“Abi isi dulu bathtubnya,” gumam Celine dengan masih terpejam.
Abidzar tersenyum, dia usap lekukan pinggang Celine yang tidur menyamping itu. Lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Celine.
“Kita di desa, Celine.” bisiknya lembut lalu terkekeh pelan.
Celine membuka matanya, menelentangkan tubuhnya dan menatap Abidzar. “Heum? Desa?” lalu melirik sekitar yang sederhana.
Kamar yang kemarin keduanya hias dengan beberapa hiasan yang di beli Celine saat di kota.
Abidzar tersenyum hangat dengan rambutnya yang berantakan, dia juga baru bangun tidur.
Diusap perut rata Celine sambil menunggunya sadar. Menatapnya lembut penuh kasih sayang. Tatapan lembut itu pasti akan membuat perempuan lemah. Pasti banyak yang menginginkan Abidzar.
“Ah, iya ya.” Celine ndusel pada Abidzar. “Siang aja mandinya, dingin.” keluhnya. Kalau di hotelkan ada air hangat otomatis.
“Yaudah, kamu lanjut tidur. Aku mau bantu ibu sama pak Lukman ya, mau siapin acara tahunan desa,” Abidzar menyelimuti Celine dengan selimut yang dibeli dari kota juga. Selimut yang lebih tebal.
“Acara apa?” Celine menyisir rambut Abidzar lalu ndusel lagi dan memeluknya.
“Kayak makan bersama, di sepanjang jalan yang luas, dari sini terus keujung rumah bu Hanum, ke sananyakan gang kecil, jadi ga sampe sana..” terangnya.
“Makan? Di jalan?” Celine tidak paham. “Makanannya di taroh di jalan?” lanjutnya agak gimana ya. Kotor dong.
“Di gelar pakai daun pisang yang bersih, tenang aja. Makanya kemarin ibu sama Jasmin ngobrol lama, mereka mau masak-masak buat—” ups.. Abidzar salah topik.
Wajah Celine langsung datar.
Celine bukan marah mendengar nama bunga itu keluar dari mulut Abidzar. Tapi, dia merasa tidak percaya diri.
Dia hanya bisa bagian mengupas, tidak memasak. Jasmin terlihat jago dan percaya diri sampai lama berbincang dengan Mimah kemarin. Mengabaikannya juga.
Tak hanya cemburu soal Abidzar, soal Mimah pun. Celine merasa mereka akan direbut. Perasaan yang mengganggunya menyebalkan sekali.
“Kenapa, hm? Ga suka aku sebut namanya? Yaudah, aku usahain—”
“Bukan.” Celine mendudukan tubuhnya. Wajahnya ditekuk sebal.
Abidzar pun mendekat, memeluknya dari samping. “Terus kenapa? Jangan di pendem, nanti kamu kesel.” dipuk-puk puncak kepalanya lalu dia usap.
“Aku ga bisa masak, pantes orang waktu itu bilang mending Jasmin dari pada aku yang emang ga ada apa-apanya.”
“Ga ada apa-apanya? Mana sini liat,” Abdizar mengangkat dagu Celine yang menunduk tidak percaya diri itu.
“Matanya cantik, hidungnya tinggi, bibirnya merah alami, kulitnya seputih kapas, lembut, kamu cantik. Tanpa harus bisa masak, gimana pun kamu. Aku yang pilih kamu, di luar sana banyak yang lebih dari kamu tapi istri akukan kamu..” lembut sekali, membuat pipi Celine merona mendengarnya.
“Kalau ga cantik?” Celine menatapnya sendu, masih belum percaya diri. Hanya masalah yang dia bawa, tidak ada bakat apapun.
“Kamu jago,” bisiknya lalu tersenyum lembut yang misterius. Tampan sekali Abidzar kini.
Celine mengerjap. Jago?
Ah! Dia paham.
“Jadi cuma jago di bidang itu ya?” rengeknya lalu ndusel dengan gumaman-gumaman tidak jelas.
Abidzar tertawa pelan sambil mengusap rambut Celine gemas.
***
Celine memakai kaos lengan panjang dan celana panjang. Lumayan sudah terbiasa dengan pakaian serba tertutup.
Celine keluar untuk makan siang. Mimah sudah ke rumah dan gantian Abdizar yang keluar.
“Makan dulu,” Mimah menyambut Celine hangat.
“Makannya sama apa. Bu?” Celine mendekat senang dan duduk di samping Mimah.
“Ada—”
“Ibu?” panggil suara lembut itu.
Senyum Celine luntur. Dia pun baru sadar, Jasmin ternyata memanggil Mimah ibu. Apa sebenarnya Jasmin itu mantu gagal?
Apa harusnya Abidzar menikah dengan Jasmin?
Celine diam dengan mengaduk makanannya, terus berisik di kepalanya. Dia sungguh tidak nafsu makan.
“Makannya habisin, ibu mau bahas masakan sama Jasmin, di sini kok..”
Celine mengangguk lalu melirik Jasmin yang tersenyum tipis, terlihat bagai wanita baik, polos dan sopan.
Celine tidak membalas senyumnya. Dia mulai makan walau rasanya jadi hambar.
