“Abi,” panggil Celine sambil memainkan jemari Abidzar yang mengusap perutnya, membelitnya dari belakang.
“Ya? Kenapa? Mau minum?” perhatiannya. Mengingat mereka full tidak tidur sampai kini jam 3 pagi.
“Bukan, cuma gelisah aja. Barusan kita sadarkan, kamu juga selalu keluar di luar, tapi sebelum-sebelumnya kita cuma enak aja, ga inget ke sana kebanyakannya.” Celine menoleh ke belakang.
Abidzar hanya menatapnya. Dia paham arahnya kemana.
“Kamu belum datang bulan ya?” Abidzar baru sadar juga. Biasanya Celine akan butuh kehangatan, akan merasakan sakit dan malas bergerak.
“Udah mau sebulan kayaknya, terus waktu Honeymoon kita gila loh, tapi ga papa.. Mungkin emang telat aja kali ya,” Celine menelan ludah, dia jadi berdebar gugup.
Selama dia hidup dan datang bulan, dia tidak pernah telat selama ini. Hamil jelas bisa, orang Abidzar sering menanamkan benihnya.
“Kamu udah ga minum obat pencegah sejak kapan?”
Celine kembali menelan ludah. “Udah lama banget, selalu lupa. Bodoh emang!” kesalnya sambil memukuli kepala sendiri.
“Ga boleh gitu, Celine. Ga papa kok, kamu ga mau punya anak dari aku ya?”
“Ck! Bukan gitu, masalahnya..” Celine tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kegelisahannya. “Ck! Nanti tes aja dulu.” putus Celine.
“Aku ke puskesmas besok pagi, minta alat buat ceknya. Kita hari ini udah ya, saatnya tidur.”
Tapi nyatanya Abidzar tidak bisa tidur. Dia berdebar mulai berharap. Lucu mungkin ya, ada duplikat dia atau Celine nanti.
Abidzar usap perut Celine, terus memeluknya dari belakang. Perut Celine yang lumayan sedikit menonjol itu lemak atau—
Abidzar segera menepis pikirannya. Dia tidak ingin berharap. Sungguh tidak di rencana jika memang Celine hamil.
***
“Bener.” lirih Celine sambil menatap garis dua itu. Dia terlihat syok, semua perasaannya campur aduk.
Abidzar segera kecup keningnya lama. Kecup pipi dan seluruh wajahnya lalu berjongkok mengecup perutnya.
“Kalian harus sehat,” lalu kembali berdiri, memeluk Celine yang pucat. Pasti kaget. Merasa belum siap dan sebagainya.
Ini kecerobohan bersama namun tidak mereka pungkiri. Ada rasa senang, mereka akan memiliki buah cinta kasih.
“Abi,” lirih Celine haru dan takut.
“Stt.. Kita ke puskesmas ya, hari ini buka, sebelum tutup atau penuh, ayo.” ajaknya.
Celine terlihat linglung, mungkin karena masih kurang percaya. Hingga Abidzar pasangkan jaket. Dengan telaten Abidzar bantu Celine hingga bersiap.
“Kita pastiin anak kita beneran ada, hm.. .”
Anak kita?
Celine sontak berkaca-kaca. Baru juga saling mencintai, saling menerima, Tuhan begitu baik membuat dia hadir tumbuh di perutnya.
“Nangis seneng ya? Ga papa, keluarin.” Abidzar juga memerah kedua matanya manahan air mata agar tidak jatuh.
“Yuk, pelan naiknya.”
Dan sepeda pun melaju perlahan. Abidzar begitu hati-hati. Selama perjalanan Celine mencoba menenangkan diri hingga berhasil berhenti menangis haru.
Suara lembut Abidzar membuat Celine jadi semakin cengeng rasanya.
***
“Perkiraan jalan minggu ke 5, berarti saat kita gila-gilaan ada—” Celine berhenti sembarangan bicara.
Dokter itu hanya tersenyum. “Janinnya kuat, harap untuk lebih berhati-hati ke depannya ya, bu. Jangan keluar di dalam bapaknya,” nasehatnya sambil menuliskan resep obat.
Vitamin dan beberapa obat pencegah mual. Jaga-jaga nanti mulai morning sickness.
Celine tidak malu, hanya Abidzar yang telinganya memerah dan agak salah tingkah. Namun pada akhirnya, Abidzar yang bersemangat bertanya posisi baik dan sebagainya.
