“Jasmin, aku udah punya istri,”
Celine menghentikan langkahnya yang hendak keluar rumah menyusul Abidzar yang katanya akan menyiram tanaman strawberry.
“Aku ga bisa cari calon yang sebaik kamu, mas Abi. Harusnya saat itu aku setuju aja waktu mau dijodohin, aku malah mentingin karier.” sesal Jasmin dengan berderai air mata.
“Ga usah dibahas lagi, dari kecil aku udah dijodohin sama Celine, kita lebih baik sahabatan, Jasmin. Dari dulukan nyaman begitu, aku harap ga ada pembahasan ini lagi, Celine lagi hamil dan dia itu cemburuan, aku ga mau buat dia banyak pikiran,”
“Aku bisa jadi yang kedua,” Jasmin terlihat putus asa. Dia sudah bertemu dengan banyak pria namun tidak ada yang sebaik Abidzar.
Celine sontak menekuk wajahnya kesal. Minta di pites memang bunga Jasmin satu itu. Batin Celine terus misuh-misuh.
“Sayangnya aku ga bisa dan ga mau, Jasmin. Celine cukup bagi aku, aku ga mau jadi salah satu luka di hidupnya. Aku belum bahagiain Celine, jadi aku ga akan mau sakitin dia,”
Celine mesem-mesem baper terharu, membuat kedua matanya berkaca-kaca.
“Jangan sampai hubungan persahabatan kita buruk, Jasmin. Aku akan menganggap hari ini kamu ga bilang apapun,”
Celine pun segera bersembunyi, dia akan memilih pura-pura tidak tahu saja.
***
“Mau ke kota,” rengek Celine di pelukan Abidzar. Keduanya tengah rebahan hendak tidur.
“Kenapa jadi kayak Celine yang dulu rengekannya, hm?” Abdizar menghirup wangi rambut Celine sambil mengusap perutnya.
“Ibu nikahnya ga bisa dipercepat ya, Abi?” keluhnya mengabaikan pertanyaan Abidzar.
“Ada apa?”
“Ak—Akh!” pekik Celine teramat kaget sambil menyentuh perutnya.
“Kenapa?” panik Abidzar.
Celine terengah kaget. “Nendang? Gerak? Bayinya gerak, Abi,” lirihnya syok.
“Nendang?” Abidzar mengusap perut Celine dengan senyuman senang, membuka piyama tidurnya.
“Iya, gerak. Apa mungkin ini minggu ke 25, ya? Kok cepet banget waktunya,” Celine terisak haru.
Waktu itu denyut jantung mereka, sekarang pergerakannya yang ketara sekali. Anak-anaknya mulai tumbuh bergerak.
Abidzar segera memeluk Celine. “Seneng ya, ssstt.. Nanti anak kita ikutan nangis,” bisiknya.
“Ga sabar rasanya pengen liat mereka,” isaknya lalu tiba-tiba berhenti. “Abi, mau pisang goreng satu aja, ada ga ya?” dia mendongak.
Abidzar menyeka air matanya. “Bu Hanum udah tutup jam segini, mau bikin aja? Ibu di kasih pisang sama bu Rahmi,” tawarnya.
“Maunya, bu Hanum.”
“Kalau gitu aku usahain dulu, kamu tungguin ya,” Abidzar mengecup dua kali perut Celine, memandangnya sejenak namun belum ada pergerakan lagi.
“Di luar dingin, Abi. Jaketnya pakai,” Celine duduk menatap Abidzar yang patuh segera menuju lemari kayu sederhana miliknya untuk mengambil dan segera memakai jaketnya.
***
“Belum tidur, bu?” tanya Abidzar setelah menutup pintu kamar.
Mimah yang berpapasan baru keluar toilet sontak menoleh. “Kebangun, mau kemana, nak?” tanya Mimah.
“Celine ngidam lagi, bu. Mau pisang goreng bu Hanum,” jawabnya.
