Celine menatap Abidzar yang tengah mempaku papan untuk dijadikan tempat para tanaman yang menjuntai dan agak merambat itu.
“Jadi nanti buahnya ga nyentuh tanah ya,” Celine mendekatkan paku.
“Makasih,” Abidzar tersenyum hangat menerima paku itu. “Iya, sama biar ga diacak-acak ayam.” jawabnya.
“Oh iya, di sini ada ayam ya.” Celine mematap jajaran tanaman segar itu. Tersenyum senang, ternyata hal sederhana bisa membuatnya sesenang ini.
Tak hanya soal tas mewah, pakaian dan hal mewah lainnya. Selama ini Celine menerima itu semua dari pria yang menyukainya atau bertemu Sehari, tidak ada perasaan spesial dan sesenang ini.
“Abi, terus sawah siapa yang bersihin?” Celine berjongkok di dekat Abidzar yang kini tengah menggergaji bahan.
“Nanti kita tunggu daunnya layu, sambil bantu panen tomat si mbah,” jawabnya.
“Oh iya.” Celine pun diam, tidak mengganggu lagi. Dia hanya memberikan paku untuk Abidzar.
“Kamu duduk, nanti pegel.” Abidzar memberikan kursi kayu tingginya ukuran 15 cm lebar 7 cm dan panjang 20 cm yang dia pakai sebagai tempat duduk.
“Engga, kamu aja yang lagi kerja.” Celine menolaknya segera.
Abidzar menghangat. Celine sungguh kian berubah, lebih menggunakan perasaan dan pikirannya tidak egois.
Abidzar ingin mengecupnya dengan bangga.
“Nanti kalau berbuah, strawberry pertama buat kamu,”
“Kenapa?”
“Karena kamu spesial, orang baik, suami aku,” Celine melirik Abidzar usil. “Cie.. Ciee..” lalu cekikikan.
“Apa sih,” balas Abidzar lembut nan jenaka. “Bisa ya bikin jantung suami lari-larian,” lalu mencolek hidung Celine.
“Serius? Aku kejar jantungnya terus pukul, Bug! Bug!” seru Celine begitu semangat meninju angin.
“Kamu mau bunuh aku?” balas Abidzar pura-pura kecewa.
“Ga mau…” dengan manja Celine memeluk Abidzar dari samping. “Nanti aku ga bisa mainin kesukaan aku,” tatapan Celine turun ke celana Abidzar.
Abidzar refleks mengikuti arah pandangnya lalu tertawa pelan.
“Jadi kamu cuma butuh itunya aja?” bisik Abidzar.
“Ini,” tunjuk Celine pada bibir Abidzar lalu pada jemari Abidzar. “Mereka juga, eum enak,” lalu cekikikan dengan Abidzar.
Keduanya terlihat akrab, Celinenya sudah mulai terbuka dan nyaman.
“Sstt.. Aku mau fokus beresin ini, tolong kerja samanya ya my queen,” Abidzar mengusap sekilas kepala Celine.
Celine mengangguk agak tersipu. Sial! Dia lemah hanya karena di panggil my Queen. Geli sekali perutnya.
“Mau setinggi ini?”
“Ketinggian, aku pendek! Segini aja.” tunjuk Celine.
Keduanya terlihat fokus dengan sesekali Celine usil, celetukannya selalu saja kearah sana.
***
“Jangan pake celana itu, tytyd kamu keliatan besar.” frontal Celine yang baru saja melepas handuk dan meraih dalaman.
Mereka tengah berada di kamar setelah mandi bersama mumpung Mimah menginap di tempat bu Dewi untuk ikut rapat mempersiapkan makanan yang akan mereka sajikan untuk panitia.
“Sstt!” tegur Abidzar lalu tertawa pelan tak habis pikir. Dia melihat gundukan itu, benar! Terlalu jiplak.
“Katanya gue juga maksudnya aku juga kalau seksi cuma di kamar! Kamu mau keluar bantu pasang bendera,”
“Iya,” Abidzar berseru lembut sambil membungkuk hingga berhadapan dengan wajah Celine lalu mengusap pipinya sekilas.
“Itu punya aku! Nanti kalau ada yang tertarik terus perkaos kamu gimana? Aku ga bisa berbagi kalau itu kamu,” cerocosnya.
Abidzar berdebar mendengarnya. Celine begitu posesif, tanda dia tidak ingin kehilangannya kan? Itu bagus.
“Iya, aku ganti ya.” Abidzar mengecup puncak kepala Celine lalu membuka lemari dan mengambil celana gelap.
“Kalau kamu pasang bendera, aku ngapain?” Celine melanjutkan kegiatannya, memakai dalaman yang belum tuntas.
Abidzar melepas celananya lalu melirik Celine yang memunggunginya, hendak memakai bra lalu celana dalam.
“Mau sama ibu?”
“Malu,”
“Kan ada ibu,”
“Yaudah, mau makan siang dulu. Katanya ibu masak ikan mas-mas itu ya?”