Tahukan Celine bagaimana.
Hormon katanya bisa membuat Celine semakin hemm.. Abidzar harus memiliki pegangan agar Celine dan anaknya tidak mengalami sakit.
Keduanya pun pulang. Sesampainya di rumah, Abidzar segera memeluk Celine. Mengusap kepala dan punggungnya sambil terus mengalunkan doa.
“Semoga selalu sehat, lancar sampai lahiran, —” Abidzar terus mengalunkan harapan dan doanya dengan lembut.
Celine terisak haru. Dia tidak tahu, Celine nakal, Celine yang ingin berubah, tiba-tiba kini menjadi Celine yang mengandung anaknya, darah dagingnya.
Celine merasakan ombak perubahan yang drastis. Dia terlalu terbuai sentuhan, terlalu haus sampai akhirnya lupa dan hamil.
Celine tidak menyesal, tidak menolak kehamilannya juga. Dia hanya merasa takut, dia tidak memiliki kesiapan, bahkan masih proses berubah.
Apa dia bisa menjadi ibu yang baik seperti Mimah?
“Ada apa?” Mimah yang baru pulang setelah menjaga bu Dewi yang sakit sontak panik mendengar isak manja Celine yang terus Abidzar peluk dan usap-usap itu.
“Yuk kasih tahu ibu,” Abidzar membungkuk sedikit. Mensejajarkan tingginya dengan Celine lalu menyeka air matanya, menyeka ingusnya lalu mengusap peluh.
Cuaca memang panas.
“Ibu,” lirih Celine, menjauh dari Abidzar dan memeluk Mimah.
Tiba-tiba dia rindu mendiang ibunya. Tapi tak apa, Mimah bisa menjadi pengganti rindunya.
“Aku hamil,” lalu terisak haru.
Mimah terkejut lalu tersenyum sambil mengurai pelukan. “Hamil? Selamat, nak.” Mimah usap setiap sisi lengan Celine dengan senang.
Doa dan harapan kembali mengalun dengan tulus dari Mimah. Doa-doa baik yang sama seperti yang diucapkan Abidzar.
“Udah mau jalan lima minggu, tapi bu.. Kitakan—” Celine memilih tidak lanjut.
“Ibu waktu hamil Abi, sama kayak kamu. Ga tahu, ibu bahkan naik bukit, kerja di sawah sama ayah Abi, ga ada mual atau tanda hamil,”
Celine berhenti menangis, mendengarkan ceritanya dengan tertarik.
“Eh, udah tahu hamil baru ibu mulai rasain muntah, ga bisa pergi ke sawah saking lemesnya. Makanya, mungkin karena ga tahu, jadi janinnya kuat, pokoknya cucu ibu harus kuat,” Mimah usap perut Celine dengan haru. Air mata berjatuhan bahagia.
Tak lama lagi dia akan memiliki cucu.
***
Celine tersenyum bahagia. Abidzar selama beberapa hari ini terus mengucapkan makasih, kata romantis, pujian dan sebagainya.
Membuat Celine merasa lebih baik walau lemas karena muntah-muntah dan tidak nafsu makan.
Benar seperti cerita Mimah. Setelah tahu hamil baru terasa.
Celine tidak tahu rintangan ini akan dia lewati, demi lahirnya keturunannya bersama Abidzar.
“Celine,” Abidzar muncul dengan bubur pesanan Celine. “Kata ibu muntah lagi?” cemas Abidzar lalu duduk di sisi ranjang, mengusap sisi wajah Celine.
“Ga papa kok,” Celine duduk, mulai melihat bubur yang di bawa.
“Sebelum bubur, mau cium dulu.” Celine bergerak ingin duduk di kedua paha Abidzar.
Abidzar segera menekan bibirnya, mengabulkannya agar Celine bisa makan lebih cepat.
“Udah?” Ngocoks.com
“Lagi,” Celine membelitkan lengannya ke leher Abidzar, memperdalam ciumannya.
Abidzar hanya bisa masuk ke dalam kaos, menyentuh kulit lembut, perut dan semua yang ada di dalam kaos Celine.
“Haa.. Udah dulu, makan bubur abis itu kita bisa lanjut, ya..” bujuk Abidzar penuh kasih sayang.
“Iya, tapi ga mau ciuman, mau lebih.”
“Iya, nanti kita berduaan, aku izin ke ibu mau kelonin kamu, makan dulu ya..”
Bersambung…