Gustav melirik Celine dengan perut buncitnya. “Masih ga percaya kamu hamil, Celine.” lalu terkekeh pelan.
Celine mengusap perutnya. “Lucu ya?” balasnya narsis.
“Iya, kayak ikan buntel.”
Celine mendengus lalu duduk di samping Abidzar yang duduk bersisian dengan Gustav. Keduanya tengah menonton bola.
Gustav dan Abidzar semakin dekat selama seminggu ini. Gustav juga lebih sering pulang lebih awal agar mereka bisa makan malam bersama.
Sepertinya Gustav benar-benar ingin berubah, ingin memperbaiki kesalahannya.
“Kita ke sini sekalian mau belanja pakaian bayi, mau ikut kak?”
Gustav menggeleng. “Ga sesabar Abidzar, pergi aja berdua.” jawabnya tenang.
“Iya sih, nantikan lama di sana.” Celine membelit lengan Abidzar. “Kamu ga masalah?” tanyanya.
“Sama sekali engga.”
Ketiganya mulai asyik menonton bola. Celine lebih heboh dari Gustav dan Abdizar.
“Fuck! Shit!”
“Celine, ga boleh ngumpat.” tegur Abidzar lembut.
Celine cengengesan. “Maaf, kelepasan.” ringisnya.
Gustav tersenyum samar. Akhirnya bisa melihat Celine ditaklukan. Lucu sekali. Abidzar sungguh pantas menjadi suami dari adiknya.
“Ga papa, jangan diulangi ya,” bisik Abidzar yang diangguki Celine lalu ndusel di lengan Abidzar.
Gustav menggeleng samar. Benar ya, jika sudah menemukan pawang memang berbeda. Dari macan bisa berubah menjadi kucing.
***
Celine bersiap dengan kaos kebesaran milik Abidzar, dipadukan dengan jaket jeans milik Celine yang sudah lama tidak Celine pakai. Bawahannya hanya celana kain longgar miliknya. Lalu tas kecil yang hanya berisi lipstik, ponsel dan kartu dari ayahnya untuk cucunya.
“Walau ayah kasih, aku mau serakah. Mau dari kamu juga biar banyak,”
“Iya, uang yang aku dapet dari kerja di Jepang, semua buat kamu, buat anak kita.” Abidzar kecup ringan pipi Celine.
Celine balas mengecup pipi Abdizar.
“Yuk, udah siap?” Abidzar membenarkan rambut Celine.
Celine mengangguk dengan senyum tulus penuh cinta. Tidak ada air wajah angkuh lagi di wajah cantiknya.
“Mau naik apa?” Celine membalas genggaman Abidzar yang menuntunnya.
“Kata ayah, ada sopir yang antar.”
“Oke.”
***
Abidzar tidak mengeluh sama sekali, dia membawa semua barang belanjaan di kedua tangannya dengan terus mengekor dan menjaga Celine.
“Kalau lelah kita makan dulu,” Abdizar melihat keringat di pelipis Celine.
“Oke, Abi.” manjanya sambil mendongak menatap Abidzar lalu tersenyum.
“Istri baik,” puji Abidzar balas tersenyum.
“Mau di sana? Enak kayaknya,”
“Ayo, aku ikut mau kamu.”
Celine memakan semua pesanannya, Abidzar pun sama. Keduanya mulai mengisi tenaga lagi.
“Aku simpen belanjaan dulu, boleh? Biar bisa bawa yang lain lagi,” ujar Abidzar setelah selesai makan.
“Boleh, aku tunggu di sini.”
Abidzar mengangguk. “Telepon kalau ada apa-apa. Makannya pelan,” lalu beranjak meraih semua barang belanjaan.
Celine lanjut makan, patuh dengan makan pelan walau sangat suka dengan makanannya. Nafsu makannya sudah kembali.
Mual muntah sudah mulai hilang, perutnya juga mulai bulat dan kembung. Lucu.
“Celine?”
Celine berhenti minum, menatap pria yang berdiri angkuh itu. Malas sekali bertemu dengan binatang satu itu.
“Ya?” sahutnya malas sambil meraih ponsel.
“Ternyata beneran lo,” tatapnnya jatuh ke perut Celine. “Ayahnya siapa? Jangan bilang lo ga tahu,” candanya.
Tanpa diperintah dia duduk di kursi samping Celine.
“Gue udah nikah.” datarnya.
“Oh ya? Seorang Celine yang bebas?” cemoohnya.
Celine mengibaskan rambutnya, dia mulai gerah karena kesal. Bertemu dengan pria yang merusaknya sungguh kesialan.
“Gue udah bukan Celine yang dulu. Jadi, lo pergi!”
“Emangnya ada yang mau sama bekas kayak lo? Lo lupa seberapa rusak lo,” bisiknya diakhir.
“Lo cuma mau bikin gue marahkan? Sayangnya, gue bukan Celine yang emosian lagi.”
“Lo tanpa kata pergi ninggalin gue, lo emang bebas, gue juga. Tapi ga sopan kalau lo pergi tanpa ucapan apapun.”
