“Perut Celine lebih besar ya, padahal jalan 5 bulan..” Mimah mengusap perut sang menantu. Semoga besar pun normal dan kata Abidzar kandungan Celine sangat sehat.
1
Celine yang ingin memberi kejutan merasa membohongi Mimah. “Ibu..” panggilnya membuat fokus Mimah langsung terarah pada Celine.
“Iya? Kenapa? Mau sesuatu?” tanyanya senang walau kadang ngidam menantunya itu aneh. Seperti ingin melihat bu Hanum menari.
Untung tetangganya itu baik dan sayang Celine karena selalu memborong jajanan dan semakin dekat akibat sering jajan.
Mimah sungguh lega dengan hubungan Celine dengan beberapa warga di sini sekarang. Mereka semua hidup berdampingan. Damai.
“Aku mau jujur,”
Abidzar menatap Celine. “Jujur soal apa?” lalu tersenyum. Apa mungkin Celine mau memberitahu soal hamilnya yang kembar?
Abidzar tentu saja senang jika Celine mau memberitahu kabar itu.
“Soal apa?” Mimah berdebar dibuatnya.
“Sebenernya, aku hamil kembar ibu. Makanya lebih besar dari hamil normal,” Celine mengusap perutnya lalu menatap Abidzar yang tersenyum seolah senang dengan kejujurannya.
Abidzar sebenarnya tidak ingin menutupi kebahagiaan soal hamil Celine yang kembar, tapi itu kemauan Celine yang katanya ingin memberi kejutan pada keluarga.
Entah apa yang membuat Celine mau membuka kabar rahasia itu. Yang jelas Abidzar senang mendengarnya.
“Kembar?” kaget Mimah.
“Iya, ibu. Awalnya kita mau kasih kejutan,”
“Kembar cucu ibu?” senang Mimah sambil kembali mengusap perut Celine.
Cucunya langsung dua. Mimah begitu senang.
“Dan, aku mau izin juga, bu.” Abidzar mengusap kepala Celine sebagai ucapan terima kasih mau memberitahu soal itu pada ibu.
“Izin? Ke rumah Celine buat kasih kabar?” tebak Mimah.
“Iya, bu.”
“Pergi aja, semoga perjalanan lancar sampai tujuan, ibu sendiri ga papa, atau ke tempat bu Dewi, pokoknya ibu ga papa,”
***
Celine terlihat cantik dengan gaun hamil pemberian dari Mimah, katanya itu pakaian dulu yang masih bersih dan sebelumnya sudah Mimah cuci juga.
Celine pikir tidak muat, ternyata muat walau menjadi rok di atas lutut karena Celine lebih tinggi dari Mimah.
Abidzar kembali senang dibuatnya. Celine mau menerima pakaian bekas ibunya, tidak ragu, gengsi atau merasa risih.
Celine sudah menerima Mimah seperti ibu kandungnya sekarang. Satu pakaian membuatnya tidak merasakan apapun selain senang bagai diberi warisan.
Katanya pakaian yang di pakai Celine kini itu mahal di zaman dulu, satu-satunya pakaian bermerk pada zamannya yang diberikan mendiang ayah Abidzar saat mengandung Abidzar. Makanya Mimah menjaganya dengan baik.
“Mobilnya suami bu Dewi belum berangkat ya?” tanya Mimah sambil memberikan beberapa makanan untuk di makan selama perjalanan. Terutama jeruk.
“Sudah, itu bu baru datang.” Abidzar segera menggandong tasnya, hanya membawa sedikit pakaian saja karena di rumah Celine sudah ada pakaiannya yang tertinggal.
Abidzar ingin lebih fokus menjaga Celine juga. Soal pakaian tidak usai risau karena ada Gustav juga.
“Berangkat ya, bu.” Celine memeluk hangat Mimah.
“Hm, semoga sampai tujuan, sehat-sehat di sana, titip salam buat Glen, nak Gustav.. Ajak main ke sini, kita makan bersama di sawah,”
Celine mengangguk lalu pasrah di tuntun Abidzar setelah selesai berpamitan.
Celine Abidzar gendong hingga naik ke atas mobil pick up yang sebagian terisi sayuran segar.
“Bapak sengaja kosongin sebelah sini buat nak Celine, sama calon cucu bapak, di pasangin atap juga biar ga kepanasan selama perjalanan,”
Celine tersenyum senang melihat suami bu Dewi yang menerimanya dengan baik. Celine tidak tahu ternyata akan sebaik ini hidupnya jika tidak mendahulukan emosi, ego dan gengsi.
***
“Ngantuk?” Abidzar meraih cemilan di paha Celine, merapihkannya dan memasukan ke dalam plastik berisi makanan dan air itu.
Celine mengangguk. “Iya, banyak ngemil sama enak juga anginnya. Adem,” jawabnya dengan mata sayu menahan kantuk.
“Jalan rusaknya masih jauh, sini tiduran dulu.” Abidzar peluk, menyandarkannya di bahu.
Celine pasrah saja karena memang ngantuk.
Abidzar usap-usap bahu dan kepalanya sayang. Membuat Celine semakin mengantuk dan terpejam.
Sungguh tidur yang nikmat dengan semilir angin adem dan bau dari dedaunan hijau.