“Ikan mas aja, Celine.” Abidzar membantu Celine yang kesulitan mengaitkan pengait bra itu.
***
“Jasmin,”
“Celine.”
Entah kenapa Celine merasa bertemu dengan saingannya. Apa dia gadis yang katanya baik dan lebih cocok dengan Abidzar?
Cih! Masih cakepan gue. Batin Celine.
Tapi walau begitu, Celine merasa terganggu dengan kepulangannya ke desa. Tapi, tidak mungkin sampai akan merebut Abidzarkan?
“Baru datang?” tanya Abidzar ramah.
“Iya, mas. Baru sampai satu jam lalu,” jawabnya lemah lembut.
Celine kalah soal itu. Dan apa katanya? Mas? Dia pikir Abidzar ikan mas? Gerutu Celine kesal. Entah kenapa dia jadi sekesal itu.
“Berapa lama di sini?”
“Lumayan lama, mas. Soalnya aku pindah kerja, dan mulainya bulan depan mungkin, sedipanggilnya aja.”
“Oh gitu..”
“Ibu, aku datang!” Celine berlari meninggalkan keduanya.
Abidzar pun segera pamit, tidak ingin berduaan dan menimbulkan gosip aneh. Mengingat dia dan Jasmin sering dijodohkan.
Jasmin menatap kepergian Abidzar, yang mengekor Celine lalu memeluk pinggangnya dan Abidzar terlihat tersenyum bahagia.
“Bukannya dia pengacau?” gumam Jasmin.
***
“Abidzar pantasnya sama Jasmin, tapi jodohnya kenceng sama kamu, sial banget kayaknya, kasihan nak Abi, kalau sama Jasmin pasti ga akan pernah kesulitan,”
Celine menatap ibu-ibu rempong itu. Mimah pergi, baru berani. Celine tersenyum sinis. Terus membantu mengupas telur rebus itu sesuai perintah Mimah.
“Keluar banyak uang, kasihan. Istrinya nakal sih, namanya bule, hidup bebas, ihh..”
Celine meliriknya tajam. Jika saja tidak sedang ingin berubah, sudah pastikan mulut itu berdarah oleh tinjuannya.
Bagaimana bisa seterang-terangan itu. Memang ingin cari masalah saja.
“Apa? Ga sopan sama orang tua liatinnya gitu! Orang yang disebutin bener semua,”
“Dasar miskin!” dingin Celine.
“A-apa?”
“Miskin hati lo! Miskin otak lo! Kasihan, seberat itu hidup lo sampai ganggu orang buat hiburan, lo pikir gue akan terluka terus nangis sambil ngadu ke Abidzar?!”
Celine menggeleng dengan tatapan meremehkan yang ketara.
“Dasar orang kota ga punya sopan—”
“SOPAN SANTUN?!” bentak Celine sampai terdengar keluar. Membuat beberapa ibu-ibu menoleh. “LO NGACA!”
Bu Leila sontak tidak bisa berkata-kata, agak menciut sebenarnya melihat amukan Celine yang begitu mengintimidasi.
***
“Abidzar, istrimu berantem sama bu Leila.”
Abidzar yang tengah mengikat bendera jelas segera turun. “Berantem gimana, Yon?” tanyanya.
“Jambak-jambakan, pukul-pukulan,”
Abidzar mengencangkan larinya, dia melerai kerumunan dan segera meraih Celine yang terisak kesal, menangis dengan masih membentak bu Leila yang sama kacaunya.
“FUCK!” teriaknya emosi.
Moodnya sedang tidak baik memang, dia akan datang bulan sepertinya. Mana agak cemburu dengan kedatangan Jasmin, dan Bu Leila bagai api yang menyambar minyak tanah tumpah.
“Celine.” panggil Abdizar lembut, memeluknya saat hendak kembali mendekati Leila dengan emosi.
“Harusnya jangan biarin perempuan gila itu ke sini.” seru bu Leila emosi.
“LO YANG MULAI!”
“Bu, istri Abi ga gila. Dia gini pasti ada pemicu,” Abidzar terlihat dingin, terus menahan Celine dan memilih membawanya pulang. Ngocoks.com
Semua orang hanya diam, sudah tidak heran dengan citra Leila. Makanya hanya melerai tanpa membela.
“Ibu beresin masalah di sini, kamu jaga Celine.”
Selama perjalanan pulang Celine terus menangis dengan kesalnya. Abidzar tidak mengajaknya bicara.
Hingga sampai di rumah. Celine memeluk Abidzar.
“Gue ga salah, dia yang mulai. Maaf, Abi.”
Abidzar mengusap punggung Celine, tersenyum mendengar nada Celine yang takut dia marah? Mungkin.
“Liat dulu, pipi kamu tadi luka.” Abidzar mengamati semuanya. Hanya cakaran di pipi dan lengan.
“Dia yang mulai.”
“Aku percaya, serius. Tenangin dulu, baru cerita. Sini peluk dulu,”
Celine kembali menangis.
Bersambung…