“Hubungan kita ga bisa disebut hubungan, buat apa pamit? Kita sama-sama pemakai, gue ga butuh lo selain buat hiburan dan bukannya lo juga tegasin soal itu?” geram Celine.
Bisa Celine lihat, rahang dia yang mengetat. Untuk apa juga membahas masa lalu menjijikan saat itu. Mereka sama gilanya dan kegilaan itu sudah Celine tinggalkan.
“Lo gagal move on dari gue? Lo ternyata sesuka itu?” ejek Celine.
Abidzar menghentikan langkahnya saat melihat pria asing di samping Celine. Siapa dia? Langkahnya terayun pelan, samar suara keduanya terdengar sama marah.
“Ada apa?” Abidzar mengusap bahu Celine, mengkodenya untuk tidak mendahulukan emosi. Nafas Celine sudah memburu marah.
Abidzar tersenyum ramah pada pria asing yang kini menatapnya dengan meremehkan itu. Abidzar mengabaikannya.
“Siapa? Ada apa?” Abidzar menatap Celine yang masih mengeraskan wajahnya.
“Jadi ini suami lo?”
“Lo pergi!” dingin Celine.
“Ternyata selera lo kayak gini?”
“Celine,” Abidzar mengusap jemari Celine. “Kita pergi.” ajaknya. Abidzar tidak peduli pada pria itu.
Yang utama Celine. Pria itu merendahkannya pun dia tidak akan ambil pusing. Kualitasnya sudah jelas, pria itu yang rendah.
“Dia bekas, dia wanita murah, dia wanita menjijikan, banyak pen*s yang masuk—”
Celine hendak meninjunya namun Abidzar segera peluk.
“Jangan di ladenin, dia cuma lagi sakit karena ga bisa dapetin kamu.”
Abidzar segera membawa Celine pergi dari sana, meninggalkan pria yang gagal membuat masalah dengan Abidzar maupun Celine.
“Dasar j*lang!” umpatnya lalu pergi dengan emosi yang menggunung. Dia sadar kalau dirinya memang kecewa tidak bisa lagi mendapatkan Celine.
***
“Dia siapa?” Abidzar memberikan sebotol air untuk Celine.
Celine menerimanya, meneguknya sedikit. Sudah terlihat mulai rileks.
“Dia yang dulu rusak aku.” lirihnya menunduk. Celine sejujurnya merasa tertampar. Dia dulu memang sekotor itu.
Bertemu dengannya lagi sungguh mengorek luka lama.
“Aku ga mau bahas,” bibirnya bergetar lirih.
“Ga usah dibahas, dia ga penting.” Abidzar memeluknya. “Tenangin diri sebentar, kita lanjut belanjanya ya.. Jangan dipikirin soal apapun selain anak kita.” lanjutnya.
“Abi, aku kotor banget, kenapa kamu ga jijik?” isaknya pelan di pelukan Abidzar.
Keduanya di dalam mobil dengan sopir berada di luar memberikan privasi.
“Ga ada yang kotor, semua orang punya masa lalu dan bisa berubah, berhak berubah..” bisik Abidzar begitu lembut. “Kamu keren udah mau berubah, mau ninggalin kebiasaan kamu yang pastinya susahkan..
Aku ga pernah pandang kamu rendah, di masa lalu kamu ga ada aku, jadi aku ga akan mau bahas, aku cuma mau kamu sama aku lebih baik lagi ke depannya. Kamu itu istri aku, my queen, calon ibu anak-anak aku, jadi semangat ya buat lebih baik lagi, kita sama-sama belajar,” ujarnya lembut sekali.
Celine tetap masih merasa kotor. Apakah dia sungguh layak mendapatkan Abidzar. Harusnya Abidzar mendapatkan yang lebih baik darinya.
Celine ingin kabur rasanya. Ngocoks.com
Abidzar mengecup bibir Celine lembut dan sebentar namun Celine menarik tengkuk Abidzar lalu menciumnya sampai belepotan lipstik.
“Mau pulang.”
“Pulang?” Abidzar membenarkan duduk Celine. “Yaudah, kita pulang.” lanjutnya sambil menyeka bibir Celine yang belepotan.
Dan Celine pun sama, menyeka bibir Abidzar. Dan sesampainya di rumah, Celine bagai kerasukan.
Dia begitu agresif. Abidzar hanya bisa membalasnya. Memeluk Celine yang naik turun di pangkuannya.
“Mau lama,”
“Sebentar aja ya,” Abidzar masih agak ngilu dengan perut Celine.
“Ah.. Ga mau,” lirihnya dengan terus naik turun di pangkuan sang suami.
“Ah.. Pelan, Celine.” lirih Abidzar sama naik, dia sungguh menggila jika sudah melakukannya bersama Celine.
Abidzar mendesah halus, memeluk dan mengusap Celine yang meliuk di pangkuannya dengan begitu panas.
Abidzar menggendong dan merebahkan Celine, dia usap perutnya sambil berbisik meminta izin untuk memadamkan Celine yang begitu membara.
Bersambung…