Abidzar meraih ponsel Celine yang tidak ada sinyal itu, isinya begitu banyak foto selama di desa. Dengan orang-orang desa, sungguh berbeda dengan Celine yang mewah, biasanya berfoto di hotel dengan pemandangan gedung pencakar langit.
Abdizar kecup lama kepala Celine. Ternyata Celine bisa diajak hidup sederhana.
“My queen.” bisik Abidzar lembut terselip bangga dengan segala perubahan Celine yang selalu membuatnya terkejut namun senang.
Abidzar mematikan ponsel Celine, menatap sawah-sawah dan perkebunan yang dilewati. Abidzar harus memutar otak.
Kerja di negara orang memang besar, tapi hidup di sana masing-masing. Dia ingin anak dan istrinya selalu terus berada di tempat yang hangat.
Tapi masa depan tidak ada yang tahu.
“Nak Abi, jalanan mulai ga mulus, bapak pelanin tapi tetep jaga-jaga di belakang,”
“Baik, pak. Terima kasih,”
Celine pun bangun, dia mulai merasakan guncangan dari jeleknya jalan yang belum di aspal itu.
Abidzar memastikan kepala Celine tidak mengenai besi untuk penyangga tudung peneduh itu.
“Makasih, papa.” Celine tersenyum melihat perhatian dan protektifnya Abidzar. Sungguh terlihat dewasa, penyayang dan sudah sangat cocok menjadi seorang ayah.
Aura Abidzar memang selalu memancarkan sosok ayah yang hangat. Kedua anaknya kelak sungguh beruntung.
Telinga Abidzar sontak merah mendengarnya. Panggilan papa selalu berhasil menggelitik. Abidzar suka.
***
“Perut, Celine.” sambut Glen di kursi roda dengan satu suster yang mengurusnya. Gustav masih belum pulang. “Cucu, ayah punya cucu,” senangnya.
Celine terus mendekat, memeluk ayahnya walau luka masih belum sembuh tapi dia akan mencoba berdamai.
Kedua anaknya harus memiliki keluarga lengkap dan harmonis. Itu tekad Celine. Dia tidak akan membiarkan kedua anaknya terasingkan seperti dirinya.
“Iya, ayah. Maju 5 bulan, kembar.” Celine membiarkan perutnya di sentuh Glen dengan gemetar haru.
Akan ada penerusnya. Berharap dari Gustav terlalu lama. Anaknya itu seperti tidak niat memiliki anak.
Padahal tanpa Glen tahu, bahkan Gustav tahu. Hari ini seorang wanita tengah melahirkan anak kembar yang tak lain darah daging Gustav.
Abidzar memeluk Glen sekilas, menerima ucapan selamat atas kehamilan Celine.
“Maaf, ayah. Kita baru bisa kesini, jalan di desa buruk, takutnya mengganggu kehamilan Celine,” terang Abidzar.
“Ayah maklum, yang jelas ayah senang.. Terima kasih,” haru Glen.
“Kakak mana, ayah?”
“Belum pulang, katanya hari ini lembur, akan ayah telepon untuk pulang!”
***
“Kak, ada masalah?” Celine menatap Gustav yang melamun, awalnya sangat senang dengan kabar dirinya hamil. Tapi setelah itu, Gustav selalu diam bagai memiliki beban pikiran.
“Masalah biasa, kantor.” bohongnya, padahal bukan itu.
Celine tidak mengganggunya lagi, dia lanjut makan dengan lahap barulah bersih-bersih di kamar dan istirahat.
“Abi,”
“Iya, apa?” Abidzar menyimpan handuk basah ke cucian barulah mendekati Celine yang rebahan.
“Ayo tidur, besok aja beres-beresnya.” Celine terlihat nyaman berada di kasurnya dengan hanya memakai gaun tidur tipis yang nyaman. Ngocoks.com
Abidzar mendekat sambil membenarkan atasan Celine sambil menjejalkan bobanya untuk masuk lagi. “Tumpah-tumpah,” lalu tertawa pelan.
Celine tersenyum, bobanya memang agak membesar. Sampai meleber keluar dari gaun tidur tipisnya.
“Akibat kamu emut terus,” Celine merapat walau kini terhalang perutnya. “Jadi mau diemut,” lanjutnya.
“Katanya lelah, tidur, sayang.” Abidzar usap rambut Celine, kecupi kepalanya lembut penuh kasih.
“Kayaknya main bentar boleh, ini ngidam.”
“Mama yang ngidam?”
“Iya, papa.”
Keduanya cekikikan lucu. Tetap saling memeluk erat. Hingga berakhir gaun tidur itu terongok di lantai, celana Abdizar pun sama.
Abidzar mendesah halus, membiarkan Celine juga berisik di atasnya. Abidzar usap-usap perut buncit itu, dia akan menjadi ayah dari dua anak.
Sungguh indah hidupnya kini.
“Pelan aja,” Abidzar mengangkat tubuhnya membuat keduanya duduk berhadapan dengan saling mengisi satu sama lain.
“Dasar protektif, papa.” Celine pasrah saat direbahkan dan membiarkan Abidzar berada di atasnya, memimpin permainan dengan lebih hati-hati.
Bersambung…