“Masih sakit?” tanya Abidzar setelah menutup pintu lalu berjongkok, meraih dan memeriksa kaki Celine.
“Lo pikir aja sendiri!” Celine menarik kakinya agar tidak disentuh Abidzar.
Celine agak penasaran, kenapa Abidzar tidak pernah menunjukan marahnya. Apa dia yang tidak perawan lagi juga tidak dipermasalahkannya?
Kenapa begitu tenang, begitu lembut seolah dia menjadi istri yang begitu penurut, baik dan tidak pernah melakukan kesalahan.
“Sini, olesin obat dulu.” Abidzar merogoh saku celananya dan mengeluarkan salep khusus agar tidak terjadi pembengkakan.
“Ga usah! Gue bisa sendiri!” Celine hendak merampasnya namun gagal, Abidzar lebih dulu menghindar.
“Biar rata, aku aja.” Abidzar tersenyum tipis.
Celine semakin merasa risih. “Ga usah pake obat! Gue ga butuh!” tolaknya.
“Nanti makin parah, udah sedikit mulai bengkak.” bujuknya tetap bernada lembut, tidak ada pancaran kemarahan sedikit pun.
“Gu-gue bilang ga usah! Lo pergi lagi aja!” amuknya. Dia tidak suka perhatian, itu aneh rasanya.
Abidzar pun mengalah, dia beranjak dan duduk di samping Celine yang langsung bergerak menjauh itu.
Abidzar tidak tersinggung. “Ibu suruh ajak kamu makan, tapi kamu pasti ga maukan?” ditatapnya Celine yang selalu tidak ramah itu.
Padahal sudah hampir sebulan dia perlakukan baik, tidak juga membuatnya luluh. Memang harus extra sabar.
“Itu tahu! Gue ga suka semua makanan di sini! Gue ji— ga suka.” suaranya memelan di akhir. Entah kenapa ingin bilang jijik rasanya salah.
Makanan yang disediakan memang aneh-aneh, tapi bersih kok. Celine hanya tidak suka dan merasa makanan itu akan langsung membuatnya gemuk.
“Aku coba bawa ke sini ya, kamu tetep harus makan.” Abidzar beranjak.
“Kenapa ga beli ke kota? Gue ga suka! Gue ga mau!” amuk Celine dengan begitu keras kepala.
“Jauh, harus 3 jam naik sepeda, bolak-balik. Itu juga kalau di kota ga macet. Berangkat ke sana sekarang, pulang bisa tengah malam. Bahaya,”
“Gue ga mau tahu!”
Abidzar tetap sabar, membuat Celine jadi semakin emosi. Kenapa tidak balik marah? Dia ingin bertengkar hingga mempermalukannya.
Bagus jika para tetangga keluar dan menyaksikan pertengkarannya.
Celine beranjak walau tertatih, dia memukuli Abidzar dengan terengah emosi. “Gue mau pulang! Gue mau balik ke California aja! Gue mau bebas! Ini bukan dunia gue!” raungnya.
Abidzar membiarkannya, tidak menangkis setiap pukulannya. Untung para tetangga ada di balai desa, tidak akan ada yang mendengar pertengkarannya.
Celine berhenti memukulinya, namun terus menangis. Dia terengah teramat sangat emosi.
“Aku ambil makan dulu, kamu pucet.” Abidzar dengan tenangnya memilih melanjutkan niat awalnya.
Di sana dia mengambil lauk pauk sepiring berdua. Celine tidak akan menghabiskannya, Abidzar yakin.
“Bu, ga papa kalau malam baru pulang?”
“Kenapa?”
“Celine ngamuk lagi, biar ibu ga kaget, jadi pulang nanti tunggu Abi jemput ya?”
“Hm, jangan dilawan pakai emosi. Terus aja ngalah, tenangin jangan balas sama keras,” nasehatnya.
“Iya, bu. Maaf ya, makasih juga. Abi akan usaha buat Celine berubah, lebih baik ke ibu,”
***
Prang!
Sendok itu jatuh dengan nasi dan daging ikan yang sudah Abidzar pisahkan dari durinya. Namun Celine menepis dengan kesalnya.
Padahal wajahnya sudah pucat karena seharian tidak makan apapun. Makanan dan cemilan yang diinginkan Celine yang Abidzar beli dari kota sudah habis oleh Celine sendirian.
“Gue bilang ga suka!” amuknya.
Abidzar menghela nafas sabar, membersihkan kekacauan itu dengan tenang. Dia kembali ke dapur dan membawa beberapa sendok untuk jaga-jaga.
Celine menatap kedatangan Abidzar dengan teramat kesal.
“Gue ga mau!” suaranya bergetar dengan kedua mata berlinang air mata. “Gue ga suka ikan,” cicitnya.
Abidzar baru tahu soal itu, dia pun menyingkirkannya. Memilih lauk lain dan mencoba mendekatkan sendok berisi nasi dan daging ayam sewir.
“Ga terlalu pedes, enak kok.”
Celine membuka sedikit mulutnya dengan gengsi, membuat hanya sedikit nasi dan sewir ayamnya yang masuk.
Abidzar tidak banyak bersuara, dia senang sudah dua sendok masuk. Bahkan kini yang ketiga walau sedikit sekali makannya.
Mulutnya itu tidak seperti saat melahap— oh tidak! Abidzar segera menyingkirkan pemikiran kotor itu.
