Sudah satu bulan mereka menumpang di rumah Glen. Bukan soal nyaman atau tidaknya, tapi Celine tidak sabar ingin segera mengisi rumah barunya yang tidak jauh dari Glen dan desa juga.
Dan hari ini tiba saatnya mereka pindah setelah Gustav dan Abidzar sibuk mempersiapkan semuanya hingga benar-benar siap di huni.
“Abi, kamu kelelahan ya?” Celine mengusap pipi Abidzar sekilas. Tubuh Abidzar juga hangat.
“Sedikit, sayang.” Abidzar kembali menatap bayi yang tenang di gendongannya. Baby Lizia dan Celine tengah menggendong baby Lanon.
“Kenapa? Abi demam, nak?” Mimah segera menyentuh kening Abidzar. “Kamu demam, sini Lizia sama ibu, takutnya sakit yang menular,” Mimah segera mengambil alih cucunya.
Abidzar tidak menolak, jelas dia tidak mau anaknya sakit.
“Aku lelah aja kayaknya, bu.”
“Kamu tidur dulu,” dengan perhatian, bahkan hanya bisa menggunakan sebelah tangan. Celine membenarkan bantal.
“Tapi,—”
“Tidur aja, aku bisa sendiri kalau mau liat-liat semua isi rumah,” potong Celine.
Abidzar tersenyum senang menerima perhatiannya.
“Minum obat, makan dulu nasi,” Mimah menahan Abidzar yang hendak menyentuh kasur yang akan menjadi kasurnya dan Celine.
Kasur milik Celine yang katanya pemberian dari mendiang ibunya itu.
“Iya ya, ayo.” Celine menggenggam jemari Abidzar dan menariknya menuju keluar dari kamar.
***
Hanya dua hari, dan hari ini Abidzar merasa sudah sangat membaik. Tubuhnya yang lelah karena begadang membantu Celine mengurus si kembar dan menyiapkan rumah, kini sudah tidak pegal lagi.
Celine terlihat fokus mempumping ASI, sedangkan Abidzar tengah sarapan sambil sesekali melihat Celine dan ibunya.
“Abi, sofa lainnya belum datang ya?”
Abidzar meneguk sedikit air putih di gelas lalu menjawab. “Katanya siang,” lalu mengangsurkan sepotong apel.
Celine menerimanya sambil kembali melihat ASI miliknya yang cukup deras.
“Ibu ke belakang dulu, liat mereka yang masih di berjemur sama mba,” pamit Mimah yang Celine dan Abidzar angguki.
“Abi,”
“Hm? Apa, sayang?” sahutnya lembut sambil pindah duduknya di samping Celine, membantunya untuk menutup tempat yang sudah terisi penuh ASI.. Ngocoks.com
“Kita hidup di sini, cukup kota, kamu ga keberatan serius? Jujur aja,”
Abidzar mengusap rambut panjang Celine. “Ga sama sekali, yang buat aku tenang juga ibu udah nikah lagi,” jawabnya.
Mau dimana pun, mau bagaimana pun. Dia harus bersama Celine, itu yang penting. Di desa maupun di kota, dia tetap bisa mendidik Celine dan menuntunnya lebih baik lagi.
“Aku ga akan hidup kayak Celine yang dulu lagi, Abi. Janji. Ga akan main ke tempat yang kurang baik, ga akan sembarangan minum, ga akan liar di jalan salah, paling liar sama kamu,” sejenak Abidzar menjeda ucapan Celine, dia mengecup pipinya gemas lalu tersenyum lembut. “Bukan karena aku mau di kota, suka hidup di kota..
Aku cuma butuh kamu, mau dimana pun, kalau pun kamu sukanya hidup di desa, ayo aja. Aku mau sama-sama sama kamu,” aku Celine dengan tatapan yang terlihat tulus terkesan lugu saking serius dan ingin di percaya.
Abidzar tertawa pelan begitu lembut, mengusap wajah Celine dengan tatapan dan senyuman lembut yang tidak pernah berubah.
Mau Celine memiliki anak 5 pun sepertinya Abidzar akan memperlakukannya bagai anak kecil yang sangat harus di jaga.
“Iya, aku percaya kamu udah semakin baik, istri aku ini baik, aku ga keberatan sama sekali, sama kayak kamu. Hidup di mana pun asal kita bareng-bareng ya,” lembutnya dengan usapan di rambut Celine yang menenangkan.
Celine mengangguk lalu melihat proses ASInya yang sungguh banyak sekali.
“Ga mau mimi, Abi?”
Dasar merusak suasana, padahal Abidzar masih ingin mengucapkan hal-hal romantis yang tulus dari lubuk hatinya. Malah di tabrak ucapan m*sum Celine yang menggemaskan.
“Sama kamu bawaannya aku, Hyper.” bisik Celine lalu mengedip genit.
