Celine memainkan kukunya santai, duduk di kursi kayu dengan tidak peduli keluhan dari pria tua yang kebunnya dia rusak hari ini.
“Pak Den, aku ganti kerugiannya. Maafkan istriku, pak.” Abidzar dengan sabar mencoba menenangkannya, membujuknya bahkan membiarkannya menominalkan kerugiannya.
Pantas saja mertuanya tidak mengizinkannya untuk menolak uang pemberiannya. Ternyata untuk ini.
“Baik, pak Den tenang. Aku kasih uangnya sekarang.”
Celine menatap Abidzar yang begitu tenang, memberikan uang itu dengan mudah. “Kebun dia udah layu, ga mungkin dijual hasilin segitu juta!” serunya membuat emosi pak Den kembali tersulut.
Abidzar memilih membawanya keluar dan membicarakannya di luar. Sepertinya dia harus berdiskusi dengan RT dan RW di sini.
Abidzar harus menggunakan uang pemberian mertuanya dengan baik. Tak hanya soal membantunya, dia juga membantu perekonomian warga di desa nantinya.
Celine di dalam rumah hanya diam, melirik Mimah yang terlihat lemah sekali. Tatapannya sendu sedih.
Celine mencelos. Apa ibunya akan sama sedih jika anaknya bertingkah merugikan orang lain demi kepuasannya sendiri?
Tapi dia tidak ada pilihan lain. Dia ingin hidupnya yang semula. Dia tidak ingin hidup di tempat seperti ini.
***
Celine terheran dibuatnya. Para tetangga Abidzar mendadak ramah, menyapa dan memberikannya sedikit hasil panen mereka.
Celine jelas melemparnya, membuat ulah lagi. “Apa-apaan! Hasil yang ga berkualitas kayak gitu ga bisa di makan!” dengan terengah emosi Celine pergi untuk mencari lahan yang bisa dia acak-acak.
“Aaaaaa!” pekik Celine terkesiap kaget saat tubuhnya melayang lalu kembali ke jalan di mana sebelumnya Celine lewati.
“Makasih ya, mang, sayurannya.”
Celine pun sadar, yang memanggulnya ternyata suaminya. Setelah seharian hilang, tiba-tiba datang merusak harinya.
“Turunin!” amuk Celine yang membuat tetangga yang dilewati tersentak kaget, menggeleng samar melihat kelakuan anak gadis dari kota itu.
Tidak ada sopan santun, begitu urakan dan sungguh pembuat onar di desa yang biasanya damai ini.
Abidzar sebelumnya memunguti semua pemberian para petani di desa ini untuk Celine baru dia memanggulnya.
Hari ini Abidzar lebih cepat. Untung saja di kota tidak macet seperti biasanya, membuatnya kembali pulang dengan cepat.
“Sandal mahal gueeeee!” teriak Celine saat kedua sandalnya lepas karena rontaan.
“Nanti diambil, ga akan ada yang curi,”
“Apa? Jangan yakin, mereka pasti tahu itu benda mahal! Apa liat-liat!” amuknya pada remaja yang tengah berhenti bersepeda untuk melihat Celine yang heboh di panggul Abidzar.
***
“Mau pulang?” Abidzar menatap Celine yang terengah emosi, duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah.
“Iya!” bentaknya.
Abidzar memejamkan mata saat telinganya berdengung. “Berubah, lebih sopan, lebih menghargai orang dewasa atau orang tua—”
“Buat apa? Ga berguna!” potongnya kesal. Wajahnya di tekuk.
Abidzar membenarkan lengan kaos Celine yang melorot mempertontonkan bahunya. Begitu bersih terawat, PR untuknya agar selamanya Celine terus sebening saat ini.
Tapi untuk sementara, dia harus mendidiknya di tempat yang sederhana ini. Agar bisa lebih menghargai hal-hal kecil.
Celine menoleh garang, menepis lengan Abidzar dan dengan sengaja menurunkannya hingga mempertontonkan sebelah bahu dengan tali bra.
Dengan sabar Abidzar membenarkannya lagi. “Ga baik, kita ga lagi di tempat bebas kesukaan kamu.” ujarnya lembut.
Celine semakin kesal karena tidak ada amarah yang keluar dari Abidzar selama dia berulah di sini. Sudah hampir menyentuh sebulan padahal.
Celine menatap ke depan, di mana bebek dan ayam berbaur. Itu yang paling membuatnya jijik. Dia hidup bersama mereka.
Di pandangan Celine saat ini, semua yang dia lihat begitu buruk dan menghantuinya. Jika saja dia lebih membuka mata.
