“Ayah sakit, dia kepikiran kamu dan juga ayah sekarang berhenti kerja, kakak yang ambil alih, kamu mau perusahaan—”
“Ga makasih! Gue ga mau berurusan sama kalian lagi! Gue udah nyaman di sini! Ga usah kalian pungut lagi!” potong Celine dengan berderai air mata.
Mimah mengusap punggung Celine, tidak bisa menegurnya. Dia membiarkan Celine mengeluarkan semuanya dulu.
“Gue manusia, kak! Gue punya perasaan! Gue tahu gue ga sesempurna lo! Tapi gue selalu berusaha, selalu berjuang walau peringkat gue ga ke satu!”
Gustav sudah tahu dan sadar. Apa yang salah, bahkan Glen juga. Sebenarnya ayahnya tidak maksud begitu, dia hanya ingin Celine semakin semangat lagi untuk membuktikan dia bisa pada keluarga Glen.
Di sini keluarga Glen memang yang paling terang-terangan membandingkan Gustav dan Celine.
Semua yang terjadi di masa lalu memang rumit. Banyak kesalahan.
“Lo ga perlu berjuang buat jadi yang pertama, gue beda! Gue udah sampai berdarah-darah, tetep aja ga dihargain, terus aja kurang, terus aja kalian GA PERNAH PUAS!” suara Celine sampai serak meluapkannya.
Gustav diam, mendengarkan. Menatap kecewanya Celine pada dirinya sebagai kakak yang tidak bisa dengan tegas membantunya, terlalu sibuk dengan jalannya sampai meninggalkan adiknya sendirian.
Abidzar mengusap jemari Celine. “Celine, jangan terlalu keras, nanti sakit.” dia usap sekilas tenggorokannya.
Celine menepis dengan masih menatap Gustav marah, dia ingin menumpahkan semuanya. Luka dari dia remaja hingga dewasa.
Dan untuk pertama kalinya setelah banyaknya badai menerpa. Gustav memeluk adiknya yang sepertinya sudah mengeluarkan semuanya.
Celine lemas tanpa berontak. Pelukan kakaknya itu terakhir dia dapat saat jatuh dari sepeda, kini dia bisa merasakannya lagi setelah jatuh bangun dalam kehidupan.
***
Celine tetap tidak ingin banyak bicara. Dia fokus pada makannya walau tidak nafsu makan. Dia hanya tidak ingin membuat Mimah sedih.
“Mau tambah?” Abidzar menunjuk sayuran kesukaan Celine.
Celine menggeleng dengan mengunyah pelan. Abidzar tidak memaksa, dia usap sekilas punggung Celine dan lanjut makan.
Gustav juga ikut makan walau canggung. Ini juga pertama kalinya dia melihat lauk pauk baru, bahkan dia akan makan nasi.
Sama seperti saat Celine pertama kali. Bedanya, Gustav langsung mencoba dan mulai bisa menerima rasa baru itu.
Gustav melirik Celine yang gemukan, pipinya mulai berisi, lengannya mulai berdaging. Gustav tersenyum samar.
Hidup Celine di sini lebih baik. Dia sangat lega. Tidak apa terus di benci, jika Celine sudah siap memaafkannya dan Glen.
Pintu rumah dan hati akan selalu terbuka menyambut Celine.
Makan siang pun selesai. Celine memilih mengurung diri di kamar. Mimah sudah kembali ke rumah bu Dewi.
“Bi, Di sini susah sinyal?”
“Ga ada, susah.”
Gustav menghela nafas. “Kalau gitu aku pamit, ga papa Celine biarin aja. Dia masih butuh waktu,” ujarnya maklum.
“Soal ayah,” Abdizar memilih membahasnya. “Sakit apa? Apa parah?” tanyanya.
“Jantung, tapi udah di operasi. Lagi masa penyembuhan”
“Celine baik, dia akan segera ke kota.”
“Tapi, Bi. Dia—”
“Percaya, Celine ga terobsesi buat ke kota lagi, dia nurut sama suaminya. Dia istri yang baik,”
Gustav tersenyum. “Kamu keren, bi. Bisa bikin Celine kembali baik.” pujinya sambil menepuk bahu Abidzar.
“Celine yang keren, dia yang mau tanpa di paksa.”
