Abidzar menarik pelan Celine, mengubahnya menjadi memunggunginya. Dia terpejam sejenak, dia berduaan di toilet dengan sang istri dadakannya.
Dengan keadaan istrinya itu hanya menggunakan celana dalam bertali tipis yang hanya berbentuk segitiga di depannya. Menutup bagian pentingnya.
Memang istrinya itu besar di negara asing dan kebarat-baratan.
“Sambil pegang punya lo,” Celine berbalik namun Abidzar segera membaliknya lagi.
“Ga bisa. Ibu juga mau mandi, jangan bikin dia nunggu.” Abidzar meraih lulur itu. Membuka segelnya karena masih baru.
Celine dengan nakal berbalik lagi dan menarik handuk Abidzar lalu tersenyum menyebalkan. Bagai bocah nakal.
Abidzar melotot saat dengan cepat Celine berjongkok, menggenggam dan melahapnya hingga setengahnya terbenam.
“Oh!” Abidzar menggigit bibirnya merasakan hangatnya dan juga pijatan jemarinya. Kali ini lebih lama, membuat Abidzar tidak bisa fokus membuka lulur lagi.
Istrinya itu sungguh nakal sekali.
Awalnya Celine ingin membuatnya tersiksa lagi, tapi entah kenapa dia jadi ingin terus melakukannya saat melihat wajah yang tersiksa itu terlihat tampan.
Bulu alisnya tebal, bulu matanya lentik, bibir tebalnya merah, rahangnya tegas. Abidzar terlihat seperti orang-orang arab?
Celine berdiri, mendorong Abidzar hingga bersandar di dinding lalu melahap bibirnya. Abidzar menahan bahu Celine, dia menarik wajahnya hingga ciuman terlepas.
Keduanya terengah.
Celine menelan ludah, dia hilang kendali. Dengan segera dia memunggungi Abidzar lagi dan mulai melanjutkan membuka lulur itu.
Abidzar mengatur nafasnya, membiarkan bawahnya tetap seperti itu.
Tok.. Tok..
“Abi, udah selesai?”
Abidzar refleks membekap mulut Celine, membuat tubuh depannya menempel dengan kulit punggung Celine yang halus.
“Belum, bu.”
“Kalau begitu, ibu mandi di tempat bu Dewi ya, sekalian masak buat acara gotong royong nanti siang,”
“O-oh, iya bu.”
***
Abidzar begitu tersiksa, tidak tahu akan berakhir dengan memandikan Celine yang anteng saja tubuhnya di guyur air.
Jemari besar Abidzar mengusap lembut kulit yang sudah dia oleskan lulur dan didiamkan beberapa saat itu, bersamaan dengan air yang dia guyurkan untuk membersihkannya.
Gila, begitu lembut, licin. Nafas Abidzar memberat dengan rahang mengetat menahannya.
“Kamu ga malu?”
Celine menoleh, meliriknya malas. “Di pantai udah sering berjemur, banyak orang, cuma lo di sini kenapa malu,” santainya.
Sungguh budaya yang berbeda.
“Ke depannya jangan, negara ini beda, yang ada nanti di laporin ke polisi,”
“Udah pernah.” singkat Celine dengan merem melek nyaman saat usapan dan air menyentuh kulitnya yang beberapa minggu tidak terkena lulur. “Lepas pakaian di— kenapa juga harus kasih tahu,” lanjutnya ketus.
Abidzar kurang fokus. “Depannya kamu sendiri,” ujarnya lembut walau suaranya terdengar agak memberat serak menahan godaan.
“Ga, sekalian.” Celine menghadap Abidzar dengan menantang, tatapannya berubah nakal.
Abidzar memalingkan tatapannya, dia baru saja melihat pusat seorang perempuan. Untung istrinya.
“Cepet! Gue dingin!” amuknya dengan begitu tidak sopan dan tidak sabaran.
Abidzar menghela nafas sabar. Dia kembali menatap Celine yang sungguh tidak ada malu walau telinga dan pipinya memerah samar.