Ada banyak hal baik di dalam kesederhanaan itu. Salah satunya, di saat ada sisa nasi, tidak dibuang begitu saja. Mereka berbagi dengan hewan yang kelak bisa membantunya juga untuk tidak kelaparan.
Toh semua kotoran, akan terendap ke tanah dan kadang setiap jum’at selalu ada gotong royong membersihkan jalanan.
Di mata Celine semua kotor, padahal tidak seperti yang ada di pikirannya.
Celine berdiri, dia malah hendak membuka kaos yang di pakainya saking ingin terus memberontak.
Abidzar refleks memeluknya. Membuat telinga pria baik itu memerah alami saat bersentuhan dengan lawan jenis.
“Lepas!” amuk Celine.
Abidzar menahannya, mengangkat Celine dengan mudah dan memasukannya ke rumah.
“Di sini ga menjamin semua orang baik, ada preman yang bisa aja berniat jahat kalau liat kamu—”
“Bodo amat! Gue ga peduli!” rontanya.
Mimah yang tengah melipat pakaian menantunya yang selesai di jemur berhenti saat melihat Celine yang diangkut anaknya.
Kali ini ada masalah apa lagi? Membuat desa jadi gaduh semenjak Celine hadir.
“Ada apa?”
Abidzar tetap membawanya ke kamar. “Ga papa, bu. Aman.” lalu masuk dan menutup pintu sebelum Celine kabur.
“Udah,” Abidzar tetap memperlakukannya lembut. Menghadangnya untuk meraih pintu.
Istrinya itu keras kepala sekali.
“Liat ke belakang,”
Celine berhenti meronta dan melihat beberapa plastik besar. Dia semakin emosi, menatap Abidzar teramat marah.
“Lo ke kota!” Celine mendorong dan memukulinya.
Abidzar meringis pelan lalu terpaksa memeluknya, mengunci dua lengannya. Pukulannya cukup membuat sakit.
“Gue mau pulang!” kesalnya dengan bibir bergetar menahan kejengkelan. “Gue mau hidup sendiri! Kalau gue menjengkelkan, kenapa ga buang beneran aja?! Kenapa ga usir malah di penjara di sini!” isaknya kesal.
“Ga bisa,” suara Abidzar begitu lembut, begitu sabar menghadapi tantrumnya Celine. “Udah ga bisa sendiri, ada suami sekarang. Kalau mau hidup di kota, berbuat baik di sini,” bisiknya.
Rontaan mulai melemas walau tangis tetap tidak reda.
“Ada lilin aromatherapy, mau dinyalain?” Abidzar mengusap lembut kepala Celine.
Celine bagai kucing liar yang baru mendapatkan usapan. Diam tak bergerak. Dan memang benar.
Celine baru pertama kali diperlakukan selembut itu, padahal tingkah dia sangat menguras emosi mereka.
“Mau, hm?” Ngocoks.com
Celine mengangguk kecil, mulai menyeka air matanya. Dia ingin tahu juga apa saja di dalamnya. Apa ada makanan? Dia lapar.
Abidzar tersenyum samar melihatnya. Perlahan namun pasti, kelembutan dan perhatian pasti akan meluluhkan ketantruman Celine.
***
Abidzar kembali terkejut saat melihat Celine masuk begitu saja saat dirinya mandi. Padahal kemarin-kemarin dia berhasil menghadangnya dengan menguncinya.
Tapi kenapa hari ini dia kembali ceroboh.
“Nah, gini dong. Udah kebelet!” datar Celine dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.
Dia berjongkok, buang air kecil begitu saja. Yang awalnya merasa jijik dan aneh dengan semua itu kini mulai mengabaikannya.
“Kemana atasannya?” Abidzar sudah membalut bawahnya dengan handuk sepinggang, bahaya jika Celine ingin pegang lagi.
“Sekalian mandi, kemarin belum. Ga nyaman,” Celine melepas branya, membuat Abidzar refleks memalingkan wajahnya.
Telinga Abidzar sudah sangat terbakar.
“Yaudah, duluan.” Abidzar hendak kabur namun di cekal Celine.
“Enak aja! Di sini ga ada mba, atau salon buat lulur! Bantuinlah!” kesalnya.
Abidzar memejamkan matanya, dia menyesal menuruti Celine untuk membeli lulur. Padahal pura-pura lupa bisa karena sudah lama memintanya. Saat Celine baru seminggu di sini.
“Apa?” Abidzar bersuara kaget namun pelan.
“Gue minta tolong ke ibu aja? Oke!” Celine dengan percaya dirinya hendak keluar dengan celana dalam saja. Sontak Abidzar cekal.
Bersambung…