Beberapa hari di sini untungnya Celine membawa makanan diet kesukaannya. Dia memang tidak bisa makan banyak.
Tak heran tubuhnya kurus dan kecil.
Dia tidak bisa memakan nasi dan lauk pauk yang penuh minyak itu. Dia belum mencobanya memang tapi rasanya salah.
Dia tidak mau gendut. Sungguh berada di sini beberapa hari membuatnya tersiksa. Tidak ada air hangat otomatis, tidak ada kolam renang.
Hingga semua persediaan makanannya habis. Dia terpaksa duduk di meja makan itu lagi dengan gugup karena ramahnya Mimah yang membuatnya merasa aneh itu.
Ini kedua kalinya dia duduk di kursi kayu agak sedikit lusuh itu. Membuatnya meringis tidak nyaman.
“Ini apa?” Celine menatap lauk pauk yang ada di atas meja yang baginya begitu tidak nyaman. Tidak ada kemewahan sedikit pun.
“Ini itu tempe, fermentasi kacang kedelai. Ini itu sayuran yang dioseng pakai irisan cabai, enak kok coba aja,” Mimah begitu ramah nan hangat.
Membuat Celine tidak berkutik, hanya menggigit sendok sambil menatapnya yang terus menjelaskan ini itu.
Keramahannya mirip seperti mendiang ibunya.
“Ini, cobain.”
Celine menatap piring yang penuh dengan nasi dan lauk pauk. “Gue ga bisa makan nasi.” gumamnya samar namun Mimah dan Abidzar bisa mendengarnya.
“Yaampun, ga makan nasi.” Mimah meraih sebelah jemari Celine. “Pantas saja kurus, nak. Kamu harus makan, terus olah raga kalau mau sehat. Abi juga sering lari keliling desa..” terangnya.
Celine terlihat gugup dan menarik tangannya. Dia merasa canggung dan aneh mendapat perhatian dari sosok ibu.
Neneknya saja galak bagai nenek sihir.
Dia nakal pun karena neneknya membuatnya mencari hiburan dengan hidup bebas di sana bukannya kuliah.
“Ga mau!” Celine kembali keras kepala dan mendorong piring itu lalu beranjak tak ingin makan.
“Biarin, bu. Nanti lapar juga di makan,” Abidzar mengusap lengan ibunya. “Sabar ya bu, maafin istri Abi,” lalu tersenyum menenangkan Mimah.
Beberapa hari Celine di sini, ibunya pasti kelelahan karena banyaknya tingkah Celine. Tak hanya merusak hasil pertanian, tapi juga bertengkar dengan anak kecil.
Sungguh menguras kesabaran. Jika sebulan ini Celine semakin parah, Abidzar akan membawanya pindah saja dari pada membuat ibunya sakit.
“Ibu ga marah, Celine begitu pasti ada alasannya. Ibu cuma berharap kamu bisa tuntun istri kamu jadi lebih baik,”
“Makasih karena selalu baik sama Celine, bu.”
“Kita bantu Celine menjadi lebih baik, dengan kasih sayang, perhatian dan kelembutan. Sekeras apapun suatu saat pasti akan luluh,”
***
Abidzar menggelar tikar di dekat kasur seperti biasa. Celine menolak satu kasur, katanya kasurnya sempit dia tidak akan tidur dengan leluasa.
Dan Celine tidak bohong, Abidzar melihat bagaimana dia tidur. Begitu aktif hingga berubah-ubah sampai jatuh menimpanya di bawah.
Untung Celine tidak bangun setelah jatuh menimpanya.
Abidzar telaten memindahkannya, mengeluarkan bantal dan menyimpannya di sekeliling kasur. Menjaga jika Celine jatuh seperti malam saat itu, tidak akan membuatnya sakit.
Setiap harinya Abidzar selalu melakukannya hingga hari ini Celine melihatnya langsung.
“Buat apa bantal gitu?!” tanya Celine sewot sekali, tidak ada sopan-sopannya.
“Kamu pernah jatuh waktu itu, untung ke sebelah sini,” tunjuknya ke arah di mana dia tidur. “Kalau ke sana pasti sakit.” lanjutnya.
Celine mendengus, mencoba mengabaikan perhatian darinya. Dia merasa risih, mungkin karena selama ini dia tidak pernah mendapatkannya.
“Besok pagi jangan langsung ke kebun, katanya ada ular besar belum ke tangkep.”
Celine memicing kesal. Pasti cuma akal-akalan agar dia tidak merusak hasil bertani para petani tua itu lagi kan?
Celine malah bersemangat akan kembali berulah lagi.
