“Abidzar kemana, bu?” Celine keluar kamar dengan mengalungkan handuk, tanpa sadar dia mengikuti kebiasaan Abidzar.
“Loh ga bilang? Abi mau ke kota katanya, ada yang mau dibeli buat kamu,”
“Oh ya?” Celine berubah semangat. “Beli apa ya? Perasaan kebutuhan masih ada, belum pada abis.” celotehnya sambil menemani Mimah yang tengah memasak.
“Kurang tahu, ibu. Tapi beli buat kamu tahunya.”
Celine mangut-mangut sambil berdiri di samping Mimah. Dia hanya bisa mencicip jika Mimah menyuruhnya, sungguh masakan Mimah itu Indonesia sekali dan terenak.
Celine sampai otw gemuk akibat terus memakan nasi dan semua lauk pauk yang aneh sekali pun.
Sungguh banyak pengalaman di sini. Bahkan belum satu tahun di sini.
Celine yang tidak bisa membantu dan hanya membuat Mimah kesulitan bergerak pun memilih ke belakang, bermain dengan kucing yang kian sehat dan cepat besar itu.
“Meng, Abi beli apa ya? Kok pergi ga bilang, ga kecup kening,” celotehnya sambil memainkan rumput panjang yang langsung kucing itu respon dengan lucu dan aktif.
Celine menghirup udara pagi itu dalam-dalam, sungguh terasa sejuk. Udara bersih tanpa polusi, hanya suara alam, mesin pembajak sawah, air mengalir dari tempat alami sungguh menenangkan.
Celine merasa sudah tidak ada alasan marah dan berontak lagi. Tidak ada tempat yang sebaik di desa sederhana ini.
“Meng, nanti jangan ikut ke kota ya, temenin ibu di sini,”
Mimah yang hendak membuang sampah ke tempat yang memang di belakang rumah sontak urung.
Dia tersenyum hangat. Celine mulai menggunakan perasaannya sebagai wanita, mulai melembut dan perhatian dengan sekelilingnya.
Entah kenapa Mimah berkaca-kaca bagai ibu kandung yang bangga dengan perubahan besar dari anaknya.
***
Celine keluar dengan rambut basah, terlihat kedinginan lalu celingukan. Abidzar belum juga pulang, lama sekali.
“Nak, mau ikut ibu ke rumah bu Dewi?” ajak Mimah yang siap dengan rantang makanan yang 3 tingkat.
“Boleh?” tanyanya ragu, menunggu sendirian juga agak ngeri. Celine kurang berani.
“Boleh, nak. Ga ada yang larang, ayo. Kita bantu untuk acara agustusan,”
“Agustus?” beo Celine sambil menyimpan handuk dan menyisir rambut sebentar, menyemprot minyak wangi.
Celine tidak tahu dia sudah berada di bulan Agustus lagi. Perasaan dia terakhir di club yang ada di kotanya itu bulan Mei, dia di tangkap polisi itu awal Mei.
“Acara 17 san tinggal 5 hari lagi, pasti semua mulai sibuk,”
Mimah mengusap lengan Celine yang membelit lengan kirinya. Dia senang sekali, Celine semakin mendekatkan diri padanya. Dia merasa memiliki anak perempuan.
“Tuh, mulai pada pasang bendera.”
Celine menatap pemuda yang begitu ramah agak genit itu, terang-terangan becanda dengan menggodanya yang melintas.
“Ga papa, mereka becanda, senyumin aja, mereka baik.” Mimah menenangkan Celine yang memasang wajah kesal namun menahan suaranya.
Celine berusaha sabar walau rasanya berat sekali.
“Kalian mau kemana?”
Celine segera menoleh cepat saat mendengar suara lembut Abidzar. “ABI!” serunya refleks bagai anak ketemu ayahnya.
Abidzar tertawa pelan, kenapa Celine bereaksi bagai tidak bertemu bertahun-tahun.
Mimah semakin melebarkan senyum, membiarkan Celine melepas belitannya dan berpindah.
“Udah ada Abi, ibu lanjut ke rumah bu Dewi ya,” Mimah mengusap punggung Celine lalu tersenyum bahagia pada Abidzar.
“Mau Abi antar bu?”
“Ibu udah besar, temenin istri kamu aja.”
***
“Dikira aku badut!” dumel Celine kesal pada pemuda yang menggodanya, bersiul memanggilnya.
“Mereka baik, cuma becanda ga serius, aku juga ga papa karena mereka cuma ramah aja, candaannya begitu,” Abidzar begitu lembut dan cukup berhasil memadamkan kekesalan Celine.