***
“Kakak udah pulang?” Celine urung mengancingkan kemejanya, dia menabrak tubuh Abidzar dulu.
Abidzar balas memeluk. “Hm, beberapa menit yang lalu. Aku anter dia sampai mobil.” jawabnya.
Abidzar mengurai pelukan, mengancingkan kemeja Celine dengan telaten.
“Baguslah.” ketus Celine lalu diam menatap jemari Abidzar yang mengancingkan kancing kemejanya lalu membukanya lagi.
Celine sontak mendongak menatap Abidzar. “Dih, ngapain?!” Celine memukul lengannya pelan.
“Kirain ngelamun,” bisik Abidzar lembut, dia kembali mengancingkannya lalu mengecup kening Celine sekilas. “Ngobrol yuk?” ajaknya.
Celine menghela nafas, dia pun mengangguk sambil membelitkan lengan ke leher Abidzar dan tanpa mengeluh dia menggendongnya hingga duduk di ujung kasur.
“Ngobrol apa? Jangan bilang kamu mau buang aku ke kota biar pulang ketemu ayah gitu?” kesalnya.
“Buang, siapa yang buang kamu?” dengan lembut Abidzar usap sisi wajahnya. “Ga ada yang buang kamu, kamu berharga. Ayah sama kakak cuma mau kamu yang kayak sekarang, baik, patuh sama suami..
Aku tahu, susah buat terima dan maafin semua yang terjadi, aku juga ga berada di posisi kamu,” belaian lembut Abidzar sungguh memadamkan emosi Celine.
Celine diam tidak menyela, dia nikmat saja diusap-usap. Mendengarkan nasehat Abidzar yang nyaman dia terima.
Celine bagai sudah menemukan pawang yang tepat.
“Dengerin ga?”
“Hm?” Celine mendongak lalu mengangguk.
“Kalau gitu tangannya keluarin, kita lagi ngobrol,” Abidzar tertawa pelan melihat tangan nakal itu. Sungguh tak habis pikir, bisa-bisanya merayap sampai sana.
***
Celine tidak bisa tidur, dia diam dengan Abidzar memeluknya dari belakang. Sudah terlelap, meninggalkannya sendirian dengan pemikiran soal nasehat serta keadaan ayahnya.
Celine mendengar semua yang diobrolkan Abidzar walau tangan tidak bisa diam saat itu.
Celine memikirkan apa yang harus dia lakukan. Perasaan sudah tidak ingin ke kota, tapi dia dipaksa untuk ke sana.
“Abidzar,” Celine mengguncang Abidzar agar bangun. “Abi! Ga bisa tidur, temenin,” rengeknya.
“Hm.. Kenapa ga tidur? Mau di usap-usap?” tawarnya dengan mata setengah mengantuk.
“Iya, sambil ngobrol.” Celine berbalik, memeluk Abidzar sambil wajah berhadapan. “Ke kota sama kamu ya, jangan buang aku di sana,” lirihnya.
“Aku bilang ga ada yang buang kamu. Aku ga akan tinggalin kamu di sana, tugas aku belum selesai jadi suami kamu, aku masih bernafas..” dengan suara lembut yang selalu ingin Celine dengar itu, membuat Celine menghangat dan berdebar.
“Jangan cemas. Aku ga akan tinggalin kamu, kecuali kamu yang tinggalin aku karena ga mau sama aku hidup sederhana—”
“Kata siapa! Mau!” semprot Celine sambil mengeratkan pelukannya.
“Masa?” Ngocoks.com
“Iya! Serius, udah ga mau ke kota kok.. Kalau pun ke sana pokoknya sama kamu terus pulang lagi ke sini!” cerocosnya sebal.
“Kalau kamu ingkar, aku hamilin ya?”
“Yah, bakal ingkar dong,”
Abidzar tertawa pelan sambil mengeratkan pelukannya. “Jangan tinggalin aku, aku belum bahagiain kamu,” bisiknya.
Celine mendengus dengan mata berkaca-kaca setelah mendengarnya. Ternyata di muka bumi ini masih ada yang ingin membuatnya bahagia.
“Yah, kok nangis. Aku harus bujuk kamu dong,”
“Iya, bujuk.”
“Pake dia?” tunjuk Abidzar pada celananya.
“Iya, boleh banget.”
Keduanya cekikikan pelan, kembali saling memeluk erat.
Bersambung…