Apa sebenarnya malu juga? Tapi ditahan?
Abidzar mengusap perut rata yang terkesan kurus itu hingga bersih, ke lengan kiri dan kanan, tak lupa ketiaknya dan dengan berdebar panas dingin.
Abidzar berhasil mengusap kedua bukit itu hingga bersih dan bagian terberat pun harus dia lalui. Jemarinya menyentuh setiap lekuk tubuhnya tak terlewatkan.
Abidzar menatap Celine yang terlihat terengah pelan, nafasnya memberat. Sama seperti Abidzar kini.
“Selesai.” suara Abidzar semakin serak, dia sontak berdehem pelan.
Celine meraih tengkuk Abidzar, melumat bibirnya rakus.
Abidzar memilih terpejam dan membalas, memeluk Celine agar tidak berjinjit lalu jatuh karena licin.
Celine meraih dan menekannya masuk membuat Abidzar melotot dan menjauhkan wajahnya dengan terengah.
“Serius?” tanyanya disela nafasnya yang terengah.
Celine mengangguk, melompat sedikit, membelitkan kedua kakinya ke pinggang Abidzar.
Abidzar segera menangkapnya, mendudukannya di pinggiran bak air yang hampir terisi penuh. Abidzar memeluk Celine erat, bergerak tanpa tergesa. Tubuh basah keduanya merapat.
Tidak menyangka, lulur membuat mereka melebur menjadi satu.
***
Abidzar menguap, entah ke berapa kali. Walau begitu, dia tetap mencabuti rumput yang berada di pinggiran jalan yang sering dilewati penduduk.
Semua warga hari ini berada di luar rumah, melakukan gotong royong dengan begitu penuh kekeluargaan.
“Pengantin baru nguap terus,”
Abidzar menoleh pada pak Lukman yang sama tengah mencabuti rumput liar.
“Eh, pak.”
“Istrinya kemana? Ga diajak ikut? Tumben hari ini ga keluar, mengacau di kebun. Untung dia istrimu, nak. Kami mulai maklum, dan makasih uang jajannya, padahal tanpa uang kami akan berusaha tidak kesal,” lalu terkekeh.
“Kita saling membantu, dia perlu arah, pak. Perlu banyak belajar—”
Keduanya terus berbincang. Hingga semua selesai, jalanan kembali bersih tanpa khawatir ada ular lagi.
“Abi, ajak Celine makan kemari,” Mimah mendekati anaknya sambil memberikannya segelas air.
Abidzar meminumnya. “Kaki Celine keseleo, bu.” balasnya.
“Apa? Kenapa?” Ngocoks.com
Telinga Abidzar memerah. Tidak mungkinkan dia menceritakan tentang yang terjadi di toilet tadi pagi.
***
Celine menjambak rambutnya. Dia frustasi dengan dirinya sendiri. Kenapa malah melakukannya, niat awal ingin menyiksanya.
Celine tidak menyangka akan melakukan itu, entah berapa kali dia sampai hingga lutut lemas dan terpeleset.
Celine menatap kakinya yang membiru, sudah dipijat oleh Abidzar dan tidak terlalu sesakit awal. Tapi tetap saja pincang.
“Jadi ga bisa bikin kerusuhan, padahal lagi banyak orang di luar!” kesalnya.
Celine menyesal melakukannya, ini tidak sesuai dengan rencana. Ke depannya apa yang harus dia lakukan?
Mana Abidzar enak.
“Heh! Apa yang lo pikirin!” amuknya pada diri sendiri dengan suara pelan lalu memukuli kepalanya gemas.
Padahal sudah berjam-jam yang lalu, tapi Celine tetap saja gelisah. Sungguh menjengkelkan!
Celine misuh-misuh lalu terdiam. Apa dia harus mengubah rencana? Menjadi berubah lebih baik, pura-pura sajakan bisa.
Iya! Bener!
Celine tersenyum senang lalu tersentak pelan.
“Lagi apa?” ujar Abidzar setelah mengetuk pintu. “Aku masuk,” lanjutnya.
Bersambung…