“Dari puskesmas,” Abidzar mengangsurkan gelas berisi air pada Celine.
“Untung aja,” Celine menghela nafas lega, meraih gelas itu dan meneguknya beserta obat pencegah kehamilan.
Celine hanya berharap, waktu yang pertama tidak jadi. Saat itu juga bukan masa suburnya.
Abidzar menatap kelegaan itu dengan tenang, tidak tersinggung atau apapun. Dia juga lega sebenarnya, jika ada bayi rasanya belum siap.
Celine belum siap untuk itu dan Abidzar juga tidak siap dengan Celine yang masih sulit diatur.
“Nih! Lain kali di luar!” tegasnya ketus lalu kembali ke kamar.
Abidzar tersenyum samar. “Lain kali? Kalau kamu yang mulai ya..” dia mangut-mangut. Abidzar tidak bisa meminta duluan, bisa tantrum Celine.
“AAaaaaaaaa!” jerit Celine di dalam kamar.
Abidzar sontak berlari masuk dengan panik mendengar teriakannya. “Ada apa?” tanyanya sambil menatap Celine yang ketakutan di atas kasur.
“I-itu.. KE-KECOAAAAA!” jerit Celine sambil menunjuk kecoa yang lincah hampir mendekati Abidzar.
Abidzar celingukan, meraih plastik bekas membawa obat pencegah. Dia mulai fokus dan hap menangkap lalu mengikatnya. Untung tidak ada drama kabur kecoanya.
“Udah, sstt.. Jangan berisik, nanti tetangga denger.”
“BODO AMAT!” balas Celine dengan keras kepala, begitu menyebalkan.
Abidzar tetap menatapnya lembut tanpa amarah, dia membuang dulu plastik itu dan kembali ke kamar.
“Sini bantuin!” teriaknya kesal. “Gue yakin masih ada temen-temennya! Gue mau pulang!” amuknya mulai tantrum.
“Nanti di semprot cairan pengusir serangga, aku minta dulu sama bu Dewi, ya.” Abidzar mendekat dan membantu mengancingkan kemeja putih yang di pakai Celine.
“Sekarang! Kalau gitu cepetan sekarang!” Ngocoks.com
“Iya.” Abidzar berhenti mengancingkannya karena selesai.
“Engga-engga! Gue ikut!” Celine menarik lengan Abidzar lalu membelit leher dan kedua kakinya membelit pinggangnya.
“Aduh.” Abidzar segera menahannya agar tidak jatuh, membenarkan posisinya yang merosot itu. “Jangan gendong gini, di punggung aja.” dia tidak enak jika tetangga melihat.
Tidak baik mengumbar kemesraan intim yang bisa saja ada anak kecil yang dijumpai.
“Ga mau!”
“Di luar banyak warga, ada anak kecil juga.” Abidzar begitu pelan, sabar dan lembut. Mendudukan Celine di kasur.
Celine manatap wajah Abidzar yang selalu luluh, mengalah dan tersenyum lembut.
“Ya-yaudah.” cicitnya.
Abidzar segera berbalik dan Celine segera nemplok di punggung lebar itu.
“Apa lo ga pernah marah? Apa kelainan?” celetuk Celine.
Abidzar terdiam sejenak lalu tersenyum samar. Apa Celine mulai penasaran padanya? Itu bagus.
“Buat apa marah? Selagi bisa dihadapi dengan baik-baik,”
Celine mendengus. Dia memilih diam lalu saling mengejek dengan anak-anak kecil yang mengatainya seperti anak kecil karena digendong.
“What? Irikan!” sewot Celine pada beberapa anak kecil yang terus mengekor dan mengejeknya. “Hus sana pergi!” amuknya.
“Sstt.. Biarin aja.” tegur Abidzar.
“Lo bela mereka?!” kesal Celine.
“Engga gitu,” suara lembut itu lagi. Celine malah semakin kesal. Semua pemberontakannya kenapa tidak mempan pada mereka semua!
Celine kian cemberut saat melihat semua orang malah menyapanya.
“Celine,” panggil Abidzar begitu lembut.
“Hm?” sahut Celine pelan agak salah tingkah.
“Kalau ada yang sapa, senyumin jadi kalau ga jawab tetep ada respon baik,” nasehatnya lembut sekali.
Celine sampai diam tidak ngegas, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Abidzar. Lembut sekali, membuatnya sulit untuk mengeluarkan amukan.
“Bagus, liat.” tunjuk Abidzar pada pelangi di bukit yang cukup jauh itu. Langkahnya berhenti sejenak.
Hamparan sawah, bukit lalu pelangi. Udara sejuk dengan matahari yang adem, tidak panas.
Celine sejenak menikmati hal yang tidak pernah dia alami. Suara-suara alam bahkan menemani.
Celine menatap para petani yang melambai dari jauh, menyapa Abidzar ramah lalu menyapa Celine seolah tidak pernah membuat kerusuhan di desa ini.
Celine tersenyum tipis lalu segera melenyapkannya. Kenapa dia mendengarkan permintaan Abidzar?
“Cepet jalan lagi, sebelum kecoa itu pada beranak! Gue makin berontak minta pulang nanti!” ancamnya kembali ngegas.
***
“Kenapa, nak?” tanya Dewi melihat Celine di gendong.
“Kepo,”
“Stt!” tegur Abidzar sambil menurunkan Celine yang cemberut lalu memilih bungkam.
