Hari ini Abidzar dan Celine bersiap akan pergi ke desa untuk membicarakan soal Mimah yang kapan akan ikut ke kota.
Celine butuh sosok ibu dan Mimah sudah bagai ibu kandungnya sendiri. Dia ingin meminta pengalamannya yang sudah pernah melahirkan Abidzar.
Celine memang berencana untuk tidak menggunakan pengasuh. Dia tidak bekerja, dia ingin mengurus anaknya langsung.
Dan bayinya itu kembar, dia butuh seseorang untuk membantunya dalam membesarkan mereka.
Abidzar dan Mimah sungguh Celine butuhkan. Untuk Glen sakit, dan Gustav sibuk dengan kerajaan bisnis ayahnya.
“Hati-hati, pelan aja laju mobilnya.” nasehat Glen pada sopir.
“Baik, tuan.”
Glen menatap Celine dan tersenyum. “Hati-hati ya, banyak makan,” Celine pun mendekati ayahnya yang di kursi roda.
Celine tersenyum. Berdamai entah pura-pura atau tulus memaafkan sungguh indah. Jiwanya menjadi tenang tanpa emosi dan dendam walau luka saat itu tidak bisa dilupakan.
“Iya, ayah. Ayah juga ga boleh bandel minum obatnya. Kalau ayah mau aku maafin,” tegasnya lalu memeluk Glen.
Glen usap punggung Celine lalu mengusap perutnya sekilas. “Kalian sehat-sehat ya, ayah ga sabar liat cucu-cucu ayah.” ujarnya.
Abidzar tersenyum hangat melihat Celine yang begitu banyak kemajuan, mulai akrab lagi dengan ayah dan kakaknya.
“Ayah mohon, ayah mau beliin kalian rumah, kalian mau tinggal di mana?”
Celine menoleh pada Abidzar lalu kembali pada Glen. “Asyik, hadiah rumah. Nanti pikirin dulu, ayah.” jawabnya.
***
“Aku mau tempatnya itu di tengah-tengah, ga jauh ke ayah, ga jauh ke ibu juga.” Celine menatap rumah-rumah yang berjajar selama perjalanan.
Siapa tahu ada tanah atau rumah dijual dan akan dia beritahukan pada Glen.
“Kita sambil cari,” Abidzar nemplok di punggung Celine, memeluk perutnya sambil ikut melihat apa yang dilewati oleh mobil dengan laju normal itu.
“Kamu di sebelah sana! Aku di sini,”
“Engga mau,”
Celine sontak menoleh menatap Abidzar dengan kuluman senyum. “Modus!” bisiknya di depan wajah Abidzar.
“Biarin.” balasnya membisik juga lalu tersenyum dan kembali melihat ke depan.
Keduanya terlihat serius, kadang berhenti melihat rumah yang dijual itu. Tanah juga, semua nomor teleponnya Celine potret.
“Ga papakan terima hadiah ayah?”
Abidzar tersenyum. “Nyenengin ayah ga papa, kamu juga seneng aku ikut seneng,” jawabnya.
“Kamu maunya di mana?” Celine menatap jemari Abidzar yang kembali mengusap dan memeluk perutnya.
“Aku maunya di daerah yang ga terlalu kota tapi bisa akses internet. Yang ga jauh dari rumah sakit,” jawabnya sambil mengendus wangi di bahu Celine.
“Setuju, aku terserah kamu deh,” Celine yakin, pilihan Abidzar akan menjadi pilihan yang terbaik.
“Hm, nanti aku cariin ya,” Abidzar membelitkan lengannya, terus menghirup wanginya yang menenangkan.
“Aku mau taman luas, tapi rumahnya sederhana, ga mau kayak istana..”
“Kenapa?”
“Bersihinnya luas, aku cuma mau punya satu mba aja,” pintanya.
Keduanya asyik membicarakan soal masa depan sambil terselip candaan mesra dari keduanya.
Berpelukan atau mengecup, membuat sopir tersenyum melihat kehangatan itu.
***
“Ibu..” Celine langsung memeluk Mimah.
Mimah mengusap punggung dan mengurainya. “Gimana kabar kamu, sehat? Cucu ibu gimana?” dia usap perut Celine.
“Sehat, ibu. Ibu gimana? Maaf aku sama Abi tinggal lama sendirian,”
“Ga papa, ibu udah besar dan tetangga juga banyak kok yang sesekali temenin ibu, bantu ibu juga..”
Abidzar menyimpan semua barang dan oleh-oleh lalu memeluk Mimah.