“Celine mau bantu?”
Celine menoleh kaget, setelah lama diabaikan akhirnya dia dianggap ada.
“Ikut?” Celine terdiam menimang. Dia takut terjadi seperti saat itu dan juga dia tidak bisa memasak.
“Iya, bantu ibu, Jasmin, Bu dewi, ga banyakan kok..”
“Celine bantu aku, ibu.” Abidzar muncul, menyimpan daun pisang yang digulung sampai besar itu.
“Oh gitu,”
“Iya, bantu gelar daun pisang.”
Abidzar tersenyum pada Jasmin sebagai kesopanan lalu duduk di kursi Celine.
“Enak makannya?” Abidzar seka nasi di sudut bibir Celine.
Celine tersenyum dan mengangguk. Dia merasa datangnya Abidzar menjadi penyelamatnya. Dia gengsi bilang tidak bisa masak di depan Jasmin.
“Mau disuapin?”
Celine kembali mengangguk senang lalu melirik Jasmin yang tersenyum tipis. Sebagai wanita dia bisa merasakan rasa tidak senang yang terpendam.
Celine yakin, si bunga itu masih berharap pada Abidzar.
“Kita bersihin daunnya dulu,”
Celine mengangguk sambil mengunyah.
“Kucing udah di kasih makan?”
Celine menelan kunyahannya. “Oh nooooo! Belum, Abi!” serunya panik dan beranjak.
Abidzar beranjak juga, membawa makanannya yang lupa Celine bawa.
Jasmin yang masih ngobrol dengan Mimah sesekali melirik keduanya. Terlihat seperti sepasang suami istri yang saling cinta.
Jasmin tidak menyangka dengan hubungan mereka. Padahal dari cerita yang dia dapat. Keduanya tidak akur, Celine pembuat masalah.
***
“Abi..” Celine menyeka daun-daun pisang itu dengan agak kaku. Dia tidak biasa melakukannya. Ini pertama kali.
“Iya?” sahutnya lembut.
“Mau belajar masak.”
“Boleh,” Abidzar tersenyum menenangkan, mengusap Celine yang masih menekuk wajahnya.
“Sama ibu?”
“Ibu pasti seneng, mau sama aku ayo..”
“Kamu bisa?”
“Bisa, aku sering masak waktu hidup sendiri.”
Celine kian menekuk wajahnya. Semakin tidak percaya diri. Lalu memilih beranjak dan masuk ke kamar.
“Loh.. Celine?” Abidzar mengekorinya.
“Aku ga bisa, emang ga berguna!” amuknya lalu rebahan dengan posisi telungkup dan menangis kecewa dengan dirinya sendiri.
Abidzar mengusap punggungnya, membenarkan kaosnya yang terangkat.
“Aku ga masalah loh.. Kenapa dipikirin?”
Celine pasrah saat tubuhnya dilentangkan. Abidzar mengecup bibirnya sekali lalu yang kedua kali lama.
Celine terpejam mulai membalas dan berhenti terisak. Dia juga tidak mengerti kenapa bisa sekesal ini. Dia merasa kalah dari Jasmin. Ngocoks.com
Abidzar sepertinya harus membujuk Celine dulu, meyakinkannya kalau dia diinginkan meski tidak bisa memasak.
Abidzar akan berusaha menghindari Jasmin demi ketenangan hati Celine. Dia tidak ingin Celine tidak percaya diri.
***
Abidzar tersenyum, membuka resleting dan mengeluarkannya. Melepas Celana Celine juga.
Tanpa banyak pemanasan, hanya berciuman dan grepe sedikit. Walau begitu Celine tetap bisa siap karena setiap sentuhan Abidzar selalu membuatnya basah.
Abidzar menekannya, memeluk Celine dan memulainya perlahan. Dia tidak akan membuatnya lama.
Celine terpejam keenakan. Gesekan demi gesekan dari penyatuan membuat Celine melayang.
Abidzar terus mencium Celine, membungkam desahnya. Tanpa saling melucuti keduanya menyatu sebentar. Celine cukup terbantu dari berisiknya kepala.
Abidzar terus menghujaminya pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Semoga juga tidak ada yang datang dulu.
Abidzar peluk erat, mendindih Celine tanpa jarak. Dia yang memulai kali ini. Dia yang memimpin. Celine juga sudah terbiasa soal itu. Traumanya hilang karena Abidzar.
Celine terlihat berkali-kali pelepasan. Hingga pada akhirnya Abidzar mulai menggeram halus dengan terengah.
Semakin cepat dan cepat lalu…
“Heuk.. Ah..” lenguh keduanya dalam getar yang membuat tubuhnya menegang lalu melemas lega.
Abidzar mengangkat wajah, menyatukan bibirnya lagi. Menciumnya lembut. Memujinya lagi dan lagi.
Celine mulai merasa tenang.
Ternyata caranya menenangkan Celine berhasil yaitu membuatnya lemas.
“Percaya diri, Celine. Kamu yang aku pilih, kamu istri aku. Jangan bandingin kamu sama Jasmin. Kamu lebih segalanya buat aku sekarang.”
Bersambung…