“Jangan kapok ya? Ga semua orang kayak bu Leila..” Abidzar terus mengusap punggung Celine, membujuknya agar tidak kapok bersosialisasi dengan warga desa.
Padahal Celine pertama kali ikut kumpulan, disambut baik walau akhirnya buruk karena satu orang.
“Mungkin cobaan, kamukan mau jadi lebih baik. Nanti kalau ada hal kayak gitu, kamu pergi terus lapor ke aku, oke?” suaranya yang lembut menenangkan membuat Celine mengangguk.
“Sini, luka cakarannya obatin dulu, aku ga mau kulit bagus istriku rusak.” dengan lembut Abidzar mengurai pelukan, membingkai wajah Celine.
“Iya, sebel! Dulu perawatannya sampai 15 juta seminggu tahu!” dumelnya.
Abidzar tersenyum. “Tanpa perawatan pun kamu cantik, nanti kalau udah di kota aku izinin perawatan lagi ya,” lalu mengusap puncak kepalanya.
“Emang ada uang?”
“Tabungan ada, nanti aku coba kerja lagi. Sekarang fokus ke sawah ayah, kita suruh orang buat tanam padi, berasnya kita jual..” jawab Abidzar sambil mengobati luka cakaran Celine.
“Mana liat?!”
“Nanti aja, kalau istriku yang baik ini makin lebih baik lagi.” bisiknya di depan wajah Celine dengan senyuman yang hangat.
Celine jadi ikut mengulum senyum, dia usap celana Abidzar. “Mau dia,” rengeknya dengan kedua mata sembab.
“Tapikan—”
“Hibur dong! Lagi kesel ini, jadi ga mau?” rengeknya.
***
“Mau cepet..” Celine tidak suka terlalu merayap,
Abidzar takut suara deritnya kasur terdengar.
Abidzar pun mengangkat Celine hingga berdiri di samping kasur. Di sana dia mengabulkannya, sambil berdiri.
“Oh suka.” lirih Celine pelan dengan menggigit jemari tangannya guna menahan desah.
Abidzar merem melek, dia sama menahan erangannya. Membiarkan tubuh Celine yang memunggunginya terguncang hebat lalu bergetar samar di pelukannya.
Abidzar menarik lalu menghentaknya dan menarik lagi lalu barulah bergerak dalam dan cepat lagi.
Celine meremas jemari Abidzar yang meremas keduanya bukitnya, tidak membiarkannya ikut terguncang.
“Oh!” Celine menahan pekikannya dan terengah.
“Aku keluar di—”
“Da-alem a-aja.”
***
“Boleh?”
“Nanti dulu.” Celine mengeratkan pelukannya. “Sebentar lagi aja.” pintanya.
Abidzar tetap harus membantu warga memasang bendera dan sebagainya. Dia tidak bisa tidak bergabung karena kebiasaannya selama ini jika berada di sini.
“Mau ikut?”
“Ga mau, masih kesel. Besok aja, tapi ga suka sendiri! Pasang benderanya bisa ga di depan atau sekitar sini?” rengeknya.
“Iya, nanti aku minta bagian sini ya, kamu bisa duduk di depan rumah sambil ngemil, masih adakan cemilannya?”
“Ada,” Celine mengurai pelukan hendak turun namun Abidzar tahan.
“Pakai dulu kaosnya,” Abidzar memasangkan kaosnya ke tubuh Celine.
“Ga keluar, itu cemilannya.” tunjuk Celine.
Abidzar tersenyum merutuki dirinya yang mendadak bodoh saking takut ada yang melihat Celine, padahal di sini hanya dia yang melihatnya.
“Takutnya aku mau lagi, kan doyan,” jenaka Abidzar dengan lembutnya yang khas, tawanya yang pelan begitu terdengar merdu.
Sungguh pria baik yang tidak pernah meninggikan suaranya pada perempuan. Celine merasa beruntung kini.
“Yaudah ayo, mau nungging atau—”
“Hari ini cukup. Kamu ga mau aku keluar kayaknya,” potong Abidzar menggodanya sambil mencolek pinggang Celine.
Celine berjengit geli sambil cekikan. “Emang ga mau,” lalu memeluk Abidzar lagi.
“Tapi aku harus keluar, yuk bersih-bersih dulu.” Abidzar usap punggung Celine, mengecupi puncak kepalanya.
***
Celine mengunyah sambil melihat Abidzar yang tengah memasangkan bendera agak cukup jauh dari rumah namun masih bisa dia lihat.
Hingga sosok yang lemah lembut berada di antara pemuda dan Abidzar. Mereka terlihat menyambut Jasmin tertarik kecuali Abidzar.
Celine tersenyum samar melihat Abidzar yang merespon seadanya lalu fokus lagi, sambil menoleh ke arahnya lalu tersenyum sesaat.
“Apa Abi tahu kalau gue ga suka dia deket cewek itu ya?” gumamnya lalu tersipu senang jika memang iya.
Celine merasa kian hari dirinya menjadi berubah, dia lupa bagaimana dirinya yang dulu.
Oh ketus, pedas, sarkas, entah kapan terakhir kali dia begitu pada Abidzar atau Mimah.
Hingga senyum Celine luntur. Hari ini sungguh menyebalkan. Soal Bu Leila dan kini dia melihat sosok kakaknya yang disambut Abidzar.
Untuk apa dia kemari?
Celine berdiri dengan tidak ramah saat Abidzar pamit pada para pemuda lalu membawa Gustav berjalan ke arahnya hingga berhadapan. Ngocoks.com
Gustav memarkirkan mobilnya entah di mana, mungkin di dekat bu Dewi karena sempat berpapasan dengan Mimah.
“Lo ngapain?!” Celine begitu benci, dia pun menendang kaki Gustav sampai mengaduh.
“Celine,” tegur Abidzar segera menahannya. Dia tatap wajah Celine.
Kedua matanya yang masih bengkak kini kembali menangis lagi. “Lo ngapain?” bibir dan suaranya bergetar. “Lo ngapain datang ke sampah yang lo buang? Mau pungut?” nafasnya terengah.
“Sstt.. Celine, hey.. Liat aku, Celine liat aku,”
Celine menatap Abidzar dengan berderai air mata. Nafasnya terengah dengan jemari terkepal kuat.
“Aku tahu kamu marah, kamu kecewa, kita dengerin dulu ya kakak mau bilang apa, yuk masuk dulu, sstt.. Jangan nangis, nanti pusing,” Abidzar menggendong lembut Celine untuk masuk.
Dengan agak pincang, Gustav masuk. Dia semakin tenang melihat cara Abidzar menenangkan ketantruman Celine.
Sungguh tidak salah dia dan ayahnya mengambil keputusan.
Bersambung…