Celine duduk di pinggiran kasur. Semalam gila sekali. Untuk pertama kalinya ada orang memperlakukannya sebaik itu, selembut itu. Membuatnya tidak bisa melupakannya.
Celine melirik lagi sampingnya yang sudah kosong, entah sejak kapan Abidzar tidak ada. Entah sejak kapan juga dia duduk mengingat kelembutan semalam.
Abidzar memperlakukannya bagai tak bernafsu. Memperlakukannya penuh penghayatan, kasih sayang, tidak egois.
Celine bagai melakukan hal itu pertama kali lagi. Dulu, saat melakukan pertama kalinya jelas tidak sebaik Abidzar.
Pria yang membuatnya dan memperkenalkan dunia malam itu, pria kasar yang egois. Menyakitinya, demi kepuasannya.
Dari situ juga, Celine selalu ingin dominan dalam hal itu. Dan semalam untuk pertama kalinya dia memberikan izin Abidzar untuk memimpin.
Celine cemas, dia takut tersakiti seperti saat itu yang sampai membuatnya pendarahan dan di rawat.
Tapi ternyata, kecemasannya Abidzar mampu hilangkan. Dengan kelembutan khasnya, dengan suara yang tidak pernah meninggi selama kenal.
“Celine? Sudah bangun?” suara Mimah menyadarkan pikiran.
Celine meraih kaosnya yang dilipat rapih di ujung kasur, pasti oleh Abidzar di bereskan dulu. Semalamkan seperti kapal pecah.
“Se-sebentar.” gugup Celine.
Ini hari pertama dia akan mencobanya, memelankan suaranya yang selalu ketus, meninggi tidak sopan.
Celine merasa tertarik dengan tawaran Abidzar. Mencoba untuk disayangi. Tidak semua orang seperti orang-orang yang sudah menyakitinya. Mungkin.
Mencobanya lalu tersakiti lebih baik dari pada menyesal di dalam kesepian kelak. Kita tidak bisa menyama ratakan jika semua orang itu tidak ada yang baik.
Mungkin hanya belum waktunya saja dipertemukan dengan Orang-orang baik.
“Ayo, sarapan.” Mimah tersenyum keibuan, tidak pernah mengeluh persis seperti Abidzar.
“I-iya.” jawab Celine pelan.
Mimah terdiam sejenak, Celine mau tanpa mendebat atau menolak ketus?
“Ayo,” Mimah meraih lengan Celine, menuntunnya ke meja makan kayu yang sederhana.
Celine hanya diam, mencoba menahan untuk tidak menepis. Dia masih saja merasa risih tak terbiasa.
“Ibu buat udang balado, resep dari bu Dewi.. Semoga suka ya,” Mimah meraih piring, memberikan secukil nasi, memberikan udang dan beberapa sayur oseng lainnya.
Celine diam menatap Mimah yang terus berceloteh dan tersenyum hangat itu. Terlihat senang.
Celine menatap piring di depannya. Dia ragu, biasanya Abidzar akan menyuapinya.
“Udangnya udah tanpa kulit, langsung makan.”
Celine meraih sendok ragu, jantungnya berdebar melihat kehangatan sosok ibu yang dia rindukan.
“Enak?”
Celine mengunyah pelan satu udang yang dia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk pelan terlihat canggung.
“Syukurlah.. Abidzar sedang beli keperluan yang habis ke kota, tadi jam 3 pagi berangkat. Sebentar lagi pasti pulang,”
Celine mengunyah pelan, Abidzar menggunakan sepeda setelah melakukan percintaan yang melelahkan. Demi membeli keperluannya yang habis.
Sabun muka dan pasta gigi yang biasa dia pakai. Celine akan menolak jika bukan pasta gigi yang biasa. Bahkan soal sabun dan shampoo juga.
Perasaan Celine menghangat walau segera dia tepis. Abidzar memang sudah seharusnya begitu sebagai suami.
Celine mencoba makan udang dengan nasi, ternyata enak. Dia tidak banyak ragu lagi. Membuat Mimah terharu.
“Sudah datang?” Mimah menatap Abidzar dengan banyak kantong plastik besar di kedua tangannya.
“Iya, bu. Sepeda rusak, untung ada pa Ahmet yang kebetulan mau ke sini jadi ikut ke motornya,” jawabnya.
Abidzar menatap Celine yang bibirnya cemong oleh bumbu balado dari apa yang di makannya. Senyum pun terbit, Celine mau makan tanpa menunggunya?
Apa sungguh Celine mencobanya?
“Bisa sore kalau ga ketemu pak Ahmet, tuntun sepeda dari jarak jauh, ibu kasih dulu makanan buat berterima kasih.” Mimah untungnya selesai makan, dia hanya meminum teh sambil menemani Celine yang pertama kalinya mau makan bersamanya.
Celine menatap dalam diam keduanya. Mereka memang orang baik, pantas saja tidak muak melihat tingkahnya.
“Enak?” Abidzar duduk di samping Celine dengan mood yang baik walau wajah, pelipisnya, berkeringat dan terlihat lelah.
Celine menyudahi makannya karena memang kenyang. Mimah terlalu bersemangat sampai banyak memberikannya lauk pauk.