“Bu Hanum baik, ketuk aja ke rumahnya. Pasti maklum karena Celine sedang hamil,”
Abidzar pun pamit, memakai sepedanya dan segera mengetuk pintu rumah bu Hanum setelah sampai.
“Eh, nak Abi.”
“Bu, baru tutup ya..” Abidzar tersenyum ramah.
“Iya, baru aja. Ada apa? Perlu sesuatu? Nak Celine ngidam lagi?” tanyanya.
“Iya, bu. Maaf mengganggu waktu istirahatnya,” ujar Abidzar tidak enak hati.
“Engga sama sekali, nak Abi. Ayo masuk, tunggu di dalem. Ngidamnya apa?” tanya Hanum.
“Mau pisang goreng bu Hanum, katanya satu maunya, harus satu, bu Hanum, bisa ga ya? Apa bahannya masih ada?”
“Ada, tenang saja. Bu Hanum buatkan sekarang,” Hanum beranjak. “Emang ya, ngidam itu aneh. Dulu anaknya bu Warni ngidamnya mau coklat dibalut tepung buat gorengan,”
Abidzar mendengarkan celotehannya, sesekali menyaut. Untungnya bu Hanum tidak keberatan membuat satu goreng pisang.
***
“Enak,” Celine mengemuti seluruh jemari tangan kirinya satu persatu. Satu gorengan habis dengan rasa puas.
“Abi,”
“Ya?” sahutnya lembut lalu menutup lemari.
“Udah, mau gendong dong, sikat gigi, cuci muka belum,” Celine merentangkan dua lengannya dengan senyum yang cantik.
Abidzar usap rambut pirangnya yang memanjang, membuat rambut aslinya yang berwarna hitam mulai semakin terlihat jelas.
Abidzar segera menggendongnya. “Euaghh.. Istri aku makin berisi, jadi seneng.” lalu tersenyum.
“Kamu suka kalau aku ga slim lagi? Ga akan bisa begituan sambil digendong loh,” ceplos Celine.
Abidzar menurunkan Celine dulu agar bisa membuka pintu kamarnya. Dia tertawa pelan mendengar celetukannya.
“Masih banyak kok gaya yang bisa kita lakuin,” Abidzar tersenyum geli dengan ucapan mesumnya.
Dia jadi tahu banyak gaya memang. Abidzar sudah tidak bisa untuk tidak berpikir ke sana. Selalu saja ada waktu membahas soal itu bersama Celine bahkan mempraktekannya.
“Asyik, mauuu..” bisik Celine sambil mengendus leher Abidzar, mengeratkan belitannya di leher Abidzar.
“Kata kamu mau tidur,”
“Tidur enak juga boleh, jenguk debay dong, Abi.”
“Yaudah, sikat gigi dulu,” Abidzar menurunkannya dengan perlahan. “Udah bulet, cantik.” pujinya pada perut Celine.
***
Abidzar menyimpan semua pakaian Celine di tempat bersih, baru mengukungnya lagi. Abidzar kecupi perut buncit itu berkali-kali sambil meminta izin.
Abidzar tersenyum melihat kenakalan Celine yang melebarkan kedua kakinya tanpa diminta, tanpa malu.
Keduanya mulai saling membelai, saling menatap barulah berciuman mesra. Mengasah suasana hingga menghangat. Ngocoks.com
Abidzar terus berusaha untuk Membuat Celine basah. Dia tusukan jemarinya, memutar dan menarik lalu mendorongnya.
Celine mengusap rambut Abidzar, menatap wajah yang terbenam dengan mulut menghisap puncaknya bergantian.
“Em, ini basah apa?” Abidzar menjilat puncak mengeras bekas hisapannya itu. “Tuh, ada ASInya ya?” Abidzar jilat lagi.
“Eh iya, kok jadi basah.” Celine mengusapnya.
Abidzar menghisap keduanya lagi lalu menelan ludah. “ASI, sayang. Aku coba sedot sedikit,” Abidzar mencecapnya.
“Tuh, masih keluar.” komentar Celine.
Keduanya jadi asyik pada kemunculan ASI.
Bersambung…