“Ada apa?” Mimah yang baru sadar ada anak dan menantunya jelas menghampiri.
“Ini, bu.. Mau minta semprotan serangga ke bu Dewi, Celine takut kecoa. Di kamar tadi ketangkap satu.”
“Oh kirain, ada sebentar.” Dewi kembali masuk ke rumah.
Abidzar meraih lengan Celine untuk duduk di sampingnya. Celine menepis lalu duduk. Abidzar tidak mempermasalahkannya.
“Rumah ini bagus.” Celine meliarkan pandangan. “Pakai dinding tembok, apa ga bisa kayak gini rumah kita?!” nada suaranya tetap saja terdengar ketus.
Abidzar tersenyum. “Rumah peninggalan mendiang ayah sengaja ga diubah lebih modern,” jawabnya.
“Kenapa? Gue mau kayak gini pokoknya!” raungnya kesal.
“Iya, nanti.” Abidzar tersenyum.
Celine mendengus. “Nanti itu kapan?! Jangan terus bikin gue emosi ya! Gue mau—” ucapannya berhenti saat melihat Dewi kembali keluar.
“Ini, bawa dua. Buat cadangan, untung waktu beli stoknya banyak,”
“Makasih, bu Dewi.”
“Ga usah sungkan,” Dewi menatap Celine ramah. “Ini rumah ibu, sering main ya, ibu masakin masakan enak buat kamu nanti.” lanjutnya.
Celine hanya diam, kembali merasa risih dengan keramahan itu.
“Ayo pulang!” ketus Celine sambil meraih lengan Abidzar.
Abidzar menghela nafas sabar, dia menoleh pada bu Dewi. “Makasih ya bu, kami pamit.”
“Iya, hati-hati.”
Mimah menghela nafas. “Maaf ya bu, Celine masih perlu dididik Abidzar,” ujarnya tak enak.
“Tenang aja, bu. Kami semua sudah paham sekarang, nak Abizdar menjelaskan semuanya saat itu, meminta maaf duluan jika istrinya bertingkah tidak sopan.”
Mimah lega mendengarnya.
“Kami semua merasa terbantu semenjak kehadiran nak Celine,”
***
“Tadi itu ga sopan,” Abidzar mengusap belakang kepala Celine yang berjalan di depannya dengan cepat nan kesal.
“Gue ga peduli! Di benci juga ga peduli! Gue emang takdirnya sendiri aja, ayah sama kakak gue juga muak sama gue, ntar juga lo sama yang lain juga! Jadi mending ga usah so baik dari awal kalau akhirnya gue dibuang lagi!” dingin Celine.
Abidzar meraih jemari Celine, mengajaknya untuk jalan beriringan..
“Lepas! Apaan sih!” amuknya. Mood kembali tidak baik.
“Kata siapa? Aku mau nikah sekali, jadi ga mungkin aku buang kamu kecuali kamu buang aku.”
Celine berdecih. “Kalian di bayar berapa sih sampe ga bisa marah setelah apa yang gue lakuin?” muaknya.
“Apa kamu ga bisa liat ketulusan?”
Celine kian kesal lalu menepis kasar genggaman tangan Abidzar sampai terhempas lalu dia berlari.
Abidzar segera menyusul, takutnya Celine kabur. Jalanan sepi dan bisa saja membuatnya tersesat.
“Kemana?”
“Gue kesel!” suaranya terdengar serak, kedua matanya basah. “Gue kesel liat keramahan kalian! Gue harus senakal apa biar kalian benci!”
“Dari pada sibuk bikin kita benci, kenapa kamu ga berusaha buat kita suka? Kamu ga penasaran rasanya semua orang sayang sama kamu?”
Deg!
Celine berhenti berlari. Dengan terengah dan berderai air mata dia menatap Abidzar yang tersenyum disela terengahnya, menyambutnya dengan menggenggam jemarinya lagi.
“Mau coba? Aku bantu.” suara lembut itu lagi.
Celine takut kembali kecewa. Hanya mendiang ibunya yang sayang. Yang lain selalu tidak puas dengan yang dirinya lakukan.
***
“Aduh.” Abidzar menahan lengan nakal Celine yang merayap ke dalam celana rumahannya.
“Kenapa? Ga boleh pegang dia?!” kesal Celine.
“Boleh.” jawab Abidzar lembut.
Kali ini apa? Membuatnya tersiksakah? Mengingat dia menawarkan hal yang sepertinya membuat Celine kesal.
Celine bahkan tidak menjawab ajakannya, dia terus berjalan hingga sampai di rumah dan mengurung diri seharian.
“Ga mau makan malam?” Abidzar merasakan telinganya panas. Dia menatap lengan putih yang jemarinya tenggelam di dalam celananya, menggerayangi asetnya.
Istri nakalnya itu benar-benar menguji hidupnya.
Abidzar terpejam merasakan tengkuknya di kecupi Celine. Nafasnya sontak memberat.
“Gue bosen, gue bosen!” kesalnya. Tidak ada televisi, tidak ada ponsel.
Celine terdiam saat jemari besar Abidzar meraih tengkuknya, mengusap rahangnya lalu mengecup pipinya.
“Aku tanya sekali lagi, mau coba?”
Suara lembut yang selalu membuatnya hanyut dan merasa disayangi. Membuat Celine mengangguk bagai terhipnotis.
Bersambung…