Abidzar menatap hangat istrinya yang terus berceloteh sambil menyuapinya anggur dan juga jeruk.
“Dia itu anak dari adiknya kakek, pokoknya rese banget. Dia yang selalu nyudutin, ngerendahin, pokoknya musuh aku..”
“Celine,”
“Ya, Abi?” Celine menoleh lalu memasukan sebutir anggur ke mulutnya sendiri.
“Marah boleh, ga papa.. Tapi jangan nyimpen dendam ya, jangan jadiin musuh juga kalau bisa, kamu hindarin dan abaiin aja, nanti cuma ngotorin hati.”
Celine mengangguk setuju. “Kesel karena inget aja sambil cerita, selebihnya aku bodo amat kok,” jujurnya.
“Baiknya istri aku,” Abidzar tersenyum bangga sambil mengusap kepalanya.
Celine tersipu sambil mengunyah anggur lagi.
Abidzar bisa melihat binar senang di kedua mata Celine jika dia mendapat pujian. Kasihan istrinya, selama ini hanya mendapat hinaan, perbandingan dan hal buruk lainnya.
Padahal banyak sisi Celine yang patut dipuji.
“Aku harap kamu ga ketemu keluarga ayah, aku ga akan bisa liat orang yang aku sayang, dihina mereka.” Celine menyandarkan kepalanya dan Abidzar segera merangkulnya.
“Jadi istri aku ini sayang aku banget sekarang ya?” candanya agar Celine tidak berlarut-larut dalam lukanya saat mengingat betapa jahat keluarga ayahnya padanya.
“Sayang banget, sampai pernah doa, lebih baik aku duluan meninggal dibanding harus ditinggal kamu,” bibir Celine bergetar dengan cengengnya.
Abidzar tersenyum tipis. “Aku juga ga bisa kehilangan kamu,” bisiknya.
Celine terisak, jatuh sudah air matanya. Dia sembuh karena Abidzar, dia ingin selamanya bersama obatnya.
“Dedenya nanti sedih, mama..” Abidzar begitu lembut. Terus mengusapnya. “Sini, aku suapin kamu.” keduanya pun berjarak.
Celine menerima suapan Abidzar sambil mendengar pujian dan doa Abidzar untuknya. Dan dengan usil mengemut jemari Abidzar.
“Kamu sembuh ya, biar bisa mimpin.” celetuk Celine tiba-tiba.
“Mimpin— oh..” Abidzar langsung tertawa pelan. Celine-Celine.
***
“Perut kamu makin keliatan,” komentar Glen. “Apa Mimah ga di ajak di sini? Dia perempuan, nanti pasti pahamkan..” lanjutnya.
Mereka semua tengah sarapan.
“Iya, bawa ibu, Abi..” rengek Celine.
Abidzar tersenyum sambil menyeka sudut bibir Celine. “Iya, nanti aku bawa ya, makan yang banyak.” balasnya.
“Mau ayah kirimkan sopir kesana?” tanya Glen.
“Boleh, ayah.”
“Tapikan masih ada 3 bulan lagi, nanti kasihan Ibu bosan di sini,” Celine manatap Abidzar.
“Apa aku ke sana dulu sebentar? Obrolin ibu maunya gimana?”
Celine cemberut. “Ga mau, jangan tinggalin aku. Kamu juga ini tangan sama kakinya belum sembuh,” omelnya yang padahal sungguh tidak ingin di tinggal.
“Dasar ga mau ditinggal aja,” celetuk Gustav.
“Emang ga mau! Ini ngidam kalau kata ibu,” balasnya sebal.
Gustav tersenyum samar sambil menggeleng, dasar bucin. Tapi dia senang, sungguh senang setiap harinya walau hidupnya sendiri hampa.
Semua terlalu mudah baginya. Perasaannya terasa hampa. Hidupnya membosankan, lelah oleh pekerjaan. Mentalnya sedang tidak baik-baik saja.
