bisa berdarah bibirnya, pelan aja.” lanjut Abidzar. Dia memang harus terbiasa dengan gairah Celine yang sangat tinggi.
“Ga papa,” Celine berjinjit dan segera meraih bibirnya lagi.
Abidzar pun menggendong Celine agar tidak sakit leher. Keduanya berciuman. Langkah kaki Abidzar terayun mendekati kasur dan perlahan sekali, merebahkannya.
“Ga lelah?” Abidzar tidak masalah tidak malam ini pun. Mungkin Celine ingin menepati ucapannya saat di sawah.
“Mau, ga kuat.” lirihnya sendu seksi.
“Kita minggu ini setiap hari pasti lakuin, kamu kuat ya..” suara Abidzar selalu mengalun lembut.
“Mau begadang sampai pagi?” Celine menantang, mungkin dia lupa pernah K.O oleh Abidzar.
Abidzar menelan ludah. Begadang dengan wanita secantik Celine? Itu hal luar biasa menggiurkan.
Bersambung…