“Abi, basah..” keluh Celine sambil menatap jejak rembes tepat di kedua bobanya.
Abidzar menoleh, urung memakai pakaian. Dengan hanya di handuk saja dia mendekati Celine.
“Iya, rembes ya?” Abidzar mengusap jejak basah itu. Dia kecup pipi Celine ringan. “Aku tanyain ibu dulu ya,” ujarnya lembut.
Celine menggeleng. “Aku keluar, tanya ibu langsung. Kamu lanjut aja,” ujarnya sambil bergerak turun dari kasur.
Abidzar tersenyum dan mengangguk. Dia menatap kepergian Celine barulah mulai melepas handuk dan memakai pakaian.
Celine di luar kamar mulai mendekati Mimah yang sedang membersihkan dapur.
“Ibu, ASI tiba-tiba keluar dari sekarang, liat rembes.” adunya.
“Rembes? Ibu masih ada bantalan ASI, bahannya kain. Ikut ibu,” ajaknya ke kamar Mimah yang sama bersih.
Celine melihat Mimah yang mengeluarkan tas yang sepertinya pakaian-pakaian tidak terpakai namun masih di jaga Mimah.
Mimah selalu mencucinya sebulan sekali, sebagai bentuk menghargai barang-barang yang penuh dengan kenangan.
“Ini, kamu pakai ini.. Ada 6 pasang, langsung cuci biar ga kehabisan stok, hebat ASInya udah keluar, cucu-cucu ibu pasti sehat-sehat nanti,”
***
“Aku mau nangis,” Celine bersembunyi pada Abidzar. Mereka semua tengah berkumpul setelah Mimah resmi menikah.
Abidzar tersenyum samar, mengusap kepala Celine dengan sayang. Sebenarnya Abidzar juga menahannya.
Dia tidak menyangka ibunya akan bersanding dengan selain mendiang ayahnya. Walau begitu dia bahagia melihat Mimah tidak akan sendirian lagi.
Setelah hari bahagia sekaligus sedih itu berlalu. Celine dan Abidzar lebih dulu pulang ke kota, Mimah akan menyusul saat usia kandungan Celine sudah mendekati lahiran dan membantu mengurusnya selama di kota sampai Celine bisa mengurus kedua buah hatinya.
“Ga nyangka, kita di sini jadi sebulan lebih.” Celine berusaha menalikan tali sepatu namun kesulitan. Membuatnya misuh-misuh lucu.
Abidzar tersenyum, mendekati Celine lalu mencubit manja bibir bebeknya.
“Ih! Kaget, Abi!” rengeknya.
“Aku iketin ya, sayang.” Abidzar segera bersimpuh, memastikan kedua tali sepatu Celine terikat dengan baik.
“Makasih, Abi.” Celine memanyunkan bibirnya.
Abidzar melirik sekitar terlebih dahulu lalu balas mengecupnya. “Aku jadi nakal.” bisiknya di depan wajah Celine lalu berdiri.
“Ga papa, sama istri ini.” Celine segera merapat, membelit sebelah lengan Abidzar.
Sepertinya sekarang bukan istri nakal lagi, tapi istri bucinnya Abidzar. Celine mengulum senyum kasmaran memikirkan itu.
“Kita izin ke ibu lagi,” ajak Abidzar sambil menyimpan koper ke pinggir.
“Ibu, aku sama Celine udah siap mau pergi.”
Mimah menyimpan teh hangat untuk suaminya.
“Pergi sekarang, nak?” tanya ayah tiri Abidzar dengan ramah.
Abidzar mencoba menerimanya walau sedih karena dulu yang duduk di sana mendiang ayahnya.
“Iya, pak. Biar ga terlalu malam sampai di kota. Nanti susul ya, ikut ibu ke sana kalau bapak ga sibuk,” Abidzar menerima pelukan sekilas dari ayah tirinya.
Berpindah pada ibunya yang memeluknya erat, seolah berterima kasih karena mau membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupannya. Mengizinkan apa yang menjadi keputusannya.
“Ibu sehat-sehat, nanti tanggal yang udah di tentuin jemputan ke sini,”
“Iya, kalian juga sehat-sehat.” Mimah berpindah memeluk Celine. “Jaga cucu ibu ya, nak. Sehat-sehat di sana, jangan banyak pikiran,”
“Iya, ibu.”
Mereka pun benar-benar pergi menumpang pada mobil sayuran yang pemiliknya Abidzar kenal.
“Abi, boleh buka jaket, gerah.”
“Jangan, lebih baik keringetan.” Abidzar menyeka peluh di pelipis dan leher Celine.
“Yaudah.”
Abidzar mengulum senyum. Celine begitu patuh, menggemaskan dengan perut bulatnya mengintip di balik jaket.
“Abi, jujur sama aku, kamu kenapa murung? Ga seneng ibu nikah ya?”
Abidzar menggenggam jemari Celine. “Bukan gitu, cantik.” Abidzar seka lagi keringat Celine.
“Terus?”
“Sedih keinget ayah aja, bahagia kok ibu memilih nikah, dia ga akan kesepian di rumah,”
“Eum.. Sini peluk, kamu tahan nangiskan, nanti di kamar aku lepasin rindunya ya, jangan sedih suaminya Celine,” lirih Celine.
Abidzar tersenyum tipis, menghela nafas panjang guna menahan kedua matanya yang merebak basah.