“Jadi kapan?” Glen tersenyum melihat Celine yang begitu bergantung pada Abidzar. Mantu baiknya.
“Nanti aja, atau aku ikut lagi.” rengek Celine. “Pokoknya ga mau tahu harus ikut!” tegasnya keras kepala.
“Iya, kita bahas nanti ya, makan dulu sarapannya..”
***
“Ayah senang lihat Celine manja sama suaminya, rasanya lega Celine ada yang jaga. Dia bahagia sama suaminya,” Glen terlihat pucat.
Dia sungguh pria tua yang sakit-sakitan semenjak sang istri pergi meninggalkannya. Cinta sejatinya pergi membuatnya sendirian.
Membesarkan kedua anaknya yang berakhir gagal membesarkan Celine dan untungnya ada Abidzar yang bisa membuat anaknya tumbuh lebih baik.
Istrinya pasti senang di alam sana. Putri kecilnya kembali ke jalan yang benar.
“Ayah ga usah khawatir, fokus ke kesembuhan ayah, ya.. Celine aku jaga lebih dari aku jaga diri sendiri. Aku akan jaga ibu dari anak-anakku dengan baik, ayah.” janjinya.
Glen mengangguk dengan kedua mata memerah menahan haru. Abidzar bagai hadiah terindah untuk keluarganya yang hampir hancur.
“Makasih, nak. Haaa.. Ayah tenang kalau begini, tinggal melihat Gustav menikah,”
Gustav menghentikan langkahnya, mendengarkan keluh kesah dan keinginan Glen sambil menatap kopi dingin yang dia pegang.
Gustav harus segera memikirkan romansa kalau begitu. Ayahnya ingin melihat dia menikah.
Gustav tidak ingin menyesal lagi. Dia belum sempat mewujudkan keinginan mendiang ibunya.
“Cie, nguping ya?” bisik Celine.
Gustav menoleh lalu mendengus. “Suaminya mau kabur ke desa tuh, urusin.” balasnya.
“Apa?!” dengan segera Celine meninggalkan Gustav.
“Gara-gara cinta jadi bodoh dia, gampang ditipu.” gumam Gustav.
Abidzar jelas hah heh hoh tak paham, siapa juga yang akan kabur. Glen sampai geleng-geleng mendengar rengekan bagai bocahnya Celine.
***
“Aku ga akan kabur, kakak mungkin bercanda aja.” Abidzar mengusap sisi wajah Celine yang ditekuk bete.
“Kalau kabur, aku juga kabur bawa anak-anak!” ancamnya.
“Iya, ga papa. Toh aku ga akan kabur,” Abidzar tersenyum.
Celine mengusap leher Abidzar. “Janji ya, Abi?” mohonnya menggemaskan.
Abidzar sampai terpaku sesaat. Lucunya Celine dengan dua mata berbinar bulatnya. Apa karena ada bayi makanya Celine jadi terlihat seperti bayi juga?
“Janji, sayang. Aku janji, my queen.” Ngocoks.com
Celine tersenyum senang. “Cium yang lama, Abi.” pintanya sambil manyun lucu.
Abidzar tertawa pelan lalu mendekat, mengecup singkat dulu baru melumatnya penuh perasaan.
Abidzar hisap bibir bawah dan atasnya bergantian, semua tidak dia lewatkan. Dia hisap manisnya, dia balas belitan lidahnya.
Celine terbuai, mulai mengusap celana Abidzar sampai kembung dan Abidzar juga mulai meremas dengan sebelah tangannya yang tidak sakit.
“Udah dulu, aku belum mandi.” bisik Abidzar di depan bibir Celine. “Mau mandiin?” bisiknya.
Celine mengerjap polos lalu mengangguk. Mana bisa menolak, Celine akan selalu suka jika itu soal sentuhan.
“Mau ikut mandi?” tawarnya.
“Mau, masukin ya?”
“Apanya?”
“Ga cuma aku kulum, tapi masukin. Aku mau,”
Astaga, istrinya itu memang.. Haa mantap
Bersambung…