Beberapa hari di sini Celine merasa sedikit lega kasurnya empuk walau sekitarnya tidak nyaman. Ruangan yang tidak ada AC, agak kusam. Terkesan kotor walau Abidzar rajin bersih-bersih.
Celine memejamkan mata, berpikir kalau dia berada di istananya. Di kamar princessnya yang menenangkan.
“Gue mau lilin aroma terapi ga mau tahu! Kalau besok malem ga ada, liat aja!”
Abidzar terlihat diam belum memejamkan matanya. Tidak menjawab juga. Ke kota cukup jauh karena mengandalkan sepeda.
Liat besok saja.
***
Abidzar mendudukan tubuhnya. Menatap Celine yang masih tertidur itu dengan lega. Tapi khawatir juga karena dia belum makan.
Abidzar harus mengalah dan membeli bahan salad atau makanan lainnya yang istrinya mau, jika saat nanti beli lilin keinginan Celine itu jadi.
Abidzar menatap wajah damainya. Cantik juga, rambut pirangnya membuat kulit putihnya bersinar semakin terang.
Sayang sekali, tingkahnya begitu tidak terkendali. Jika saja manja, tidak kasar dan penurut.
Walau begitu tetap saja sesuai janjinya. Siapa pun istrinya. Bagaimana pun istrinya. Dia akan memperlakukannya bagai ratu.
Abidzar membenarkan posisi tidurnya, menyelimutinya dengan benar.
Dia memutuskan untuk mandi dan bersiap ke kota tanpa sepengetahuan Celine.
Celine tak lama dari itu terjaga, dia kebelet. Padahal tidurnya sedang enak. Dia celingukan, ibu dari suaminya tidak ada. Suaminya pun sama.
Tapi ada suara air di kamar mandi.
“Sudah bangun, nak?”
Celine tersentak pelan mendengar suara dari seseorang yang tiba-tiba muncul. “Iya!” ketusnya tidak sopan lalu masuk begitu saja ke toilet yang untungnya lagi tidak kotor walau tidak ada toilet duduk.
Abidzar melotot kaget, baru saja selesai membilas tubuhnya yang penuh sabun.
Celine meliriknya tidak kaget.
Di negara tempat neneknya berada, di party banyak yang sampai polosan. Melihat berbagai bentuk sudah pernah Celine lihat.
“Wow..” Celine baru melihat bentuk milik Abidzar. Ternyata berbeda dengan bule yang pernah dia temui. Tidak disunat kebanyakannya dan juga tidak seberurat dan sekekar itu.
Abidzar menutup asetnya lalu hendak mendorong Celine keluar. “Ibu bisa liat-”
“Udah liat.” potong Celine dengan masih melihat yang tengah Abidzar coba halangi. “Mau pegang,” celetuknya sambil menunjuk itunya.
“Apa?!” Abidzar begitu terkejut mendengarnya. Bukannya malu, malah ingin menyentuhnya? Memang Celine itu berbeda.
Istrinya itu nakal!
Abidzar mencoba tenang. “Keluar, malu sama ibu. Kita masih numpang di sini.” jelasnya tetap lembut.
“Gue ga malu, maunya pegang!” kesal Celine dengan keras kepala.
“Sstt.. Jangan berisik!” bisiknya panik.
“Makanya mau pegang!”
Abidzar terpejam sejenak. “Oke, pegang.” dia tidak menghalanginya lagi. Membiarkan istrinya itu dengan keinginan yang menyiksanya. Ngocoks.com
Abidzar terpejam merasakan dua jemari Celine menggenggamnya. Dia tidak mungkin untuk tidak mengeras. Melihat Celine masuk saja membuatnya berdebar dan menggeliat.
“Kamu-” Abidzar hampir memekik, dia segera membekap mulutnya saat dengan nakalnya bibir itu menghisapnya. Memijat dengan jemarinya.
Celine menatapnya tanpa berhenti, wajah panik Abidzar yang gelisah dan memerah. Sudah cukup membuatnya tersiksa.
Celine menyudahinya, menggantung Abidzar dengan mengulum senyum puas. Dia dengan tak malu menurunkan celana dan melakukan tujuan awalnya.
Buang air kecil.
Abidzar terengah pelan, menatap Celine yang memasang senyum mengejek. Abidzar terpejam sejenak mengulum senyum samar. Kenapa tingkahnya itu jadi lucu di matanya.
Usil sekali.
“Selamat ngo- cok.” Celine menggerakan jemarinya seolah tengah mengocok itu.
Abidzar menatap kepergiannya dengan senyum samar. Sungguh istri yang nakal. Oke, sabar. Abidzar mengerang pelan. Dia harus mengeluarkannya sendiri.
Bersambung…