“Iya, nanti kita bahas di rumah ya.. Aku keluarin semuanya,”
“Sama keluar di dalem tapi jangan, diluar aja.”
Abidzar tertawa pelan, cukup terhibur dengan peralihan Celine.
“Ke sana ya arahnya,”
“Iya, pasti. Akukan harus hibur kamu, biar seneng. Katanya kamu suka liat aku perutnya buncit,”
“Suka banget,”
“Oke, maksimal 5 aja.”
“Apanya? Ronde?”
“Bukan, tapi anak.”
Abidzar kembali tertawa pelan. Celine dengan celetukannya yang ringan.
“Anak kita ini kelaminnya apa ya? Mau tanya ke dokter nanti ah jenis kelaminnya,” riang Celine dengan masih bersandar di bahu Abidzar dan tangannya di usap-usap Abidzar.
“Apapun yang penting sehat,”
“Dan kayak kamu,”
“Kayak kamu juga,”
“Jangan! Ih nanti nakal, Abi!” rengeknya.
“Nakal karena keadaan, kamu baik kok. Kita—”
“Ga mau! Kayak kamu aja!” kesalnya lucu.
“Iya, kayak aku.” Abidzar mengalah dengan lembut. “Mau minum? Ngemil?” tawarnya sebagai peralihan.
“Mau dong,” Celine menelan ludah lucu, dia jadi doyan makan. Apa karena membawa dua bayi sekaligus ya?
***
Keduanya sudah sampai di rumah Glen. Gustav masih di kantor, lembur katanya. Celine dan Abidzar pun memilih membiarkan Glen istirahat setelah di periksa dokter.
Keduanya kini tengah rebahan, selesai mandi, mencuci muka, gosok gigi dan berganti pakaian.
“Jadi, kamu kangen ayah?”
“Pasti, selalu, sayang..” Abidzar tersenyum getir, dia tidak menutupinya lagi. Jujur saja, setelah kehilangan sosok ayah, Abidzar agak hilang arah dan memilih pergi ke negara lain dengan nekad.
Berada di desa terus membuatnya selalu tidak bisa makan saking rindu sosok ayah yang mengajarkan banyak hal tentang hidup dengan penuh kebaikan.
Celine segera memeluk kepala Abidzar, membirakan bersandar di dadanya. Terus dia usap sayang.
“Liat ibu sama yang lain jelas sedih, ayah ga bisa temenin ibu sampai tua,”
Celine menekuk bibirnya ke bawah. “Aku jadi takut, aku ga bisa loh kehilangan kamu,” isaknya.
Abidzar sontak mengurai pelukan, dia menatap Celine yang menatap bekas luka kecelakaaan di tangannya.
“Aku jadi takut, Abi.”
Abidzar segera memeluk dan menenangkannya. Abidzar menjelaskan dengan lembut, hidup memang tidak ada yang tahu. Makanya kita harus menghargai hal-hal kecil dalam hidup.
Sesibuk apapun, selelah apapun, jangan jadikan alasan untuk mengabaikan keluarga. Segala sesuatu yang hilang baru akan terasa, makanya selagi ada jangan disia-siakan keberadaannya.
Celine mengangguk.
Abidzar mengurai pelukan, mengusap jejak air mata di wajah Celine.
“Jadi aku sedih ada, tapi seneng kok. Seneng liat ibu ada temen cerita, ga sendirian kalau aku tinggal, itu juga pilihan ibu, aku ikut bahagia kalau ibu bahagia,”
“Kamu baik, aku kayak di kasih kejutan hadiah yang luar biasa, Abi. Aku kayak hidup lagi semenjak putusin buat berubah, kamu banyak bantu perubahan itu,” dengan berkaca-kaca Celine mengusap pipi basah Abidzar.
Ini malam pertama mereka curhat selama dan tentang banyak hal.
Benar-benar terbuka tidak hanya soal pakaian saja.
“Semua yang terjadi atas pilihan kamu, kamu yang ciptain damai di diri kamu, kamu yang berjuang keras, aku cuma tuntun kamu, selebihnya kamu yang jalan sendiri sampai di titik ini.” Ngocoks.com
Celine ndusel dan terisak haru. “Pokoknya bahagia punya kamu,” isaknya teredam di dada Abidzar.
“Aku lebih bahagia, sayang. Tapi, tunggu. Kamu rembes lagi?” Abidzar mengurai pelukan, melihat piyama yang dibelikan Celine kini basah tak hanya oleh air mata.
“Iya, kamu mau mimi?” tawar Celine dengan ceplosan polos. “Mimi dulu sini,” Celine menurunkan tali gaun tidurnya.
Celine yang tidak memakai apapun jelas membuat Abidzar segera bisa mengeksekusinya.
Celine menatap sedotan Abidzar dengan sayu dan nafas memberat.
“Ah..”
“Aku lagi mimi,” goda Abidzar. “kenapa kamu malah mendesah?” lanjutnya.
“Enak, lagi.” lalu tersenyum.
Abidzar menyeka air mata Celine dan begitu pun sebaliknya.
“Udah ya, jangan nangis,”
Celine mengangguk. “Ayo mimi lagi,” Celine tekan sebelah bobanya ke mulut Abdizar.
Abidzar tertawa pelan, dia mengabulkannya sambil mengusap perut Celine. Berharap merasakan pergerakan bayi di dalamnya.
Bersambung…