“Bagus, sama suami soalnya.” Abidzar mengecup sekilas pelipisnya. “Boleh dong, satu dada aja.” bisiknya yang sesaat membuat Celine terkejut.
Namun pada akhirnya tertawa, sama-sama geli dengan tingkah mes*m masing-masing.
***
Abidzar mengusap kedua kepala bayinya, satu anteng tapi Lizia tidak berhenti menangis. Anehnya tidak ada air mata.
“Sebagai ibu zaman dulu, mungkin Lizia ada yang ngajak main,” Mimah segera menyiapkan bahan sesuai kepercayaan nenek moyangnya dulu. bawang putih dan beberapa hal lainnya.
Abidzar tidak tahu manfaat dan sebagainya, dia hanya menghargai usaha Mimah dan nenek moyang terdahulu.
Dan anehnya, Lizia lebih tenang. Apa mungkin memang ada makhluk halus?
Celine memepet Abidzar. “Kita emang hidup berdampingan sama dunia lain, takut Abi,” bisiknya.
“Kita banyakin do’a ya, Lizia juga udah ga papa sekarang.” Abidzar merebahkan Celine, menyelimutinya.
Malam ini Abidzar yang akan jaga malam, Mimah dan Celine lebih dulu istirahat, terus saja bergantian.
“Loh, bangun anak papa?” Abidzar tersenyum pada Lanon yang begitu lekat menatapnya. “Dedenya jagain ya, kakak ga nangis, pinter.. Kasihan sama mama ya?” Abidzar usap pipi merahnya.
Abidzar menatap kedua bayi yang satu terlelap dan satu membuka mata itu. Keduanya belum terlihat mirip siapa. Tapi, orang-orang bilang Lizia mirip dengannya dan Lanon mirip Celine.
“Haa..” Abidzar menghela nafas panjang lalu tersenyum. Dia masih tidak menyangka, tak hanya istri, kini ada anak di hidupnya.
Abidzar sungguh bahagia memiliki Celine di hidupnya. Jodoh yang sudah disiapkan dari dirinya kecil. Sungguh membawa kebahagiaan.
Celine mau berubah, membuat Abidzar yakin. Celine akan menjadi istri yang baik, patuh dengan perintah suami. Tanpa perlu berjuang lama, Celine mau berubah dengan sendirinya.
Abidzar menatap Lizia yang tersentak dan kembali menangis tiba-tiba. Anaknya itu kasihan, sebenarnya ada apa. Kenapa terlihat seperti terus di ganggu.
“Ada apa? Suara Celine nyaring gitu, Abi.” Celine jelas kembali bangun, menggendongnya yang perlahan mulai berhenti.
Abidzar menggendong Lanon yang ikut menangis.
***
Setelah di periksa oleh ahli di bidang mistis, entah itu ilmu hitam dan putih jawabannya sama.
Ada yang spesial dengan si kembar.
Abidzar dan Celine yang tidak paham hal begitu jelas memilih untuk meminta tolong. Bagaimana caranya agar sang anak tidak terus mendapat gangguan.
Dan katanya mata batin keduanya akan tertutup sementara, entah kapan akan kembali terbuka mengingat salah satunya ada anak yang sangat spesial di bidang ilmu putih.
Abidzar tidak tahu, ternyata garis keturunannya terdahulu ada yang mewariskan hal itu.
Dan Mimah pun mulai bercerita tentang kakek dari ayahnya memang memiliki ilmu putih, sering mengobati, membantu beberapa masalah tentang hal diluar medis.
Celine hanya menangis, kasihan dengan anaknya dan khawatir tentu saja. Walau kelak mungkin anaknya akan membantu orang.
***
Waktu berlalu cepat. Dua anak kembar beda jenis kelamin itu sudah bisa berjalan dan berceloteh walau yang bawel itu Lanon.
Lizia seperti Abidzar, diam dan menangis dengan lembut saat kakaknya usil. Sungguh anak perempuan yang manja.
Dan Celine sungguh menjadi ibu-ibu yang lucu, kadang naik darah jika Lanon berani melawannya. Saat ditegur tidak boleh mengacak mainan lagi, maka Lanon seolah paham dia malah mengacaknya.
“Dia aku banget, ga bisa aku, Abi! Kamu yang urus, aku malah jadi emosi, padahal masih bocil!” geramnya lucu.
Abidzar tertawa pelan. “Sabar, sayang. Cium dulu sini,” lalu mengecup bibirnya sekilas.
“Hibur aku nanti, oke. 3 ronde kalau ga ada yang rewel, aku lapar pengen makan kamu. Hah! Kesel banget, ga bisa di tegur, malah ngamuk,” dumelnya sambil menggendong Lizia yang adem ayem.
Abidzar hanya tersenyum, terbiasa dengan celotehan Celine yang aslinya dia tahu, Celine tidak mungkin marah sungguhan.
Dia tahu seberapa sayang Celine pada si kembar. Mungkin lebih sayang pada kedua anaknya.
Bersambung…