Abidzar menepikan kopernya di dekat meja kecantikan Celine. Dia melihat kamar megah itu, pantas Celine ngamuk saat pertama datang di desanya.
Perubahan yang Celine rasakan begitu drastis.
Abidzar melihat Celine yang berseru senang, melompat ke kasurnya dengan rindu.
“Akhirnya bisa rasain mereka,” Celine mengusap bantal bulu, sprai bulu mewahnya yang mahal.
“Kita lanjut nanti, kita ke ayah dulu.” ajak Abidzar sambil meraih jemari Celine dan membantunya bangun.
Celine menghela nafas, mencoba menahan marah dan rasa belum memaafkannya. Dia pasrah saja mengikuti sang suami.
“Nanti kalau punya rumah, kasurnya yang itu ya? Kasur kesayangan aku,” kasur pemberian mendiang ibunya yang hangat, nyaman dan selalu berhasil membuatnya nyenyak.
“Iya, kita bahas nanti ya.”
Gustav menyambut keduanya, mengkode pelayan untuk membuka pintu di mana menjadi ruangan Glen di rawat.
Celine berdebar, dia bagai melihat ibunya sebelum meninggalkannya. Glen tidak membuka mata dengan banyak alat medis di tubuhnya.
Celine sontak urung marah. Ternyata Gustav bohong. Glen sangat tidak baik-baik saja sejak selesai operasi di jantungnya.
“Kak, ayah..” Celine tercekat.
Gustav menghela nafas, mencoba tidak sedih. Dia juga takut, kenapa ayahnya tidak kunjung sadar. Padahal setelah operasi sadar dulu dan keadaannya tiba-tiba memburuk, membuatnya tidak sadarkan diri.
Gustav menjelaskan semuanya, tentang beberapa penyakit yang menyerang Glen.
Celine tidak bisa mendengar lagi. Dia terisak. Dia terus bergelung dengan amarahnya, tidak sadar selama ini ayahnya itu memiliki penyakit yang beresiko.
“Ayah pasti baik-baik aja,” Abidzar memeluk dan mengusap Celine yang terus menangis.
Abidzar sungguh lega Celine mau menjenguk, dia tidak ingin Celine menyesal di kemudian hari.
***
Abidzar menatap semua make up mahal yang berjajar di meja kecantikan sang istri. Sungguh bagai princess.
“Kusam banget astaga!” celoteh Celine sambil bersiap memakai masker wajah yang dia rindukan.
“Ga kusam, cantik kok.” Abidzar mengusap kepalanya yang di bando kelinci.
“Bohong banget! Abi,”
“Ya?” sahutnya lembut.
“Aku mau bawa mereka nanti boleh ke desa?” Celine mendongak sebelum memasang maskernya.
“Boleh, kenapa ga boleh? Yang ga boleh itu kalau berdampak buruk,” Abidzar tersenyum hangat.
Suara lembutnya sungguh Celine sukai. Membuatnya selalu berdebar.
“Oke, makasih. Cium dulu,” Celine memanyunkan bibirnya.
Abidzar tatap manjanya Celine itu sejenak lalu menciumnya, menyesapnya dan membelitkan lidah namun tak lama.
“Ini nanti kering, udah dulu.” Celine pun menjilat bibirnya yang basah, tanpa menyeka dia pasangkan masker itu.
Abidzar menatap kegiatan Celine dengan seksama, Rutinitasnya begitu lama. Abidzar sampai rebahan menunggunya selesai.
Kasur Celine begitu empuk dan halus. Pasti sangat berat bagi Celine tidur di kasurnya yang tidak terlalu empuk.
Kamarnya luas, megah bagai princess. Abidzar tersenyum samar. Jika Celine sudah benar-benar bisa dia arahkan ke jalan lebih baik, dia akan kembali bekerja, apapun akan dia lakukan selagi hal baik agar Celine tercukupi.
Kamarnya harus sama atau bahkan lebih dari saat Celine gadis.
Abidzar akan mengusahakan itu. Semakin meratukan istrinya, membuatnya paling bahagia di muka bumi ini.
“Udah,” Celine berjalan mendekat lalu lompat hingga menimpa Abidzar.
“Ugh!” untung Celine tubuhnya kecil. Abidzar segera peluk, membiarkannya ndusel di leher, membuatnya kegelian. Itu tempat sensitif.
“Kita tidur, aku besok harus ke desa dulu.” Abidzar mengusap kepala dan punggung Celine.
“Kamu mau maskeran juga? Mau ya?” Celine mengangkat wajahnya, mengusap wajah Abidzar. “Kulit kamu bagus, padahal ga pake apapun.” sebalnya.
“Tipsnya mau?”
“Apa?”
“Mandi air dingin, jam 3, 4 atau 5 pagi.”
“Ga mau,” tolaknya.
“Aku belakangan ini jadi ikut mandi siang karena kamu, pasti aku juga kusam,”
“Ga ada kusam sama sekali, kayak baby gini,” Celine duduk di perut Abidzar.
Abidzar menatap celotehan Celine di atas tubuhnya. Jika saja keadaan baik-baik saja dan besok tidak ke desa.
Abidzar ingin melakukannya di sini. Di tempat Celine tumbuh lama hingga secantik ini. Walau beberapa tahun tumbuh di California. Tetap saja dia lebih banyak tumbuh di negara ini.
“Mau ya?”
Abidzar mengangguk pasrah, semua di pasangkan di wajahnya. Entah apa saja, Abdizar tidak mengerti.
Sampai ngantuk dan terlelap. Usapan Celine sungguh lembut membiusnya.
***
“Ah..” Abidzar membuka matanya, menatap Celine yang naik turun di atasnya. Abidzar terengah, menatap sayu penyatuan yang timbul tenggelam itu.
Nikmat sekali.
Celine semakin cepat naik turun. Abizar juga mulai bergerak hingga membuat Celine kewalahan.
Dia pun bergetar dan ambruk. Tidak berhenti, Abidzar kembali menumbuknya, membuatnya menjerit dalam desahnya.
“Ah enak, Abi.. Terus, yang kenceng.”
Abidzar semakin semangat dan menghentaknya dalam. Dia segera membanjiri rahim Celine.
Keduanya terengah dan bergetar bersama dengan leganya. Terkulai dan berkeringat lemas.
“Mau lagi,” Celine turun, menungging cantik dan segera Abidzar serang lagi hingga rasanya semakin hambar.
Dan ternyata semua mimpi. Abidzar bangun dengan Celine masih terlelap. Posisi Celine sudah berantakan dengan kepala di ujung kaki Abidzar. Ngocoks.com
“Aduh! Gimana kalau ke tendang, saking luas ga bisa diem.” Abidzar mengintip celananya yang basah.
Abidzar tertawa samar. Ini pertama kalinya dia mimpi liar bersama Celine, saking terbayang semalam mungkin.
Abidzar menggendong Celine, memindahkannya dan menyelimutinya. Dia usap agar kembali terlelap.
Celine hanya menggeliat pelan.
Abidzar melirik jam di nakas. “Masih jam 3 pagi ternyata.” dia memutuskan memeluk Celine dan tidur sampai alarm membangunkannya. “Celena aku basah, ga papa ya.” bisiknya.
Abidzar masih ngantuk juga. Celine tidak akan marah, dia akan menjelaskan saja nanti saat bangun tidur.
Bersambung…