Celine menyeka keringat di pelipis Abidzar. Dia tidak tahu harus bagaimana. Mengucapkan terima kasih bukan kebiasaannya jadi sulit.
Abidzar menyeka pinggiran bibir Celine yang belepotan. “Mau mandi? Sabun muka sama yang lainnya udah ada,” tunjuknya pada barang bawaannya.
“Mandiin.”
“Ha? Iya, ayo.” Abidzar tersenyum tipis begitu lembut, telinganya kembali memerah. Dia akan mandi bersama lagi?
Abidzar mengusap tengkuknya. Melihat wajah tidak angkuh Celine kenapa membuatnya salah tingkah ya?
***
“Jaga istri, nak Abi.” tawa pelan terdengar dari ibu-ibu ramah itu.
“Iya, bu Tuti,”
Celine hanya diam di tuntun Abidzar berkeliling melihat aktivitas pagi para petani dan anak-anak kecil yang sudah memakai seragam sekolah.
Celine melihat seragam lusuh mereka. Melihat para petani yang mulai turun ke sawah dengan pakaian lebih lusuh.
Mereka sederhana, menikmati hidup dengan penuh rasa syukur. Itu yang Celine lihat.
“Huuuu..” sorak anak kecil yang pernah mendorongnya.
Celine tersentak pelan lalu menekuk wajahnya kesal. Namun urung membalas saat genggaman tangannya diusap Abidzar.
“Jangan diladenin,” bisiknya.
Celine menatap Abidzar kesal namun sesaat, dia kembali luluh. Semoga bisa sesabar Abidzar. Padahal baru sehari juga belum.
“Istrinya ga nakal lagi, nak Abi.”
“Istrinya kok diem, udah bisa dijinakin ya?”
Dan berbagai ucapan ramah yang kadang ada sindiran halus itu terus Celine dengar, dia mencoba tidak kesal hingga saat di kamar baru berteriak mengeluarkan kekesalannya.
Abidzar tersenyum tipis sambil membantu Mimah menyimpan sayuran pemberian petani yang panen hari ini.
“Itu Celine kenapa?”
“Aku bikin kesepakatan sama Celine, bu. Kalau mau berubah, coba latihan tahan kesal terus luapin di kamar kalau ga kuat, kayaknya seharian ini dia nahan kesal,” jawabnya dengan senyum geli.
Celine patuh saja sudah bagai kemajuan besar. Abidzar semakin tidak sabar membantu Celine untuk lebih baik lagi.
“Ada-ada aja, tapi ibu seneng hari ini walau Celine hanya diem,”
“Dia masih perlu adaptasi, bu. Aku pelan-pelan coba yakinin dia, aku juga mau buat dia terbuka sama aku sebagai suaminya,”
***
“Ada ibu,” bisik Abidzar saat Celine nakal merayap di paha kirinya.
Keduanya tengah makan malam, Mimah sedang mengisi air di tekonya. Membuatnya memunggungi mereka.
Celine dengan nakalnya malah semakin berani, meremas celana kain yang sering di pakai Abidzar di rumah itu tepat di tengahnya.
“Celine.” Abidzar tetap berujar lembut. Ngocoks.com
Abidzar masih saja merasa belum terbiasa dengan nakalnya tangan Celine.
“What?” santai Celine dengan datarnya tapi jemari nakalnya itu malah masuk ke dalam karet celananya.
Abidzar menahan kuat lengan Celine. Mengeluarkannya tepat saat Mimah berbalik dan kembali ke meja makan.
“Aaaa, buka mulutnya.” Abidzar kembali menyuapi istri nakalnya yang manja itu.
Celine ketagihan menyentuh milik Abidzar. Rasanya juga dia sukai, pokoknya Abidzar yang terbaik. Paling enak.
Dan malamnya Abidzar membiarkan Celine menyentuhnya, mencoba tidak menimbulkan suara.
“Hari ini lulus,” puji Abidzar dengan nafas memberat, menatap dan mengusap kepala Celine yang posisi Celine kini berada di atasnya, bergerak pelan dengan indahnya.
Celine tersenyum dengan wajah memerah menahan gairah yang tertahan, pergerakan mereka begitu lelet demi tidak menimbulkan suara.
Abidzar ikat rambut pirang panjangnya dengan jemari sebelah kiri. Tangan satunya lagi mengusap keringat di leher Celine, mengusap bukitnya yang naik turun.
Abidzar kini berani menyentuhnya. Celine terlihat nakal di atasnya, membuatnya semakin sayu oleh peningkatan rangsangan. Nafas keduanya sama memberat.
Hingga malam panjang pun selesai dengan rasa puas.
Abidzar kecup lama kening Celine, membuat Celine terpejam dengan berdebar. Dia merasa dihargai.
“Besok coba lagi, hari ini kamu keren.” pujinya begitu lembut sampai membuat pipi Celine merona.
Celine merasa semakin berdebar walau pada akhirnya memasang wajah kesal. Mencoba menepis semuanya.
“Iya, moga aja bisa kayak hari ini. Turun! Berat tahu!” omelnya kesal agak salah tingkah.
Bersambung…