Celine anteng mengunyah sambil menatap langit dari jendela kayu yang ada di kamar suaminya itu.
Hingga sendokan yang ke 7 berhasil masuk, beberapa sayuran Abidzar tambahkan disetiap sendoknya.
Ini pertama kalinya dalam hidup Celine makan nasi sampai 7 sendok. Biasanya hanya dua sendok atau tiga.
Entah apa yang salah. Dia yang memang lapar atau lauk pauk yang di masak Mimah dan ibu-ibu lainnya itu memang enak.
Abidzar tersenyum samar, dia melihat Celine yang anteng. Mengunyahnya begitu lama.
Celine menoleh menatap piring, saat sendok dengan penuh nasi itu kembali mendekat dia dekatkan ke bibir Abidzar.
“Gue kenyang!” ketusnya.
Abidzar tidak memaksa lagi, dia makan habis semuanya. Celine hanya melirik sesekali, dia masih ingin tapi perutnya kenyang. Mungkin karena terbiasa makan sedikit.
***
Celine mendengkur halus. Hari ini dia makan siang dan malam dengan nasi dan lauk pauk yang sama. Dengan di suapi Abidzar. Tanpa begitu, Celine tidak menyentuhnya.
Manja ternyata. Pikir Abidzar yang sama sekali tidak merasa keberatan.
Hingga tak lama Celine sudah hening. Biasanya akan banyak protesan, akan ada suara penuh emosinya.
Mimah sampai selalu sedih mendengar celetukannya.
Tapi malam ini tidak ada keluhan dan protesan. Celine tertidur karena kenyang sepertinya. Apa selama ini emosi karena lapar?
Abidzar tersenyum geli memikirkannya.
Dia kembali menata bantal agar Celine yang tidurnya aktif tidak jatuh menimpa lantai yang hanya di semen saja itu. Sama keras bagai lantai di keramik.
Abidzar membenarkan selimut Celine, membenarkan bantalnya yang terlalu tinggi. Bisa sakit leher jika terus begitu.
Abidzar pun mulai rebahan di bawah kasur. Tubuhnya terasa tidak enak, pegal-pegal. Mungkin karena gotong royong yang dia lakukannya seharian ini.
Mana Celine kemarin memberantakan rumah, kamar dan dapur dengan bungkus sisa makanannya.
Kasihan jika Mimah yang harus terus membersihkannya.
Abidzar mulai hanyut walau badan agak ngilu berdenyut. Di pijat pasti akan enakan, besok dia akan meminta tolong pada mbah Encep yang memang jagonya pijat di desa ini. Dia juga banyak belajar dari beliau makanya bisa memijat kaki Celine.
BUGH!
Abidzar membuka matanya cepat, agak kaget juga. Ternyata Celine yang menimpa tubuhnya. Dia tidak bergerak dan bangun. Asyik dalam mimpi.
Abidzar menggeliat lalu meringis. Dia hendak bangun namun susah, pegal sekali tubuhnya. Tapi tetap saja berusaha bangun, menahan tubuh Celine namun kesulitan.
Abidzar menyerah. Dia membiarkan tubuh Celine menimpanya, tidur di atasnya. Dia peluk, ingin mengubahnya ke samping tapi sulit. Pinggangnya terasa akan patah.
Dia benar-benar menyerah, mengusap punggung Celine yang semakin lelap.
Celine begitu tidak bisa diam dalam tidurnya, entah berapa kali Abidzar dibuat terjaga dan kembali terpejam.
Celine pun berhasil pindah dengan sendirinya, memeluk Abidzar lalu berubah lagi hingga saat pagi kepala Celine berada di perutnya.
Abidzar mengusap rambut pirang berantakan itu. Dia mendo’akannya dengan tulus, semoga segera menjadi istri yang baik, patuh, menghargai ibunya, menghargai semua orang.
Celine mengangkat kepalanya lalu menoleh dan mengerjap. Abidzar tersenyum tipis.
“Kamu jatuh, aku susah angkatnya, semua badan sakit gara-gara kemarin gotong royong.” jelasnya.
Celine yang diam sesaat dengan usil menarik celana Abidzar dan menggenggam, mengocoknya sambil mengecupinya.
“Shh.. Kamu—” Abidzar tiba-tiba merasakan mulut hangat itu lalu berhenti tiba-tiba juga.
Celine tidak peduli, dia menghantamkan kepalanya ke perut Abidzar cukup kuat dan kembali memejamkan matanya yang sangat ngantuk.
“Aduh.” Abidzar menyentuh kepala Celine, menatap wajah yang menghadapnya itu. Tanpa canggung, Celine melanjutkan tidurnya. Ngocoks.com
“Padahal udah siang.” Abidzar mengusap rambut Celine, mengamatinya lalu berusaha memindahkan Celine ke kasur. Abidzar sampai terengah menahan pegal disekujur tubuhnya saat memindahkan Celine.
Abidzar membenarkan celananya lalu menggeleng pelan, bibirnya tersenyum samar. Abidzar kini tahu, istri nakalnya itu hanya ingin membuatnya tersiksa. Abidzar segera bersiap dan akan pergi dipijat, tubuhnya sudah sangat pegal.
“Sebelum itu, tidurin dia dulu.” gumam Abidzar sambil menyugar rambutnya, kembali membenarkan celana tidurnya yang kembung.
Bersambung…