“Sampai, my queen.”
Celine sontak merona, pertama kalinya dipanggil begitu oleh orang dan selembut itu suara Abi. Aduh jantungnya tak karuan.
“Katanya ke kota, beli apa sih?” Celine memicing menatap senyum hangat nan lembut Abidzar. Mencoba mengabaikan panggilan yang membuat jiwanya ketar-ketir.
“Coba amati sekitar.”
Celine menautkan alis, kenapa main teka-teki. Apa yang dibeli Abidzar. Sandal baru? Tidak ada, sebenarnya— oh?!
“Ini semua strawberry?!” serunya kaget dan juga senang.
Abidzar menyimpan semua tanaman strawberry yang sengaja dia beli untuk menghibur Celine itu ke kota.
Celine berjongkok lalu menangis. Bukan karena tanaman itu, tapi karena perhatian Abidzar yang jauh hanya untuk membeli 7 tanaman yang sudah berbunga siap berbuah itu.
Celine sungguh tidak biasa, dia merasa semesta mulai baik padanya.
“Kenapa?” Abidzar memeluk Celine yang masih berjongkok itu, mengusap belakang kepalanya.
“Aku ga pernah di sayang sama orang, ga ada yang peduli biasanya. Besar kecil selalu salah dan ga ada yang puas, ga ada yang perhatian kayak kamu selain mendiang bunda.”
Abidzar hanya mengusapnya, membiarkan semuanya keluar dulu.
“Aku awalnya risih, aku ngerasa aneh dan berusaha nerima tapi ga nyangka aja sampai kamu mau ke kota naik sepeda lama yang banyak resiko cuma buat—” Celine terus menangis.
Cukup lama hanya ada suara tangis haru Celine. Abidzar pun buka suara, mengurai dulu pelukannya.
Abidzar tatap Celine dengan lembut. “Aku suami kamu, apa yang kamu ga dapet sebelum ada aku, aku usahain kamu akan dapet sekarang.
Aku lakuin semuanya buat teman hidup aku, jadi harus sebaik mungkin biar kamu mau sampai tua bareng aku. Ini itu sogokan asal kamu tahu,” lalu tertawa pelan dengan begitu hangat.
Bukannya berhenti, Celine malah semakin ingin menangis. Padahal awal mereka buruk, bahkan menikah tanpa kenalan dulu. Tapi kenapa Abidzar sebaik itu.
Celine akan semakin hebat untuk menjadi lebih baik lagi. Hidup di kota atau di desa ini sudah tidak peduli lagi. Dia hanya ingin terus menjadi istri Abidzar.
“Ayo ke kamar,” ajaknya serak dengan ingus dan masih terisak.
“Ngapain? Ga mau bikin tempat buat anak-anak baru kamu?” tunjuk Abidzar pada tanaman yang berjajar itu. Mengusap air mata di pipinya lembut, selembut suaranya.
“Kita bikin anak sungguhan, ayo!” rengeknya dengan isak tangis keras kepala.
Abidzar bingung menjawabnya. Dia pun menuntun Celine seperti kemauannya setelah mengunci pintu depan.
Celine begitu agresif sampai Abidzar hampir terjengkang namun untungnya segera memeluk Celine dan membalas ciumannya. Ngocoks.com
“Ah..” lenguh Celine di sela ciumannya yang menggebu.
“Sebentar, ngobrol dulu.” Abidzar tidak ingin gegabah. Takutnya Celine hanya terbawa suasana, lalu menyesal dan anak yang menjadi korbannya.
“Ga mau?”
“Bukan gitu, masa ga mau punya keturunan dari ibu yang cantik kayak kamu.” Abidzar mengusap wajah Celine yang dia bingkai dengan dua telapak tangannya yang besar.
“Terus? Karena masih siang?” sebalnya dengan kedua mata memerah agak sembab bekas menangis.
“Bukan juga, kitakan ga kenal siang atau malam, udah mulai gas aja.” ujar Abidzar jenaka.
“Iya sih,” gumam Celine.
“Kita kan lagi proses memperbaiki diri. Selama itu kita belajar soal mendidik anak, ngumpulin uang dulu, kita harus saling sayang bahkan cinta,”
Celine diam anteng mendengarkan suara lembut Abidzar yang berhasil membuka pikirannya.
Membenarkan segala ucapan Abidzar.
“Yaudah, kita urus anak-anak di luar dulu, nanti baru urus anak kita.”
Abidzar menghangat mendengarnya, lalu mengangguk.
“Ayo..”
Bersambung…