“Ibu sehat?”
“Sehat, nak. Tapi ini Kenapa?” Mimah menatap perban di tangan dan kaki Abidzar cemas.
“Itu, Abi kecelakaan ibu,”
“Kecelakaan? Kamu ga papa?”
“Luka gores aja kok, bu. Aman, ga papa udah mengering juga..” jelasnya.
“Kenapa bisa?”
“Dia mau beli kado buat aku, ibu. Itu juga karena ga izin sama istri,” sebalnya membuat Abidzar tersenyum.
Celine lucu dengan bibirnya yang mencebik sebal.
“Aduh, kenapa ga hati-hati, untung—”
“Nak Abi udah pulang?” sapa tetangga yang baru selesai bersawah. “Nak Celine sudah keliatan ya perutnya,” lanjutnya.
Celine tersenyum, mereka menjawab semua pertanyaan dan sapaan para ibu-ibu dan kakek-kakek yang melintas.
“Kita ke dalam ngobrolnya,” ajak Mimah setelah cukup lama.
***
“Soal itu, ibu bisa kapan pun dan sebenarnya ibu juga mau ngobrol,” Mimah terlihat ragu, menatap Abidzar tak enak hati.
“Ada apa, bu?” tanya Abidzar tertular cemas. Kenapa dengan reaksi Mimah yang terlihat cemas itu.
Apa ada sesuatu yang tidak beres?
“Kamu tahu, pak Sunandar?”
Abidzar mengangguk. “Pemilik ternak sapi sama ikan yang di ujung desakan bu, ada apa?” dia semakin cemas.
Celine menatap keduanya silih berganti. Jika menyakiti Mimah, Celine yang akan maju!
“Beberapa hari lalu, ada bu Dewi saksinya.. Beliau lamar ibu,”
Tiba-tiba hening.
“Lamar?” Celine memecah keheningan. “Dia dudakan, bu?” tanyanya.
“Iya, duda. Cukup lama sendiri sama seperti ibu,”
Abidzar hanya diam, tengah berpikir.
“Ibu bilang, mau diskusi dulu sama anak-anak,” Mimah menatap Abidzar yang diam, hanyut dalam pikirannya.
“Ibu kalau dapet restu, Abi. Mau?” tanya Celine.
Abidzar yang berpikir sambil mengusap perut Celine itu memilih menarik jemarinya, berhenti mengusap dan menatap Mimah.
Ingin tahu jawabannya.
“Beliau baik, jika ibu tua bersama beliau sepertinya ga buruk, tapi ibu akan tetap ikuti mau kalian, sebagai anak ibu,” Mimah tersenyum.
Celine menghangat, padahal belum bertahun-tahun bersama tapi dia sudah dianggap anak. Ngocoks.com
“Ibu butuh teman hidup, aku akan selalu setuju dengan keputusan ibu, dan aku juga tahu, bu. Pak Sunandar baik,” Abidzar tersenyum menenangkan, tidak ingin membuat ibunya cemas.
Abidzar tidak akan egois. Dia pun sudah berumah tangga dan akan sering meninggalkan Mimah.
“Nikah aja, bu. Aku mau ibu ada yang nemenin kalau aku sama Abi ga bisa nemenin ibu,” Celine mengusap jemari Mimah yang dia raih dan genggam.
Meyakinkannya kalau Mimah boleh jika memang ingin menikah lagi.
***
Celine menatap Abidzar yang terlentang dan diam melamun. Di satu sisi Abidzar senang tapi juga Cemas. Apa ibunya akan bahagia?
Apa dengan menikah lagi ibunya tidak akan kesepian?
Abidzar menghela nafas, semoga saja ke depannya ibunya bahagia dengan pilihannya.
Abidzar menatap pergerakan selimutnya, bibirnya terangkat saat tahu kepala Celine berada di dalam selimut.
Istrinya itu pasti ingin menyapa kesukaannya, memainkannya dengan niat menghiburnya. Abidzar tidak menolak.
Dia mengintip ke dalam selimut. “Ngapain, sayang?” bisiknya.
“Lagi bangunin Dede,” jawabnya asal.
Abidzar tertawa pelan. “Sini, aku mau cium.” bisiknya lagi.
Celine sontak merangkak naik, lalu duduk dan mengusap perutnya yang mulai berat.
Abidzar ikut duduk, segera meraih tengkuk Celine. Mengabaikan celananya yang sudah melorot tidak di tempatnya.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Celine.
“Kangen bercinta tanpa suara di sini,” bisik Celine.
Bersambung…